Harga Sebuah Perjalanan
Oleh: Ika Marutha
Rangga memandang ke luar jendela mobil. Barisan teratur pepohonan jati yang masih muda, nyaris tak tampak lagi, digantikan oleh kegelapan. Sudah mulai malam. Waktu berjalan secepat mobil ini melaju, pikirnya.
Matanya lalu beralih ke depan, ke arah seorang pria paruh baya yang tadi pagi datang menjemputnya.
Pria itu menoleh ke belakang, “Perjalanan masih panjang, Nak. Baiknya kamu tidur saja. Nanti dibangunkan saat kita berhenti cari makan,” ujarnya sambil tersenyum.
Rangga tak menjawab. Dia sama sekali tidak mengantuk. Agak aneh karena biasanya dengan mudah dia tertidur. Rangga terbiasa tidur di mana saja. Di emperan toko, di kolong jembatan, di gorong-gorong. Sementara mobil yang kini membawanya, begitu nyaman. Kursinya empuk, AC-nya semriwing, jalannya pun halus, tidak glodakan seperti omprengan yang biasa dia tumpangi jika hendak mengemis di pasar-pasar. Dia pasti terlalu tegang. Perasaannya sudah tidak enak sejak dia menyetujui penawaran pria itu, tapi mau bagaimana lagi? Kebutuhannya akan uang jauh lebih mendesak.
Mobil berhenti pada tengah malam, menurut perkiraan Rangga, berdasarkan perutnya yang keroncongan. Dia hapal, di jam-jam itulah perutnya menuntut minta diisi.
Pria itu memanggilnya, “Nak, ayo kita makan dulu.”
Makanannya enak. Menu yang sebelumnya hanya mampu diimpikan oleh Rangga: semangkok soto ayam yang masih mengepulkan asap bersanding dengan sepiring nasi putih hangat bertabur bawang goreng. Aromanya menggugah selera. Dalam sekejap, Rangga sudah menandaskan semuanya.
Setelah perutnya kenyang, Rangga barulah memandang sekitarnya, menyadari betapa sepi warung makan yang mereka kunjungi itu. Tak ada pengunjung selain mereka berdua.
“Ya, mungkin karena memang sudah tengah malam,” pikir Rangga.
“Anak baru?” tanya pemilik warung makan kepada pria paruh baya yang bersama Rangga.
Pria itu menjawab dengan anggukan. “Aku butuh lebih banyak lagi, kalau ada info, kabar-kabari!”
Pemilik warung tersenyum kemudian menoleh pada Rangga. “Makan yang banyak, Nak. Apa mau nambah?”
Rangga menggeleng sopan. Perutnya kekenyangan dan dia mulai mengantuk. Dia memandang bergantian ke arah si pemilik warung dan pria yang bersamanya, mereka seperti sudah saling kenal saja.
“Pak, apa nanti pekerjaan saya di sana? Apa mengemis juga, sama seperti di sini?” tanya Rangga polos.
“Tentu tidak. Kamu tenang saja. Pokoknya, saya jamin bayaranmu lumayan. Lebih dari cukup kalau sekedar membayari uang sekolah adikmu di kampung.” Pria itu berkata sambil mengedipkan mata ke arah si pemilik warung.
Si pemilik warung terkekeh. “Benar katanya. Kau mengemis setahun pun, tak mungkin bisa mengalahkan banyaknya upah yang akan kau terima nanti. Cukup sehari saja dan pekerjaannya sama sekali tidak berat.”
Rangga percaya. Pria yang membawanya itu jelas orang kaya. Mobilnya bagus dan dia memberinya uang muka yang lumayan banyak sebelum berangkat tadi. Apa pun pekerjaannya, jadilah! Toh, hanya satu hari saja. Setelah itu, dia bisa kembali ke tempat tinggalnya.
Tempat tinggal yang Rangga maksud, sebenarnya hanya sebuah kotak kardus. Jangankan rumah, menyebutnya sebagai gubug saja tidak pantas. Tetapi, di kotak kardus itu lah semua harta bendanya berada. Foto adiknya dalam pigura, sarung kumal sumbangan dari seseorang, beberapa potong baju bekas, dan gerabah usang yang jarang dia gunakan.
“Minum ini.” Pria itu menyodorkan segelas teh manis hangat yang segera disesap Rangga tanpa ragu.
Tak lama kemudian, kepala Rangga terasa berat, matanya seperti dibebani ribuan kunang-kunang. Rasa kantuk luar biasa yang tak sanggup lagi ditahannya, membuatnya ambruk di atas meja.
“Apa gara-gara minumannya?” batin Rangga sebelum akhirnya dia menyerah pada kegelapan.
***
Cahaya menyilaukan menyambut saat Rangga membuka mata. Udara di luar hangat, tapi tubuhnya menggigil. Pembaringannya yang empuk, halus, dan bersih, terasa asing di punggungnya. Dia sendirian di sebuah kamar hotel kelas melati.
Perlahan, satu demi satu kesadaran inderanya kembali. Perih mendominasi. Rangga memaksakan diri untuk bangun. Di depan cermin, dia memutar sedikit tubuhnya. Perban putih menempel di sana, tepat di sumber rasa sakitnya. Dengan hati-hati dia membuka selubung putih itu dan mendapati luka bekas jahitan memanjang di pinggangnya.
Wajah Rangga memucat menyadari ada yang salah dengan tubuhnya.
Pintu kamar tiba-tiba dibuka dari luar. Seorang pria yang asing bagi Rangga masuk. Dia meletakkan sebuah amplop tebal di meja.
“Ini bayaranmu,” ujarnya, “sekedar saran, simpan sedikit untuk berjaga-jaga. Kau tak akan pernah tahu kapan harus pergi ke dokter. Kadang ada anak-anak yang terlalu lemah untuk hidup dengan satu ginjal.” (*)
Banten, Desember 2021
Ika Marutha, ibu empat anak yang jarang masak. Cita-citanya punya koleksi buku bertumpuk-tumpuk, meski entah kapan sempat dibaca.
Editor: Evamuzy
Sumber gambar: pinterest.com