Terpasung Pesan Suda
Oleh: Lilik Eka
Wanita menjadi dungu jika sudah berbicara tentang perasaan. Berdalih setia untuk menutupi kelemahan hati. Kesabaran seolah-olah menjadi tameng akan ketidakmampuannya untuk menerima kenyataan. Mengulang dan terus mengulang kekonyolan yang dia lakukan.
Gwen membeli segelas kopi hitam di kafe Manuntung, kemudian duduk di bangku bawah tiang lampu jalan di depan kafe tersebut. Gwen menyukai aroma kopi dari kafe itu. Baginya, kopi adalah media untuk bisa menenangkan hati dan pikiran.
Gwen, seorang gadis cantik dengan sejuta pesona. Gadis dua puluh sembilan tahun itu bekerja sebagai teller di bank swasta. Dia tengah menunggu seseorang dan mengabaikan rasa lelah di kakinya, setelah seharian berdiri melayani nasabah.
“Tunggu aku di Manuntung!” pinta seseorang lewat panggilan telepon kantor tempat Gwen bekerja. Kala itu ponsel Gwen kehabisan baterai.
Permintaan yang selalu dia patuhi, meskipun seseorang itu tidak pernah menampakkan diri. Gwen menunggu dan terus menunggu di hari, tanggal dan jam yang sama setiap purnama. Hingga tanpa dia sadari, puluhan purnama telah terlewati dan dia tetap Gwen yang dulu. Gwen yang entah mengapa setia menunggu orang yang tidak kunjung menemuinya itu.
“Aku ingin kau jadi ibu dari anakku, kelak!” Perkataan yang dulu mampu melambungkan angannya itu, sekarang berfungsi sebagai alarm pengingat masa lalu.
Gwen tersenyum hampa, kenangan dengan orang itu hadir silih berganti menghampirinya seiring dengan angin malam yang menerpa wajahnya. Dua tahun bersama, membuat Gwen tidak bisa dengan mudah melupakan. Luka di hatinya tidak mudah terobati dan sekarang yang dia lakukan hanyalah menunggu dan menunggu.
“Rumah sederhana dengan halaman yang luas, aku ingin bermain bola sama jagoanku.” Di lain hari, khayalan tentang rumah mewarnai pembicaraan mereka. Saat itu seperti sebelum-sebelumnya, mereka bertemu sepulang bekerja. Membicarakan rumah sederhana, impian yang tak juga terwujud.
Gwen menghela napas, dipandanginya para pengunjung Taman Manuntung. Mereka semua berpasangan atau berkelompok. Ada yang berdua, bertiga, atau juga rombongan keluarga. Hanya dia yang seorang diri.
Tidak jauh dari sana, seorang bocah melempar bola ke arah pria muda dengan penampilan rapi. “Papa, tangkap bolaku!” Dengan riang, si bocah melempar bola sekuat tenaga.
Pria itu tertawa saat melihat bola itu melesat, mengarah ke samping kiri bukan ke arahnya.
Bola jatuh mengenai kaki Gwen. Secepatnya Gwen mengambil bola itu sebelum menggelinding ke arah parit, kemudian berjalan mendekati bocah yang berdiri terpaku di tempatnya. Mungkin dia takut Gwen akan marah padanya. “Ini bolanya, Jagoan.”
Bocah itu mengambil bola dari tangan Gwen, kemudian tersenyum. Sementara Gwen kembali ke tempat duduknya, menyeruput kopi, lalu mengambil ponsel dari dalam tas.
Gwen membuka aplikasi WhatsApp. Banyak pesan yang masuk dan dia memilih membuka pesan dari ibunya.
‘Cepat pulang, Nak!’
Membaca pesan tersebut, hatinya menjadi bimbang. Akankah tetap menunggu orang itu, ataukah mengikuti perintah ibunya?
Malam semakin larut dan taman pun semakin ramai. Akan tetapi tidak dengan hati Gwen. Hatinya sepi dan hampa. Mata Gwen menerawang jauh melihat ke ujung jalan. Dia juga melongok ke arah bersimpangan yang ada di sebelah kirinya, tetapi harapannya sirna. Tidak ada tanda-tanda orang yang dia tunggu akan datang.
Gwen menghabiskan kopinya dengan sekali teguk, lalu dia berdiri dan berjalan ke tong sampah untuk membuang gelas itu. Gwen tampak ragu melangkah meninggalkan tempat itu. Di bawah pohon kamboja, dia menoleh kembali ke arah belakang. Dia berharap ada seseorang yang datang dari arah berlawanan.
Gwen melanjutkan langkahnya menyusuri jalan kecil berkelok, mengitari Taman Manuntung. Jalan kecil itu terbuat dari paving block warna-warni yang tampak indah. Gwen ingat betapa banyak waktu yang dia habiskan bersama orang itu. Berjalan di atas jalan berkelok, berdua mengitari taman yang kini menjadi kenangan. Betapa banyak tempat yang mereka singgahi untuk mengisi kebersamaan, mencoba merajut mimpi dan membangun mimpi itu.
Kala itu, keduanya senang menghabiskan waktu duduk di bangku yang tersedia di pinggir jalan kecil di taman. Suatu hari mereka duduk di atas tikar yang mereka sewa sambil melihat anak-anak bermain di hamparan rumput. Di tempat itu pula, Gwen pernah berjanji untuk menjadi ibu untuk anaknya kelak.
Gwen juga ingat berapa anak yang mereka inginkan. “Aku ingin punya dua anak saja, laki-laki dan perempuan,” kata Gwen penuh semangat.
“Aku mau anak banyak, tapi semua laki-laki agar kamu jadi wanita tercantik di rumah,” kata orang itu tak kalah semangatnya.
***
Gwen kembali duduk di bangku pinggir alun-alun yang tidak jauh dari tempat dia memarkirkan motornya sambil memerhatikan kendaraan yang lalu-lalang di jalan raya. Dering ponsel dari dalam tas mengalihkan perhatiannya.
Gwen mengambil ponsel dari dalam tas, lalu dia buka kembali WhatsApp dan mencari pesan yang baru saja masuk.
‘Gwen, kamu pasti di Manuntung, ya? Kenapa keras kepala, sih. Suda tidak akan datang.’
‘Sudah kubilang, anggap saja dia sudah mati.’
‘Pulanglah! Kasihan ibumu.’
‘Jangan lagi menunggu!’
‘Gwen!’
‘Balas pesanku!’
Gwen membaca rentetan pesan yang masuk dari nomor Kanti, teman kerjanya. Gwen melihat ponsel dengan resah, hatinya terus saja menimbang. Pulang atau tetap di sini, menunggu. Kemudian, dia usap layar dan menggeser ke atas atau ke bawah.
Cukup lama dia mengotak-atik ponsel itu. Saat dia melihat fitur bergambar bunga, jarinya berhenti sesaat sebelum menekan fitur itu.
Galeri tempat penyimpanan semua foto dan termasuk foto kenangan bersama orang itu. Saat menemukan foto seorang pria di sana, wajah Gwen semakin muram. Air mata menetes pelan dan dengan lirih dia berkata, “Suda ….”
“Aku akan terus menunggumu.”
“Hingga aku tua ….” (*)
Balikpapan, 21 Desember 2021
Lilik Eka seorang ibu yang ingin memberi contoh kepada anaknya bahwa belajar itu tidak mengenal usia.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata