Catatan yang Tertinggal
Penulis: Aryati
Hampir satu jam lebih aku duduk di sini, di halte yang tampak mati tak berpenghuni. Dan selama hampir satu jam menunggu, belum ada satu pun minibus yang lewat. Biasanya setiap setengah jam sekali kendaraan itu akan datang, menaikkan dan menurunkan penumpang. Namun, tidak kali ini.
Pohon-pohon trembesi yang tegak berdiri di sepanjang jalan mulai terlihat kering seperti kepala seseorang penderita kanker yang beberapa kali melakukan kemo. Daun-daunnya berguguran, berserakan di jalanan. Kotor, penuh debu. Matahari hampir tenggelam sempurna di sebelah barat. Ingin rasanya segera menyingkirkan sesuatu yang lengket dipunggung, ketiak, dan beberapa bagian dalam. Mengguyurnya dengan air hangat, lalu menggosoknya dengan sabun beraroma jeruk. Rasanya segar. Akan tetapi bus yang kutunggu sepertinya masih entah di mana.
Kegelapan pelan-pelan menggerayangi langit, menyisakan seberkas sinar jingga di sebelah barat. Aku yang duduk di salah satu ujung bangku panjang beberapa kali melihat ke arah jalan. Sedang di ujung satunya, duduk seorang perempuan muda dengan rambut panjang diikat tinggi-tinggi. Ia memakai kemeja kotak dan celana hitam, juga sepatu olahraga. Ranselnya yang besar dan hitam memeluk punggungnya yang sempit.
Untuk mengurangi kelisah, aku mengambil novel yang sengaja kusimpan dalam tas. Tanganku membuka lembaran-lembaran kertas, mencari-cari letak pembatas buku. Ia, gadis itu, tampak sibuk dengan ranselnya. Ia membukanya, mengambil beberapa barang, kemudian memasukannya lagi. Lalu mengambil barang lain, dikembalikan lagi. Hingga beberapa kali. Ia menghela napas. Tak lama kemudian ia menoleh ke arahku. Dengan perlahan ia berjalan mendekat ke arahku.
“Permisi. Anda punya kertas dan pena?” tanyanya sopan.
Aku menoleh ke arahnya dan menyatukan alis, “Oh, ada.” Lalu membuka tas mengambil buku catatan dan pulpen, kuserahkan padanya.
Ia menerimanya sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Aku kembali membaca novel, sedang ia tampak menuliskan sesuatu. Setelah beberapa saat, ia memandang lama ke arah jalan. Cukup lama, sampai-sampai aku menyelesaikan sepuluh halaman novel, dan ia masih memandang jalanan itu. Kemudian ia kembali menulis di buku catatanku. Sepertinya ia menghabiskan puluhan lembar kertas untuk menulis. Entah menulis apa. Aku tak mengacuhkannya, lalu kembali bergelut dengan novel. Aku larut dalam deretan huruf-huruf dan kalimat yang seolah-olah melayang-layang dan aku ikut melayang pula di sana. Hingga aku tersadar dan keluar dari pusaran huruf-huruf itu, gadis berkemeja kotak itu sudah berdiri tepat di hadapanku. Terima kasih, katanya. Kemudian ia berlalu, berjalan ke arah selatan.
Aku mengecek kembali buku catatan bersampul kertas warna cokelat dengan ujung pena menjepit beberapa kertas bagian atas. Buku itu masih utuh tak berkurang sama sekali. Bahkan puluhan lembar catatannya tak diambil.
Apa maksudnya meninggalkan catatan-catatan ini? Mungkinkah ia lupa? Ah … tak mungkin. Aku memasukkan buku itu dalam tas. Dari kejauhan terlihat sorot lampu berwarna putih. Sejenak seperti sedang memindai mataku, membuatku sedikit menyipitkannya. Tak sampai semenit cahaya itu hilang. Berganti dengan bayangan kendaraan besar yang semakin mendekat. Aku berdiri dan masuk begitu pintu terbuka. Setelah memilih tempat duduk, aku segera memejamkan mata. Bus berjalan perlahan, lalu semakin lama semakin cepat. Seperti musik pengantar tidur yang dulu Mama putarkan untukku setiap malam.
***
Ketika sampai di rumah, aku mengeluarkan buku bersampul cokelat hendak menuliskan daftar kegiatan esok. Kegiatan yang harus benar-benar kusiapkan sebelum mulai beraktivitas setiap hari. Dan itu sudah jadi kebiasaanku sejak sepuluh tahun lalu.
Aku membuka lembaran-lembaran kertas bergaris tersebut. Sekilas aku melihat tulisannya, cukup bagus dan rapi, tegak bersambung dan miring ke kiri. Seperti tulisan-tulisan orang-orang tua pada zaman teknologi belum dikenal khalayak. Sangat kontras dengan penampilannya yang terkesan jauh dari unsur kuno.
Aku tak melanjutkan membaca isi catatannya lagi. Tak sopan. Lagi pula aku hendak mengembalikan catatan-catatannya itu padanya saat kami bertemu nanti. Mungkin di halte atau di tempat lainnya.
Esoknya seperti biasa, kegiatanku hampir sama dengan list yang sudah kubuat. Tak ada yang terlewat. Mulai dari mandi, buang hajat, membersihkan rumah, berangkat kerja, hingga kembali lagi ke rumah.
Aku kembali ke halte tempat aku bertemu dengannya kemarin. Namun, hingga jam delapan, ia tak muncul juga. Mungkin sebaiknya kutunggu sebentar lagi. Namun, lagi-lagi itu usaha yang sia-sia. Pada akhirnya, aku pulang setelah mendapati bus terakhir lewat.
Pada hari berikutnya, di jam yang sama, aku tetap menunggunya. Tetapi, tetap saja, wajahnya tak tampak. Hingga di hari kedua puluh satu aku menunggunya di halte ini, aku tetap saja tak bertemu dengannya. Aku putuskan untuk menyimpan catatannya dan tak akan membukanya hingga bertemu dengannya. Suatu hari nanti.(*)
Banjarnegara, 14 Desember 2021
Aryati, penulis pemula yang setiap hari sibuk dengan anak-anak, penyuka mie dan pedas.
Editor: Inu Yana