Pokok
Oleh: Ray Eurus
Aku adalah seorang ibu rumah tangga yang dianugerahi lima orang anak yang lucu, cerdas, sehat, dan kelebihan energi. Mereka semua masih kecil-kecil dan sudah dapat dipastikan mereka semua membutuhkan perhatianku lebih banyak. Jarak usia dari satu dan yang lain cukuplah dekat. Jadi, silakan bayangkan betapa repotnya ketika mengurusi mereka semua.
Aku beserta suami telah mengambil keputusan untuk tidak membatasi jumlah anak dan mengatur jarak lahir mereka. Suamiku ingin punya anak yang banyak sebagai wujud syukurnya, karena kami telah dianugerahi amanah luar biasa ini. Alasan ini kami cetuskan, karena kami cukup lama tidak diberikan momongan. Jadi, di saat kesempatan itu telah diberikan ke tangan kami, pantang bagi kami untuk melakukan upaya apa pun guna membatasinya.
“Makin banyak anak, kan, makin banyak yang doakan kita,” terang suamiku pada suatu ketika.
Kelelahan mengurusi anak-anak, sering membuatku merasa jenuh. Sedikit chit-chat dengan kawan-kawan melalui medsos sangatlah membantu untuk mengobati penat setelah seharian berjibaku seperti babu. Jadi, meski aku sibuk di dalam rumah, HP selalu berada di dekatku.
Setiap masak enak, aku ambil gambar. Sedang menyuapi anak makan, ambil gambar. Mau memandikan bayi, ambil gambar. Setelah panen jemuran kering, ambil gambar. Kemudian semua gambar yang berhasil aku abadikan tersebut, aku bagikan ke medsos.
Sebelum aku membagikan gambar-gambar tersebut, tidak lupa aku sematkan berbagai takarir untuk mempermanis. Mulai dari, ‘Alhamdulillah, rezeki hari ini … wajib kita syukuri. Jangan lupa berdoa sebelum makan, ya, kawan?’. Sampai bentuk keluh-kesah, ‘Tiap hari, aku harus mendaki Puncak Himalaya ini. Nasib punya anak banyak, harus cucian tiap hari. Emak-emak kudu strong. Mana suaranya, Ibu Bangsa?!’.
Semakin banyak netizen memberikan komentar, maka aku akan semakin terhibur. Keberadaan HP yang terisi kuota secara paripurna sudah seperti kebutuhan primer buatku. Apalah dayaku yang menyandang status sebagai ibu-ibu berdaster kumal ini. Hiburanku sebatas aktif dalam dunia di balik benda pipih persegi yang begitu canggih. Paling sering, ya, ketemu mamang sayur dan sedikit berbasa-basi dengan ibu-ibu tetangga. Sisanya, kembali ke dalam rumah.
Pernah pada suatu masa, saat aku mengurusi bayi kecilku—yang saat ini berusia sepuluh bulan—bayiku itu tiba-tiba muntah sangat banyak dan menangis kencang, tidak ingin jauh dariku. Sementara, aku harus segera membersihkan muntahannya agar tidak terinjak anak-anak yang lain. Akhirnya aku meminta pertolongan pada anak perempuanku yang berada di dekatku saat itu untuk mengambilkan tisu kering. Biarlah aku bersihkan dengan tisu saja dulu, nanti setelah bayiku tidur baru akan aku lap lantai bekas muntahannya dengan pel.
Anak perempuan—usia empat tahun—yang ku mintai tolong tadi, sedang asyik bermain. Dari tadi aku perhatikan, dia bermain seolah-olah menjadi aku, ibunya, yang mengurusi bayi dengan menggenggam botol baby lotion.
“Kakak, ayo tolong Bunda ambilkan tisu di kamar, Nak!” pintaku padanya.
“Iya, Bun!” Dia segera berlari ke dalam kamar.
Tidak memakan waktu lama, dia kembali menuju ke arahku dengan membawa kotak tisu yang dijepit di antara dagu dan lehernya. Dia tampak kesusahan bergerak sebab tangan kanannya mencengkeram boneka dan tangan kirinya menenteng botol baby lotion yang tidak pernah dilepaskannya.
Belum sempat dia sampai ke hadapanku, dia menjatuhkan kotak tisu yang berbahan plastik itu hingga menyebabkan isinya jatuh berserakan. Aku yang berada dalam posisi menggendong bayi yang berlumuran muntah, merasa gemas ingin merepet saja rasanya. Bekas muntahan belum dibersihkan, lalu ditambah lagi dengan tisu yang berserakan serta tertiup angin yang berasal dari kipas angin yang sedang beroperasi dalam keadaan maksimal.
“Kakak, kenapa boneka sama botol lotion-nya ndak ditaro dulu, sih?” tanyaku agak kesal.
“Maaf, Bund!” Dia memandang ke arahku, tampak bersalah.
“Ya udah, tolong bawakan ke sini beberapa lembar aja ndak papa!” pintaku.
Dia menggamit boneka yang hanya dicengkeramnya tadi, lalu memungut beberapa helai tisu yang sebagian sudah beterbangan tertiup angin. Kemudian dia berjalan ke hadapanku.
“Ini, Bund!” Dia menyodorkan tisu yang kupinta.
“Terima kasih.” Aku menerima tisu yang sudah terremas oleh telapak tangan mungilnya. “Lain kali, kalo Bunda minta tolong, mainannya ditaroh dulu, ya, Nak?” ucapku sambil membersihkan kotoran pada lantai, lalu di bagian tubuh bayiku yang terkena muntahan.
“Orang tadi itu, kan, Kakak lagi rekaman pake ini!” Dia mengangkat tangan sebelah kirinya yang menggenggam botol baby lotion. “Kakak tu, lagi rekaman kayak Bunda. Pake HP itu, nah! Bunda juga pegang HP terus kalo sambil gendong Adek,” terangnya sambil berlalu dan melanjutkan kegiatannya.
Aku yang mendengar hal tersebut seolah tertampar. Jadi, seperti itukah aku di mata anak-anakku?
Aku lantas menceritakan kejadian itu pada suamiku. “Ya, buah jatuh tak kan jauh dari pokoknya, Dek!” ujarnya.
“Loh, maksud Abang apa?” selidikku.
“Al Ummu madrasatul ula …,” jelasnya, “makanya, ngaca bau!” ucapnya setengah berbisik, lalu berlalu meninggalkanku yang mematung. Aku berusaha mencerna setiap kata yang sudah diucapkannya.
“Jadi, aku bau, ya?” bisikku pada diri sendiri sambil mengendus ke area sekitar ketiak.
Segera aku meraih HP dan mengetikkan kata demi kata untuk menceritakan kejadian barusan, sekalian aku sematkan pertanyaan: “Adakah yang jual body mist atau semisalnya yang bisa menghilangkan bau badan?”(*)
Kota Minyak, pada 2020.
Ray Eurus, pertama kali menuliskan cerita di atas saat diminta seorang kawan untuk meramaikan kegiatan curhatan, bersama salah satu grup kepenulisan. Dinobatkan sebagai peserta terdidik dengan mengisahkan sedikit kejadian nyata yang dialaminya kala mengurusi para buah hati setiap hari. Silakan sapa penulis pada akun Instagram @rayeurus, atau akun Facebook: Ray Eurus.
Editor: Inu Yana