Lelaki di Pinggir Kali
Oleh: Aryati
Sudah menginjak bulan ke enam aku berada di kampung ini. Menjadi petani sungguhan. Profesi yang dulu yang tak begitu kuinginkan, tapi sekarang aku mulai menyukainya. Menerapkan teori-teori yang kuperoleh sewaktu kuliah. Menghidu aroma tanah yang sekarang bagai candu buatku. Membuatku bisa seharian berlama-lama di kebun atau sawah.
Setelah dua tahun berjuang meletakkan selembar ijazah dari satu kantor ke kantor lain, dari satu gedung ke gedung berikutnya, aku merasa lelah. Akhirnya aku kembali lagi ke tanah kelahiranku. Ada sedikit jengah sebenarnya, mengingat ucapanku pada Bapak tujuh tahun lalu, ketika aku baru saja mendaftar kuliah.
“Aku pengin kerja kantoran, Pak.”
“Ya, boleh saja, tapi jurusan yang kamu ambil itu apa? Agro … Agro … apalah itu! Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Tinggal pilih saja, tanah yang sebelah mana. Ndak perlu sinau teori-teori yang mblengeri kaya gitu, langsung praktik!”
“Tapi, kan, beda ….”
“Bedanya cuma teori sama praktik, Gitu, to?”
Aku tak lagi meneruskan perdebatan itu karena Bapak keburu menghabiskan kopinya, lalu menyampirkan cangkulnya di pundak. Walau sudah berumur lebih dari separuh abad, Bapak tak kenal menyerah. Dibantu beberapa rewangnya, ia tetap ke sawah, sekadar minggiri, hingga azan Zuhur. Di sore hari selepas melaksanakan salat Asar, ia akan kembali lagi ke sawah meneruskan pekerjaannya.
***
Pada sore yang semarak, ditemani sekumpulan burung-burung yang terbang kembali ke sarangnya, aku melihat lelaki berkulit hitam, kepala penuh uban, duduk di atas batu besar di pinggir kali. Matanya menatap bangunan kompleks rumah di seberangnya. Rumah berdempet-dempetan dengan ukuran 4 x 6 meter itu dibangun setahun lalu, tepat ketika Bapak meneleponku sebulan sebelum kompleks itu mulai dibangun.
“Pulang, ya, Gus.”
“Tapi, aku lagi nunggu panggilan wawancara, Pak.”
“Ini darurat!”
“Kenapa, Pak?”
“Nanti ngomongnya di rumah saja.”
Aku pikir apa yang Bapak sampaikan tidak begitu penting. Karena itu, aku memutuskan tak pulang dulu ke rumah sembari menunggu pengumuman. Sebulan setelahnya, aku menerima dua kabar yang sekaligus membuat sesak dadaku. Kabar yang pertama, aku tidak lolos diterima kerja di perusahaan. Kedua, sebagian lebih tanah-tanah milik Bapak di kampung terpaksa dijual untuk melunasi utang-utang Mas Bagas yang kalah judi online. Hanya menyisakan beberapa sawah dan kebun di belakang rumah. Itu pun tak begitu luas.
Tanpa menunggu lama, aku segera memesan tiket kereta. Dalam perjalanan, aku sudah tak memikirkan lagi perihal ijazah yang mungkin selamanya tak akan membawaku jadi pekerja kantoran. Fokusku beralih kepada Bapak. Tanah-tanah yang Bapak dapatkan dengan kerja keras sejak muda itu harus dilepas. Di sana ada mimpi-mimpi Bapak; menjadikan kampung kami lebih hijau dengan pohon-pohon yang Bapak tanam di area perkebunan yang berada di sepanjang pinggir kali. Lahan itu begitu luas. Dulunya milik beberapa orang, termasuk satu bagian yang memang milik Bapak. Mereka menjualnya tidak serta merta bersamaan.
Di kampung kami, orang-orang lebih suka menanam tanaman palawija daripada pohon-pohon berakar kuat. Selain masa panen yang lebih cepat, mereka juga langsung bisa merasakan hasilnya. Dan itu berlangsung sejak lama.
Keinginan Bapak membuat kampung kami lebih hijau itu harus kandas saat pohon-pohon itu mulai tumbuh. Kendaraan berat itu seolah merobohkan pertahanan Bapak. Ia tak berkata-kata usai orang-orang itu merobohkan pohon-pohon itu. Mereka seperti mencabut harapan-harapan Bapak, mengempaskannya ke lautan, membuatnya terombang-ambing. Dan setelah peristiwa itu, Bapak selalu pergi ke pinggir kali seharian, kata Kang Bisri–salah satu rewang yang masih bekerja bersama kami.
“Ayo pulang, Pak. Sudah sore.”
Lelaki itu menoleh ke arahku. Kemudian menoleh lagi ke bangunan modern di seberang sungai. Memandangi beberapa jenak. Kemudian berdiri dan berjalan mendahuluiku.
Bapak sekarang jarang mengajakku ngobrol. Ia lebih banyak diam. Padahal aku begitu rindu berdebat dengannya perihal segala yang sama-sama kami sukai maupun tak kami sukai.
***
Matahari baru saja mengintip di sebelah timur. Aku sedang menikmati sarapan dan segelas teh, ketika tubuh ringkih lelaki itu berjalan melalui pintu samping. Ia tak membawa apa pun. Usai menyelesaikan sarapan, aku mengambil joran dan mata kail. Kemudian berjalan mengikuti jejaknya. Namun, sebelumnya aku mampir sebentar ke sawah yang sedang disiangi oleh Kang Bisri.
“Ada ikan apa saja di sini, Pak?”
Lagi, ia tak menjawab pertanyaanku. Tak mengalihkan sedikit pun pandangannya dari bangunan dan segala apa yang berada di sana.
“Aku sudah nyari cacing di bawah pohon pisang belakang rumah. Di sana ada banyak. Lumayan. Siapa tahu juga bisa kena ikannya,” ucapku sambil memasang umpan.
Bapak masih diam, tak bergerak. Garis-garis usia semakin jelas di wajahnya. Ditambah lagi dengan hilangnya sinar di matanya. Sinar yang selalu kulihat dulu, yang selalu membuatku tak mampu mengalahkan silang pendapat yang hampir tiap hari kami gelar.
Aku sudah mendapatkan beberapa ikan di depan lelaki itu. Namun, ia tak acuh sama sekali. Aku masih menunggunya bereaksi, hingga tiba-tiba suara Kang Bisri terdengar.
“Mas Bagus, ada tamu yang mau nawar gabah.”
“Ya, sebentar lagi.” Segera kubereskan joran dan ikan kumasukkan dalam ember, lalu berjalan mendekati Kang Bisri yang masih berada di atas motor.
“Bagus pulang dulu, Pak.”
Kutinggalkan lelaki yang masih hanyut terombang-ambing di lautan yang tak jelas kapan membuatnya menepi. (*)
Banjarnegara, 13 November 2021
Kali : sungai
Rewang: pekerja atau karyawan
Minggiri: mencangkul bagian tepi sawah
Aryati, wanita penyuka ungu dan hitam. Sibuk dengan dua anak, mengajar, dan belajar menulis.
Editor: Inu Yana