Oleh : Indhira Syah
Malam kian beranjak larut. Lonceng waktu di tengah kota sebentar lagi berbunyi. Jalanan mulai lengang, hanya satu-dua kendaraan melintas. Akan tetapi, air dari langit masih saja turun meski tidak sederas sore tadi.
Aku berjalan menyusuri kenangan tentang dia. Tentang janji yang pernah terucap, di sini. Di sepanjang jalan tepi sungai, pinggir kota yang ramai.
“Aku akan menunggu, sampai kamu siap menemui orang tuaku,” katanya kala itu. Aku hanya tersenyum menanggapinya.
“Aku menaruh harap padamu. Tolong jangan kecewakan aku.” Mengingat ucapannya makin membuat lubang di dada ini menganga.
“Kita ini pasangan yang serasi. Banyak yang mengatakannya padaku.”
“Aku janji, mulai besok akan belajar masak buat kamu. Agar nanti jika kita sudah menikah, aku bisa tiap hari memanjakan lidah dan perutmu.”
Semua perkataannya masih tersimpan rapi dalam ingatan. Serupa emas dalam kotak yang tersusun di brankas. Entah mengapa saat itu, dia terus saja bicara tentang janji-janji. Dan aku hanya mengangguk mengiyakan.
Gadis manis dengan senyum berlesung pipit itu bertingkah sangat manja hari itu. Dia tidak melepas sedetik pun tautan lengannya. Seolah tak ingin terpisah meski hanya sesaat. Apalagi yang aku khawatirkan jika sikapnya seperti itu? Aku merasa sangat dibutuhkan.
Namun, perasaan itu tidak berlangsung lama. Selang dua bulan sejak hari itu, dia mengajakku kembali ke sini. Membawa undangan pernikahan tertulis namanya dan nama seorang pria. Bersama saudara kembarnya, dia memintaku untuk melamar adiknya itu. Dua kejutan sekaligus dia beri padaku. Bagai dihantam gelombang badai, ada sesuatu yang menamparku hingga terlempar ke jurang nestapa.
“Pak, tunggu!” suara seorang wanita memanggilku, disusul ketukan high heels yang terdengar kencang saking sepinya suasana malam. Ingatanku tentangnya buyar seketika.
Aku terus berjalan mengabaikannya. Mengingat janji-janji manis gadis berlesung pipit, juga wajah menggemaskannya yang seolah sedang menatapku dari sana. Dekat lampu-lampu jalan yang berbaris rapi. Dia memang suka sekali berpose di sana, lalu memintaku mengambil gambar dirinya.
“Pak, Anda bisa sakit tengah malam hujan-hujanan seperti ini.” Wanita itu sudah berada di sampingku, membawa payung. Oh, tepatnya memayungiku.
“Bukankah kamu membenci tempat ini? Kenapa mengikutiku?”
“Saya tidak ingin Bapak sakit. Hanya merepotkan saja.” Bicaranya mulai tidak enak didengar. Apalagi dengan sapaannya itu, seperti ada benteng yang memisahkan kami. Padahal, sudah dua tahun aku menemaninya. Oh, bukan. Lebih tepatnya dia menemaniku.
“Sudah saya bilang, kamu tunggu saja di mobil.”
“Tapi, Ibu yang meminta saya. Saya tidak berani membantahnya.”
Ya, kalian memang anak yang sangat berbakti dan penurut. Sampai-sampai urusan percintaan pun kalian pasrah. Benar, jodoh sudah diatur Tuhan. Akan tetapi, tidak seharusnya manusia berpasrah menerima takdir yang tidak diinginkan. Untuk apa hidup bersama seseorang yang tidak dicintai?
Aku berhenti tepat di depan sebuah kursi. Bayangan siluet gadis itu, tampak di pelupuk mata. Dia tengah duduk sambil menikmati es krim vanila kesukaannya. Dan aku akan mengusap lelehan es krim di sudut bibir tipisnya. Romantis, bukan?
“Jika bukan karena Ibu, saya akan tetap di mobil.” Raut wajah duplikat gadis berlesung pipit itu sangat masam.
“Bisakah Anda balik ke mobil sekarang?” Tangannya bersedekap, setelah merapatkan jas yang dia pakai.
Gadis yang berjarak tidak lebih dari satu meter di sampingku ini sepertinya mulai kedinginan. Angin malam yang berembus ditambah rintik hujan memang terasa begitu menusuk ke tulang. Namun, semua tertutup oleh kenangan yang berjejalan dalam ingatan. Semua terasa hangat bagai sebuah pelukan.
Kutinggalkan jejak kenangan dengan gontai. Berharap air dari langit menderas, lantas menghapus semua jejaknya. Ya, semuanya, hingga yang tersimpan rapi di sini. Lalu, aku siap menjadi manusia yang pasrah dengan takdir. Bodoh? Biarlah. Toh, memang hidupku telanjur dikendalikan wanita yang dia sebut Ibu.
Aku mempercepat langkah menuju mobil yang terparkir di tepi jalan raya. Seiring titik air yang turun makin banyak. Doaku terkabul. Sudah saatnya aku membuka sedikit ruang untuknya, gadis yang tengah mengekor di belakangku.
“Saya antar pulang.” Aku memasang sabuk pengaman setelah duduk dan memantapkan hati dengan keputusan yang baru saja kubuat.
“Terserah!”
“Bisakah kamu berkata lembut seperti–“
“Riana? Saya bukan dia! Sampai kapan Anda hidup di bawah bayang-bayang Riana? Sampai kapan?! Tidak bisakah sedikit menghargai perasaan saya?”
Mata itu … baru kali ini aku melihat kaca-kaca di mata bening itu. Aku paling tidak bisa melihat wanita menangis. Riana hampir tidak pernah menangis selama bersamaku. Bahkan, di saat hari itu. Saat dia memintaku untuk melamar adiknya.
“Dua tahun saya bersabar menanti. Apa hati Bapak tidak tersentuh sedikit pun?” Air mata mulai menetes di sudut matanya.
“Riana sudah bahagia dengan suami dan anaknya. Bapak tidak bisa terus-menerus hidup dalam bayangannya. Ada saya di sini.”
“Maaf. Maafkan saya.” Aku meraih jemarinya yang hendak menghapus air mata. Lalu, aku biarkan jemari ini yang melakukannya. Agak gemetar, karena ini kali pertama aku menyentuhnya.
Kemudian, entah siapa yang memulai, kami saling mendekap. Seolah merindu pelukan hangat, aku tenggelam dalam dekapan eratnya. Aku rasa, aku mulai bisa membuka ruang untuknya. Ya, dia berhak menerima perlakuan hangat dariku.
“Bolehkah saya memanggil Anda dengan sebutan Mas?” tanyanya seraya mengurai pelukan.
Aku tersenyum mengangguk. Sudah sepatutnya gadis penurut berhati mulia ini menuai hasil. Berkat kesabarannya selama ini, berhasil membuat pertahananku runtuh. Meskipun belum sepenuhnya luluh, aku mulai merasa nyaman berada di sisinya. Ya, baru saja merasa nyaman. Ke mana saja aku selama ini? Menyia-nyiakan gadis baik sepertinya.
“Mas? Ayo kita pulang.”
Tanpa menjawab, aku segera tancap gas. Selamat tinggal kenangan. Biar jejakmu terhapus dengan sendirinya oleh kisah yang akan kurangkai bersama gadisku. Ya, dialah gadisku sekarang. Riani Hapsari.
“Terima kasih, ya.” Aku melirik gadis yang tengah memejamkan matanya.
“Untuk apa?” Dia bertanya masih dengan mata terpejam.
“Untuk semuanya. Atas kesabaranmu menghadapi saya.”
“Diamlah. Fokus saja menyetir.”
Dia tetaplah seorang Riani yang tegas dan sedikit jutek. Berbeda dengan sang kakak, Riana yang lembut dan manja. Aku harus bisa menyesuaikan diri menghadapi sifatnya. Belajar menerima dan menjalani takdir dengan sepenuh hati.
Bukankah Tuhan sangat baik padaku? Bahkan, Tuhanlah yang mempertemukan aku dengan Ibu. Wanita berhati malaikat yang merawatku seperti anaknya sendiri, hingga aku bisa menjadi seperti sekarang. Memperlakukanku sama dengan kedua putri kembarnya. Kalau bukan karena kebaikannya, mungkin aku hidup sebatang kara dan terlunta di jalan.(*)
Depok, 15 Desember 2021
Indhira Syah, seorang wanita berdarah Sunda-Betawi. Ia pecinta kucing dan penyuka nasi goreng. Penulis novel ‘Jodoh Sang Penulis’ dan beberapa antologi ini menyukai dunia menulis sejak SMP. Namun, baru menggelutinya sejak akhir 2019 lalu. Dengan menulis, ia berharap dapat menebar kebaikan.
Editor : Uzwah Anna
Gambar : https://pin.it/kdXZP8S
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata