Oleh: Ketut Eka Kanatam
Begitu melihat tumpukan baju dan ransel di kasur, kepalaku langsung berdenyut.
“Haruskah kamu pergi sekarang, Dim? Tidak bisakah dibatalkan saja, Dim?”
Begitu melihat Dimas keluar dari kamar mandi, langsung kutanya seperti itu, sambil menunjuk barang-barang yang ada di kasur. Ingin rasanya melempar semua barang-barang itu ke jendela kamar.
“Ya, Lia. Aku harus pergi. Acara ini sudah aku rencanakan sejak bulan Juni, Lia.”
Keputusannya tidak bisa lagi diperdebatkan. Tekadnya begitu kuat. Dia tidak menyadari isyarat kupaksakan yang menyatakan penolakan. Suamiku sibuk dengan memasukkan baju, celana, senter, tali, obat-obatan, dan entah apa lagi ke dalam ransel yang ukurannya setengah badanku itu. Sepertinya, semua peralatan itu adalah persiapannya untuk naik gunung.
“Tahun ini, kami akan mengibarkan bendera merah putih yang sangat panjang dan spanduk komunitas di gunung Bromo.”
Benar saja dugaanku, dia mau pergi ke gunung dengan gengnya. Rencana yang tidak melibatkanku.
Dimas selalu begitu, dia tergila-gila dengan komunitas sepeda motornya. Setiap tiga bulan, dia akan mengadakan touring tanpa mengajak aku. Hampir setiap malam dia nongkrong dengan mereka. Begitu aku mengatakan keberatan dengan semua kegiatannya itu, dia mau berhenti.
Namun, sejak setahun lalu, dia kembali memiliki hobi baru. Dimas mulai menyukai kendaraan lain. Dia beralih ke komunitas sepeda. Ada saja acara dia untuk pergi bersepeda dengan teman-temannya. Teman yang dia temui saat reuni. Merekalah yang mengajak dia untuk menekuni hobi tersebut. Setiap hari Minggu, mereka akan bersepeda ke suatu tempat dan menghabiskan waktu di sana seharian. Kini, acaranya bukan hanya di dalam kota, mulai merambah ke kota lain dengan menghabiskan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Kali ini, Dimas mengatakan akan pergi selama dua minggu.
“Kenapa kemarin-kemarin kamu tidak bilang rencana ini sama aku, Dim?” sesalku saat melihat wajahnya yang begitu cerah.
Aku merasa tidak bisa ikut gembira ketika dia menceritakan semua rencana selama dua minggu keluar kota. Rencananya telah mengagalkan rencanaku. Aku sudah merencanakan akan menghabiskan dua pekan ke depan ini berdua saja dengannya. Aku akan pergi dengan Dimas ke Bali. Aku ingin ada dalam pelukannya saat kembang api menghiasi langit. Aku ingin kami sama-sama mengatakan harapan ke depannya kala detik-detik pergantian tahun diteriakkan lelah semua orang. Tiket sudah ada di laci. Aku akan memberi surprise kepadanya.
Selama pernikahan yang sudah menginjak usia ketujuh, kami tidak pernah bisa menghabiskan malam tahun baru berdua saja. Sebagai pemilik sebuah EO, waktuku tersita untuk memenuhi pesanan setiap klien yang sudah mengantre.
Kali ini, aku ingin hal yang berbeda. Aku sudah memberi kepercayaan kepada asistenku untuk mengurus semua pekerjaan. Aku ingin merasakan suasana berbeda, tidak terus memikirkan keuntungan yang berlipat di setiap penghujung tahun.
Untuk tahun ini, aku ingin seperti pasangan yang lainnya. Mereka yang selalu bisa menghabiskan malam tahun baru dengan keluarga, dengan orang-orang yang dikasihinya.
Aku merasa perlu melakukan itu karena semakin lama, aku merasa ada jarak antara aku dengan Dimas.
“Memangnya, jika aku bilang, kamu mau ikut?”
Aku tersentak begitu mendengar pertanyaannya yang bisa kurasakan penuh dengan ketidak percayaan kepadaku.
“Mungkin,” jawabku dengan gamang.
Selama ini, aku sudah mencoba mengikuti cara hidup Dimas yang begitu berbeda selera denganku. Dimas begitu santai orangnya, sedangkan aku selalu serius.
Aku selalu menganggap waktu itu begitu berharga, sehingga akan selalu memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
Pemikiran itu kudapatkan karena terbiasa mengerjakan event-event yang menuntut kesempurnaan dari segala hal, baik itu waktu, biaya, dan segala atributnya. Jika persiapan tidak matang, maka acara yang kususun bisa gagal. Klien akan kecewa. Aku tidak menginginkan hal itu terjadi. Kepuasan mereka adalah bukti keberhasilan acara yang aku selenggarakan.
Ketika ada waktu luang, aku akan memilih menghabiskan waktu di rumah saja dengan menata kebun mungil yang ada di halaman belakang rumah.
Jika masih ada waktu tersisa, maka akan dengan senang hati kuhabiskan dengan berbaring di kursi malas. Aku akan menghadapkan kursi ke kebun agar bisa menikmati indahnya bunga anggrek yang sedang mekar. Taman bunga itu menjadi obat saat mata mulai terasa perih karena terlalu lama dipakai untuk membaca novel romantis yang kukoleksi. Aku juga akan menyiapkan secangkir kopi dan kudapan untuk jaga-jaga jika perut mulai terasa keroncongan.
Semua kegiatan yang kulakukan itu tidak diminati sama sekali oleh Dimas. Dia lebih suka kegiatan di luar rumah. Dia akan berkumpul dengan teman-temannya sesama pencinta sepeda motor gede dan kini beralih ke teman-temannya yang suka dengan sepeda gayung.
Terkadang, aku menduga, selera kami yang begitu berbeda dalam menghabiskan waktu karena usia kami yang terpaut sampai sebelas tahun. Ketika aku ingin mengistirahatkan diri setelah melayaninya, maka dia malahan sebaliknya.
Dimas begitu gelisah saat di sisiku. Dia masih memiliki begitu banyak energi untuk disalurkan. Begitu kuizinkan pergi, secepat kilat dia akan meninggalkanku. Dia bilang pergi untuk berolah raga dan mendatangi tempat komunitasnya. Aku tidak sanggup mengatakan tidak setuju dengan semua yang dilakukannya itu.
Ketika sendirian, mulai timbul pertanyaan dalam benakku. Apakah aku bahagia hidup dengan Dimas? Entahlah.
Hidup kami secara finansial sudah lebih dari cukup. Rumah mungil bisa aku beli dan dia akhirnya bisa membeli sepeda gunung itu dengan uangnya sendiri. Dimas tidak lagi bergantung padaku. Dengan sikapnya yang supel, suamiku dengan mudah bertransaksi dengan mereka. Dia mulai bisa menjual beberapa perlengkapan untuk sepeda motor maupun sepeda gayung. Setelah kuberi modal, dia bisa membuka toko sparepart dan mengembangkan sendiri bisnisnya. Kini, Dimas tidak kesulitan sama sekali untuk membiayai gaya hidupnya.
Bagaimana bisa aku mengkritik gaya hidup yang disukainya itu jika kenyataannya dia tidak membebaniku seperti dulu lagi? Mana mungkin aku tiba-tiba mengatakan keberatan atas kegiatannya setelah semua berjalan sekian lama? Siapkah aku jika dia juga memberi penilaian dengan semua kegiatanku dan mengatakan keberatan karena tidak lagi bisa melayaninya dengan baik? Mana mungkin aku bisa mengatakan kepada dirinya tentang semua kegelisahan itu? Bagaimana cara mengatakan kalau hati ini begitu sedih saat melihat dia akan pergi untuk mencari kebahagiaannya?
Akankah terdengar sangat konyol jika aku mengatakan semuanya? Agar dia membatalkan acaranya dan mengikuti acara yang kurancang? Apakah aku harus menelan ludah sendiri? Aku yang dulu begitu percaya diri dengan mengatakan bahwa tidak perlu saling usik tentang kesenangan sendiri dan akan menghargai semua pilihannya.
Aku hanya bisa menghela napas dan mengembudkannya perahan-lahan. Aku berharap sesak di dada ini sedikit berkurang. Berharap semua pikiran yang membebaniku sedikit menghilang. Harapan yang sia-sia, aku tidak sanggup melihat Dimas yang sudah hampir selesai berbenah. Sebentar lagi dia akan pergi meninggalkaanku. Dada ini terasa semakin sesak.
Aku memilih pergi dari kamar, tidak ingin melihat dia berkemas seperti itu dan juga tidak ingin membantu dia untuk pergi meninggalkanku sendirian di sini.
Aku segera mengambil kotak obat. Mungkin, dengan meminum beberapa butir pil, dada ini tidak lagi terasa begitu sesak. Aku memandang ruang tengah yang berisi sofa panjang dengan televisii yang memenuhi satu sisi temboknya.
Awal menikah, kami lebih sering menghabiskan waktu di sofa panjang itu daripada di dalam kamar. Dimas memiliki begitu banyak ide untuk membuatku bahagia saat berbaring di sofa itu.
Malam-malam indah yang membuatku tidak lagi malu akan pandangan orang saat kami ke luar rumah. Mereka berhak menilai dengan mengatakan kalau aku telah dibutakan oleh cinta dan sedang dimanfaatkan oleh berondong. Namun, aku tidak peduli penilaian mereka. Kami yang menjalaninya, maka kami juga berhak memakai atau tidak penilaian yang dikatakan mereka dengan nada dengki seperti itu.
Sikap mesra Dimas membuatku yakin tidak salah pilih pasangan. Untuk ukuran laki-laki muda dengan paras tampan, tidak pernah kulihat Dimas memanfaatkannya untuk menerima semua perhatian dari wanita-wanita muda dan lebih cantik dari aku. Dia bisa meyakinkan diriku bahwa dirinya layak untuk mendampingi sisa hidupku. Dengan bangga aku membawa dia ke acara-acara yang dihadiri para klien penting yang puas dengan cara kerjaku.
“Apa maksudmu berkata mungkin seperti itu, Lia?”
Dimas keluar dari kamar dan memutus lamunanku. Ransel itu sudah ada di punggungnya. Dengan memakai baju kaos dan celana jins seperti itu, tidak akan ada yang menyangka kalau dia sudah berusia tiga puluh tahun. Setelah hidup bersamaku, dia terlihat semakin muda saja. Sepertinya, hal yang berbeda terjadi padamu. Aku merasa takut melihat bayanganku di kacamatanya.
“Apa kamu mau ikut aku pergi ke Bromo?”
Itu bukan tanggapan yang antusias, lebih berkesan kalau Dimas sedang bimbang akan kemungkinan aku ikut atau tidak di acaranya.
“Tentu saja tidak ikut, Dim. Aku tidak sanggup mengayuh sepeda di medan seperti itu. Jika aku ikut, begitu sampai di sana, kamu hanya akan repot mengurus aku saja.”
Meskipun mulutku berkata seperti itu, aku ingin dia segera menyangkalnya. Aku butuh kata-kata menguatkan keluar dari mulutnya. Sayang, mulutnya terkunci rapat. Sama seperti dulu.
Waktu itu, aku menemani dia dalam suatu perjalanan dengan naik sepeda motor gede. Dimas mengajakku karena semua teman-temannya mengajak pasangan. Dia memperkenalkan aku kepada mereka sambil tersenyum lebar, membuatku lupa akan kekhawatiran yang kupendam di dasar hati.
Tidak ada yang perlu kucemaskan, mereka menerima kehadiranku dengan tangan terbuka. Aku juga merasa percaya diri karena hadir tidak dengan tangan kosong. Aku membawa perbekalan lebih dari cukup untuk semua anggota komunitas.
Namun, pada suatu kesempatan, kudengar para pasangan mereka membicarakanku dengan begitu heboh.
“Aku kaget sekali tadi, aku kira dia itu tantenya Dimas!”
“Aku malahan mengira kalau ketua kita mengajak ibunya.”
“Hebat dia, bisa mendapatkan ketua kita.”
“Uang itu jadi pembeda dia dengan kita, lo!”
“Sudah! Jangan pada ribut! Siapa pun yang diajak ketua kita. Kalian seharusnya senang, bekal kita melimpah kali ini.”
“Ketua kita memang keren!”
Semua ucapan mereka itu membuat rasa percaya diriku langsung merosot tajam. Detik itu juga, dengan alasan pekerjaan, aku memilih pulang duluan dengan naik pesawat.
Sejak saat itu, tidak pernah kumau mengikuti semua kegiatannya. Pada akhirnya, Dimas pun semakin jarang ikut di acara-acara yang kuhadiri.
“Bukankah kamu harus menyiapkan acara malam tahun baru di balaikota? Kudengar dana untuk acara itu besar sekali,” tukas Dimas kembali yang kubalas dengan anggukan. Keningnya tidak lagi berkerut begitu melihat tanggapanku.
Dimas sangat tahu, jika sudah menyangkut keuntungan usaha, tidak akan kulepaskan kesempatan apa pun itu, meskipun harus begadang berhari-hari. Sebagai mantan anak buahku, dia ikut sibuk mempersiapkannya.
“Jadi, positif seperti ini, ya, Lia? Aku pergi ke Bromo dan kamu mengurus event itu.”
Aku berusaha tersenyum dan kembali mengangguk saat melihat sorot matanya yang masih mengharap pembenaran. Tenang saja, Dimas. Aku tidak akan mengiba di depanmu. Kamu sudah akan berangkat, tidak ada waktu lagi untuk menyampaikan apa yang kusesali.
“Ya, Dim. Aku ada acara besar untuk tahun baru ini. Selamat bersenang-senang, Dim. Semoga acaramu juga lancar.”
Aku segera membalikkan badan saat dia menghampiri dengan tangan terkembang. Aku tidak siap menerima kehangatan yang dia tawarkan atas pengertian yang kuberikan. Kehangatan itu akan memicu air mataku keluar. Aku tidak mau hal itu terjadi di depannya.
“Aku pergi dulu, ya, Lia. Nanti aku akan kirim foto-fotonya.”
Pipiku terasa basah saat dia mendaratkan ciuman sekilas di sana. Dia mengucapkan salam perpisahan dengan begitu mesra. Pipi ini semakin basah saat mobilnya menghilang di tikungan jalan. Kakiku terasa lemas, namun tetap kupaksakan untuk melangkah demi bisa sampai ke kamar.
Aku menatap langit-angit kamar. Kenapa pil itu tidak bereaksi sama sekali? Apakah aku perlu meminumnya lagi? Bunyi pesan masuk membuatku melupakan keinginan itu. Aku mengambil ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.
Dimas mengirim foto sudah bersama teman-temannya dengan latar sebuah bus. Seperti biasa, Dimas akan setiap saat memberi laporan tentang kegiatannya kepadaku. Aku mengetik balasan dengan simbol cinta kemudian segera meletakkan kembali benda itu.
Pasangan belia di brosur wisata di pulau Bali seolah-olah mengejekku. Sampai kapan aku sanggup meyakinkan diri kalau ini lah kebahagiaan hidup kami? Kurobek tiket dan brosur menjadi serpihan kecil. Ketidakberdayaan yang menyelimuti jiwa ini begitu menyakitkan. Mungkin, pil-pil itu bisa meringankan sakitku.
Kini, aku hanya bisa meringkuk di balik selimut, berharap kegelapan ini akan menyembunyikan semua kegalauan ini untuk selamanya.
***
Bali, 13 Desember 2021
Ketut Eka Kanatam, Bali. Penyuka ungu, ibu rumah tangga dan guru TK. Sudah menulis di beberapa antologi. Berharap suatu saat tulisannya akan dibaca oleh semua anak didiknya.
Editor : Uzwah Anna
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata