Oleh : Ismi
Lulu kesal. Ia tidak bisa bermain games kesukaannya di laptop. Wi-FI rumah mati, bahkan untuk tidur siang pun Lulu tidak bisa, karena pendingin udara di kamar yang biasa membuatnya tertidur, kini tidak menyala. Ini semua gara-gara mati listrik.
Untuk mengisi waktu, awalnya Lulu bermain masak-masakan bersama Mbak Murni, pengasuhnya. Namun, lama-kelamaan ia menjadi sangat bosan.
Berkali-kali ia membuang napas dengan kuat, berdoa dalam hati supaya listrik cepat menyala, tetapi tiga jam sudah berlalu dan listrik masih tetap mati.
“Mbak!”
Teriakan Lulu membuat Mbak Murni mendekatinya. Gadis kecil yang duduk di kelas dua sekolah dasar itu mengempaskan tubuhnya di sofa. Matanya memandang kosong ke arah TV besar yang mati. Ia juga sering melirik jam dinding dan memperhatikan jarum jam yang berjalan sangat lambat, seperti Kakek Edi, salah satu pedagang mainan di sekolahnya. Bahkan Lulu bisa mendengar bunyi jarum jam itu bergerak, tetapi aneh, jarumnya masih berada di angka tiga.
“Kapan, sih, lampunya nyala?”
Bibir mungilnya meruncing, kedua tangan melipat di dada, kaki kecilnya bergoyang-goyang mengusir resah hingga menendang tumpukan lego yang berada tepat di kakinya.
“Makan dulu, yuk.” Ajak Mbak Murni lembut.
“Aku enggak mau makan. Aku bosen, bosen!” Suara Lulu melengking melebihi bunyi trompet tahun baru.
Mata gadis itu mulai berembun. Tangannya menutupi wajah. Ia benar-benar bosan.
Lulu tidak mempunyai kakak atau adik. Kedua orang tuanya sibuk bekerja. Mereka pulang menjelang magrib. Orangtuanya selalu berangkat pagi karena kantor mereka sangat jauh dari rumah, begitu kata mama dan papa. Jika terlambat, mereka akan dimarahi oleh Pak Bos. Lulu mengerti, Lulu juga sangat takut jika terlambat datang ke sekolah. Bu Guru Sasa akan melotot seperti boneka Chucky yang pernah ia lihat di laptopnya. Serem.
Pernah suatu hari Lulu merengek meminta agar sang mama berhenti kerja. Lulu ingin sekali diantar jemput oleh Mama seperti Tika atau Desi, teman sekolahnya. Atau tidur siang bersama Mama, seperti cerita dari Aira, teman sebangkunya. Atau makan disuapin mama seperti tetangga depan rumah yang sedang ia lihat dari jendela kamar.
“Ck, udah gede masih disuapin.”
Lulu menutup kasar gorden kamarnya yang berada di lantai dua. Lulu benci sekali melihat pemandangan di depan rumahnya, tapi nyatanya Lulu juga ingin seperti itu.
“Mama kan kerja buat beli mainan, beli baju baru, buat bayar les, dan semua yang Lulu mau.”
Penjelasan dan senyum Mama saat itu tidak membuat hati Lulu luluh. Lulu bingung, mengapa Mama sangat ingin bekerja? Bukankah lebih enak di rumah seperti Tante Lia, adiknya mama, yang hanya tiduran sambil main ponsel.
Tidak ada yang bisa dilakukan Lulu selain diam. Tangannya meremas boneka Teddy Bear kesayangannya.
“Ini lagi, kenapa berisik banget di luar?” maki Lulu sambil menendang kaki meja di depannya.
Rumah Lulu berada di sebelah lapangan, tetapi ia jarang ke luar rumah. Lulu tidak kenal anak-anak di lingkungan rumahnya.
Mbak Murni hanya diam mendengarkan ocehan Lulu yang seperti dengungan lebah ketika sarangnya diusik. Perempuan itu sudah berusaha menenangkan hati Lulu, tapi apa daya, bocah cilik itu keras kepala.
“Berisik!” Lulu menutup telinganya.
Suara teriakan dan tawa dari lapangan sebelah rumahnya membuat Lulu semakin tidak tenang.
“Neng Lulu, Mbak tahu, loh, obat bosen,” ucap Mbak Murni sambil tersenyum penuh arti.
Gadis yang rambutnya selalu diikat kucir kuda itu melihat ke arah Mbak Murni, menanti jawaban.
Lalu Mbak Murni mengajak Lulu ke luar rumah menuju lapangan, tempat di mana anak-anak seusia Lulu berkumpul dan bermain. Mbak Murni juga membawa sepeda Lulu. Sepeda lipat berwarna ungu yang merupakan hadiah ulang tahun dari Papa dan Mama. Sepeda yang jarang ia gunakan karena tidak ada yang menemaninya bermain.
Pandangan Lulu menyapu lapangan. Banyak sekali anak-anak yang bermain. Lelaki dan perempuan berbaur. Ada yang berlarian, ada yang main sepeda bahkan ada yang main bulu tangkis.
“Nah, Neng Lulu main sepeda aja.”
Mbak Murni memberikan sepeda kepada Lulu. Semula Lulu menggeleng, ia hanya duduk di samping Mbak Murni. Namun, Mbak Murni pergi menghampiri anak perempuan seusia Lulu dan tangannya menunjuk ke arah Lulu.
“Ih, Mbak Murni kenapa nunjuk-nunjuk sih,” gumam Lulu kesal.
Lulu akhirnya mengayuh sepeda di tanah lapang tersebut. Beberapa anak perempuan mendekatinya. Mbak Murni menunggu di pinggir lapangan. Senyum manis tersungging di bibirnya.
“Neng Lulu, pulang, yuk, lampu udah nyala, nih.”
Teriakan Mbak Murni dari sisi lapangan membuat Lulu menoleh.
“Bentar, Mbak, satu putaran lagi.”
Lulu mengayuh sepedanya dengan semangat mengikuti Hana dan Zahra, teman barunya.
***
Jakarta, 3 Januari 2022
Ismi, penyuka kopi hitam tanpa gula dan makanan gurih. FB Ismii Ismii.
Editor : Rinanda Tesniana
Gambar : https://pin.it/26quo9H
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata