Fir dan Ulat Bulu di Dalam Stoples
Penulis: Hassanah
Hai, Fir. Apa kabarmu di Kota Keadilan? Dalam amplop ini kukirim juga sepoi angin yang menggoyangkan dedaunan hingga embun-embun yang menempel di atasnya jatuh, tepat di atas ranting dan daun kering kesukaanmu. Pun langit biru yang sedikit kekuningan di sebagian sisi, serta kabut tipis dengan berkas mentari pagi khas pegunungan. Kemudian penonton setia yang setiap kali kita bermain ayunan, mereka selalu malu-malu di balik dahan atau cabang-cabang pohon kayu untuk mencuri pandang, binatang berbulu dan bergigi lucu: tupai dan kelinci.
Ah, sudah lama sekali rasanya kita tidak bermain ayunan bersama. Akan tetapi, setiap kali aku merindukanmu, aku akan duduk di ayunan itu sendirian sambil menghitung pohon-pohon. Dan biasanya, Opa akan menghampiriku lalu bercerita tentang bagaimana megahnya kota tempat tinggalmu. Hanya saja, aku heran karena setiap kali berkata ingin mengunjungimu, ia selalu memasang wajah tidak suka. Apakah biaya ke sana sangat mahal, Fir?
Akan tetapi, kau tidak perlu khawatir. Aku pasti akan mengunjungimu suatu hari nanti karena nilai pelajaranku terus meningkat dan membuat Opa-Oma terkejut tidak percaya. Wali kelasku bahkan menanyakan rahasianya. Dan kalau aku terus meningkatkannya serta mendapat sebuah keberuntungan, aku bisa mendaftar kuliah di kotamu tiga tahun lagi. Aku sampai susah tidur karena tidak sabar menunggu momen itu terjadi.
Oh iya, Fir, maaf kalau kau bosan membaca kalimat ini, tapi aku benar-benar merindukanmu. Di sini, sangat sepi sekali tanpa kehadiranmu.
Seandainya waktu itu aku tidak terlambat pulang sekolah karena kelas tambahan menjelang ujian, aku pasti ikut mengantarkanmu pergi bersama yang lain. Di tanggal yang aku sukai, di hari pembukaan Piala Dunia ke-18, aku merasa ditinggalkan lagi. Dan entah mengapa, sejak saat itu aku jadi begini: melihatmu dalam mimpi sambil bermain melawan asap dari kayu basah milik Opa, mendorong ayunan yang kau duduki, dan tentu saja bermain bola sepak dengan aku sebagai penjaga gawang. Hanya satu saja yang kurang, Fir, yaitu permainan kesukaanmu, permainan teka-teki kata.
Fir, kenapa orang dewasa terlalu banyak pikirannya? Apa yang membuat mereka takut-takut sehingga mengorbankan kepercayaan seseorang? Apakah mereka takut kalau aku menjadi tidak bergairah dan akhirnya gila? Apa mereka takut aku kembali seperti dulu saat pertama kali datang ke sini? Apa mereka takut aku membusuk di rumah lamaku seorang diri? Aku tahu mereka ingin melindungiku, tapi nyatanya mereka hanya menunda rasa sakit itu sementara. Bisakah kau mengerti apa yang aku rasakan, Fir?
Dulu, biasanya, ketika aku bercerita tentang kekecewaan kepadamu, kau pasti akan berkata, “Jangan cengeng! Anak-anak itu harusnya banyak tertawa bahagia, bukan menangis terus-terusan.” Jelas sekali kau mengejekku saat itu, tapi aku menyukai kalimat-kalimatmu.
Aku masih ingat saat kau datang menemuiku pertama kali dengan topi aneh yang pada akhirnya aku menjadi terbiasa melihatmu menggunakan itu. Kau membawa seekor ulat bulu dalam stoples dan dua keping koin cokelat, lalu menyuruhku memilih salah satu secara tiba-tiba. Dan apa kau masih ingat ketika aku meninggalkanmu saat itu sambil menangis? Kau benar-benar aneh! Mana ada orang yang baru berjumpa pertama kali tiba-tiba menyodorkan ulat bulu, Fir. Kau ini!
Ah, iya, mengingat itu, sepertinya aku juga teringat satu hal. Aku belum meminta maaf kepadamu sampai detik ini, bukan? Oke, kalau begitu aku akan sengaja menjatuhkan kuas lukismu lalu berkata: Sorry.
Apakah kau mau memaafkanku, Fir? Katakanlah iya seperti dulu-dulu, saat aku sering sekali tidak sengaja mengganggumu melukis pemandangan di halaman belakang rumahmu yang menyatu dengan halaman belakang rumah Opa. Apakah kau masih suka melukis? Bagaimana dengan kuas kirimanku untukmu bersama surat sebelumnya sebagai hadiah tahun baru? Apakah kau menerimanya? Aku akan menunggu balasan surat-suratmu setiap awal tahun dan bulan Juni seperti ketika menunggumu kembali dari kota untuk pengobatan waktu itu.
Aku benar-benar masih mengingat itu saat menunggumu pulang dari rumah sakit setelah menginap di sana selama lebih dari seminggu. Perjuanganku untuk menjengukmu berakhir sia-sia karena Opa bilang, kau tidak bisa menerima kunjungan apa pun kala itu. Aku sampai menangis karena bosan bermain sendirian. Dan akhirnya, Oma memintaku untuk mendoakanmu di pagi hari, siang hari, sore hari, dan malam sebelum tidur. Aku benar-benar melakukannya agar kau bisa pulang dan menemaniku bermain memecahkan teka-teki kata dan melihat pertumbuhan ulat bulu pemberianmu.
“Kau harus banyak membaca. Jangan malas untuk membuka bukumu atau nanti buku-buku itu marah kepadamu,” ucapmu sewaktu aku gagal menebak kata klorofil untuk pertanyaan nama dari zat hijau pada daun. Ah, kau benar-benar andal dalam mengejekku.
Pada akhirnya, itu benar, Fir. Buku-buku sempat marah kepadaku sehingga teman-temanku meninggalkan aku di kelas lama dengan teman-teman baru. Mereka mengatakan aku ini bodoh. Dan akhirnya aku putuskan untuk berteman dengan buku-buku daripada mereka. Darinya jugalah aku belajar membingkai rasa sakit dan kehilangan agar tidak menguasai jiwaku yang lemah. Dan darinya jugalah aku bisa memaknai kesukaanmu terhadap ulat bulu. Ia yang banyak dijauhi orang-orang karena penampilannya, ia juga ditinggalkan atau bahkan dibuang hanya karena ingin bermain di taman-taman. Lalu, kau memilih untuk merawatnya dan memberinya nama-nama. Ia sama sepertimu, kan?
Fir, surat ke sembilan ini sepertinya akan menjadi surat terakhirku untukmu dan aku tidak akan menunggu balasan delapan surat sebelumnya lagi. Di tanggal yang sama saat kau pergi tanpa berpamitan denganku, padahal kau tahu aku menyukaimu dan angka itu, dan di saat sepoi angin menggugurkan embun-embun, dan di saat hatiku diisi sayap kupu-kupu yang patah, aku melambaikan tangan untukmu. Teruntuk hal-hal yang aku sukai, terima kasih. Teruntuk Fir sahabatku, tenang dan bahagialah di sana.
Bumi Lancang Kuning, 14 November 2021
Bionarasi:
Hassanah adalah seorang gadis kelahiran Aceh yang besar di Tanah Melayu, Riau. Seorang penulis amatir yang suka bermimpi dengan sangat percaya diri. Penyuka aroma kopi dan sejuknya pagi.
Editor: Erlyna