Anak Paman

Anak Paman

Anak Paman

Oleh: Cokelat

 

Saat pertama mendengar aku dipindah tugaskan ke luar pulau, Ibu sangat terkejut. Sehari semalam perempuan yang masih cantik di usianya yang menginjak lima puluh tahun itu menangis. Matanya sampai sembap dan suaranya parau. Saat aku menggodanya kalau Ibu terlihat jelek dengan wajah seperti itu, aku malah dicubit habis-habisan. 

 

“Sejak ayahmu wafat, hanya kau yang Ibu harapkan untuk menjaga Ibu dan kedua adikmu. Bagaimana kami tiga perempuan ini akan hidup terpisah begitu jauh darimu?” 

 

Aku memeluk Ibu erat. “Zahra dan Zaida sudah besar, Bu. Mereka sudah beranjak dewasa. Jangan selalu memperlakukan mereka seperti anak kecil. Ibu harus percaya pada mereka. Mereka pasti akan saling menjaga dan juga menjaga Ibu.”

 

Ibu memang selalu menganggap kedua adik kembarku yang kini duduk di semester satu sebuah universitas seperti anak kecil. Dan selama ini aku diwajibkan menjadi satpam untuk kedua gadis cantik itu. 

 

“Atau Ibu ikut saja denganku. Bagaimana?” 

 

Ibu melepaskan pelukanku lalu mengusap ingusnya dengan tisu yang kusodorkan. 

 

“Tidak, Nak. Adik-adikmu masih perlu diawasi. Kamu laki-laki dan sudah dewasa. Ibu yakin kamu bisa menjaga diri. Jika adik-adikmu libur, kami akan sering-sering mengunjungimu.”  Syukurlah, sepertinya Ibu mulai bisa menerima kepindahanku. 

 

Malam sebelum keberangkatanku, Ibu masuk ke kamar dan duduk di atas ranjang. Kupikir ada sesuatu yang penting yang ingin Ibu bicarakan. Ternyata perempuan kesayanganku itu ingin agar aku mencari saudara sepupunya yang sudah lama merantau ke daerah tempat tinggalku nanti.  

 

“Pamanmu itu anak pertama Kakek Ramli. Sejak pergi, dia belum pernah kembali ataupun menjenguk keluarga di sini.”

 

“Waktu Kakek Ramli meninggal, Paman tak pulang?” Aku menyebut nama Kakak tertua kakekku. Seingatku Kakek Ramli meninggal saat aku duduk di kelas lima SD. Tak banyak yang bisa kuingat tentang kejadian itu selain Kakek Ramli meninggal karena disambar sepeda motor sepulang dari salat Subuh di masjid. 

 

“Tidak. Dia tak pulang.”

 

Ibu beranjak dan melangkah ke pintu. “Jangan lupa, nama Pamanmu Razak. Yang terakhir Ibu ingat dia tinggal di wilayah pesisir, di suatu kampung yang banyak dihuni pendatang dari kampung kita. Jika ada waktu, carilah pamanmu itu.” Ibu lalu menutup pintu dari luar. 

 

Sudah tiga bulan sejak kepindahanku dan aku belum kunjung melaksanakan amanat dari Ibu. Aku selalu tak punya cukup waktu untuk mulai mencari informasi tentang Paman Razak. Ada begitu banyak pekerjaan yang harus aku bereskan di sini. Aku mulai curiga, ini alasan para petinggi perusahaan memindahkanku. Ternyata banyak yang perlu dibenahi di kantor cabang ini. 

 

Aku sedang memeriksa laporan keuangan ketika terdengar pintu diketuk. Sebuah kepala mengintip dari balik pintu saat aku berteriak menyuruh masuk. Aku mengernyit, apa dia tak berniat masuk dan hanya mengintip saja di situ?

 

“Ya? Ada apa Mbak Mutiara?” Aku selalu memanggil bawahanku dengan nama lengkap mereka jika sedang kesal atau emosi.  Dan sepertinya gadis itu tahu kalau aku kesal dengan sikapnya yang hanya mengintip dari balik pintu. Dia lalu masuk dan melangkah ragu-ragu. 

 

“Saya … sebenarnya saya ingin mengundang Bapak dan teman-teman semua ke rumah malam nanti.” Dia berdiri dengan gugup di depan meja kerjaku. 

 

“Ada acara apa?” Aku bertanya dengan ketus sambil tetap memandang kertas-kertas laporan yang berserakan di atas meja. 

 

Mutiara semakin gugup. Kulirik, dia meremas kedua tangannya di depan perut. “A-ayah saya akan berangkat umroh. A-ada acara syukuran di rumah, Pak,” jawab Mutiara, terbata-bata. 

 

Aku mengalihkan pandangan pada wajah Mutiara. Rambutnya ikal sebahu dengan kulit cokelat yang eksotis. Hidungnya tidak mancung tapi tidak pesek, sangat pas berada di wajahnya yang oval, tepat di atas bibir tipisnya yang disapu lipstik berwarna pink. Alis lebat berjejer di atas matanya yang besar. Gadis ini sebenarnya cantik. Hanya saja tertutupi dengan sikap tidak percaya diri dan pemalu yang menjadi kesehariannya. 

 

Mutiara masih berdiri sambil tertunduk di depanku. Dia mengerjap beberapa kali dan mulai menggigit-gigit bibirnya. Kebiasan gadis ini jika mulai gugup. Tak lama lagi dia pasti menggaruk hidungnya. Dan saat Mutiara benar-benar menggaruk hidungnya, aku tersentak. Astaga, ada apa denganku? Mengapa aku begitu paham kebiasaannya? Ini benar-benar memalukan.

 

“Bagaimana, Pak? A-apa Bapak bisa datang?” Dia masih tidak berani menatapku. Gadis ini benar-benar menggemaskan. 

 

“Ya. Sampaikan kepada semuanya, kita akan berangkat bersama-sama dari kantor. Semua kumpul dulu di sini.”

 

Dia hanya mengangguk dan bergegas pergi. Aku tersenyum sampai gadis itu menghilang. Apa aku sedang jatuh cinta? Terus terang, gadis lugu itu sudah mengisi pikiranku sebulan ini. Ah, pasti hanya kekaguman sesaat, seperti yang sudah-sudah. Aku tak mudah jatuh cinta, apalagi di usiaku yang kini menginjak tiga puluh tahun. Aku sedang mencari istri yang baik dan soleha. Sudah cukup kenakalan masa mudaku dulu. Sudah cukup aku bermain-main dengan banyak wanita hanya untuk bersenang-senang. 

 

Ternyata rumah Mutiara berada di daerah pesisir. Sama dengan daerah tempat tinggal Paman Razak, seperti yang Ibu sampaikan. Aku harus mencari informasi pada Mutiara besok di kantor. Siapa tahu dia mengetahui seseorang bernama Razak. 

 

Mutiara menyambut kami di depan pintu, lalu mempersilakan masuk. Dia lalu memperkenalkan Ayahnya. Aku kaget. Apa ini perasaanku saja? Lelaki yang rambut di kepalanya sebagian telah memutih itu begitu mirip dengan Kakek Ramli, dengan Kakekku bahkan denganku. 

 

“Razak. Razak Ramli.” Ayah Mutiara menyodorkan tangannya untuk bersalaman dan aku kehilangan kata-kata. 

 

Setelah aku menjelaskan semuanya pada Paman Razak, dia langsung memelukku erat. Aku bahkan bisa mendengar isaknya di telingaku. Benar-benar suatu pertemuan yang tak terduga. Saat acara pengajian akan dimulai, Paman Razak pamit untuk bergabung dengan para orang tua. Kami harus bicara lagi setelah acara selesai, katanya. Aku hanya mengangguk. Ibu pasti sangat senang jika mendengar kabar ini nanti. Aku sudah menemukan Kakak sepupunya yang pergi selama berpuluh-puluh tahun. 

 

Aku tak henti memandang Paman Razak dari kejauhan. Harus kuakui, gen keluarga Ibu sangat kuat. Kami benar-benar mirip. 

 

“Pak, silakan dicicipi.” Ragu-ragu, Mutiara menyuguhkan sepiring kue ke hadapanku. Aku melirik gadis itu. Jadi dia adik sepupuku. Kenyataan ini benar-benar mengejutkan. Tapi tak masalah, tidak ada larangan untuk jatuh cinta pada seorang sepupu, kan?  Hei, apa-apaan aku ini? Aku senyum-senyum sendiri dengan pandangan yang tak bisa lepas dari Mutiara. 

 

Aku tinggal berdua dengan Paman Razak di teras rumahnya saat semua orang telah pulang. Acara sudah selesai sejak dua jam yang lalu. Paman Razak menanyakan keadaan keluarga di kampung kami. Dia juga menceritakan tentang keluarganya. 

 

Paman Razak menikahi seorang perempuan setempat dua puluh lima tahun lalu. Mereka memiliki dua orang puteri, Mutiara dan adiknya, Berlian. Ibu Mutiara meninggal lima tahun lalu. 

 

“Paman senang ternyata Mutia adalah bawahanmu di kantor. Tolong jaga dan bimbing adikmu itu, ya, Nak.” Paman Razak tersenyum ke arahku.

 

Aku memandang Paman Razak dengan lekat. Seandainya Paman tahu perasaanku … aku akan jujur padanya, tapi tidak sekarang. Terlalu cepat jika aku memberitahu lelaki tinggi besar itu. Aku akan sabar menunggu waktu yang tepat sambil melakukan pendekatan pada Mutiara. 

 

Aku bergerak cepat. Tidak ada gunanya membuang-buang waktu. Toh, aku semakin yakin dengan perasaanku. Hampir setiap hari aku mengajak Mutiara makan siang bersama. Aku melakukannya agar kami bisa semakin dekat dan akrab. Awalnya dia agak canggung. Setelah berkali-kali, gadis itu akhirnya mulai terbiasa. 

 

Anak buahku di kantor ikut heboh. Beberapa kali aku sempat memergoki mereka sedang menggoda Mutiara. Gadis itu hanya bisa tersipu malu sambil menunduk. Semakin menggemaskan. Aku membiarkan mereka melakukan itu padanya, agar dia terbiasa dan mulai percaya diri.  

 

Saat Paman Razak berangkat umrah, aku memberanikan diri berkunjung ke rumahnya dan mengajak Mutiara keluar untuk makan malam. Beberapa malam berikutnya, aku mengajaknya nonton film di bioskop. Dia semakin terbiasa denganku. Tak ada lagi ucapan terbata-bata atau pandangan penuh rasa khawatir dan takut dari matanya. Yang ada hanya jawaban-jawaban manja yang keluar dari bibir mungilnya. Juga sikap tersipu-sipu dan tatapan mesra dari sepasang mata besar yang teduh milik Mutiara. Ah, lama-lama aku bisa gila. 

 

“Kalau Paman Razak pulang nanti, aku akan memintamu padanya. Aku ingin kita segera menikah. Apakah kau bersedia?” Aku menggenggam erat tangan Mutiara saat kami berdua duduk di sofa ruang tamu Paman Razak. Aku mengantarnya pulang setelah makan malam. Ada sinar dari mata yang selalu kurindukan setiap malam. Dia mengangguk pelan, lalu tertunduk dengan senyum malu-malu. 

 

Sabar, Sayang. Sebentar lagi kita akan jadi pasangan halal. Aku yakin, tak ada alasan bagi Paman Razak untuk menolakku. Malah, dia pasti sangat senang karena aku mengeratkan kembali hubungan keluarga kami. 

 

Aku sudah memberitahu Ibu bahwa aku bertemu Paman Razak dan kedua putrinya. Aku juga menyampaikan bahwa aku sedang dekat dengan seseorang wanita dan kali ini aku benar-benar serius. Tapi aku tak menjelaskan bahwa wanita itu adalah anak Paman Razak. Ibu pasti akan sangat senang jika tahu bahwa wanita yang aku cintai adalah keponakannya sendiri. 

 

Aku duduk tegap di hadapan Paman Razak dengan penuh percaya diri. Baru kemarin Paman pulang, dan malam ini aku sudah mengutarakan maksud untuk melamar Mutiara padanya. Mengherankan, reaksi Paman Razak tidak seperti yang kubayangkan. Dia hanya diam dan menatapku dengan tatapan yang entahlah, aku tak bisa menjelaskannya.

 

“Maaf, Nak. Paman tak bisa menyetujuinya.” Jawaban Paman Razak sungguh di luar dugaanku. Aku benar-benar tak menyangkanya. 

 

“Tapi Paman … aku janji, aku akan membahagiakan Mutia. Aku sangat mencintainya. Aku sungguh-sungguh, Paman.” Aku beranjak dari dudukku dan berniat untuk berlutut di depan Paman Razak. Belum sempat aku berlutut, Paman Razak segera menarik kedua lenganku agar aku berdiri tegap kembali. Kini, kami berdua berhadap-hadapan dengan jarak yang sangat dekat. 

 

Paman Razak tiba-tiba memelukku. “Maafkan Paman, Nak. Paman tak bisa merestui hubungan kalian. Tidak bisa. Sekarang pulanglah, sudah larut malam.” 

 

Paman Razak melangkah pergi, meninggalkan ku seorang diri di ruang tamu dengan perasaan hancur. Aku benar-benar tak mengerti. Apa yang salah jika aku ingin menikah dengan Mutiara? Apakah telah terjadi sesuatu di masa lalu? Apakah Paman Razak adalah musuh keluarga kami? Kepalaku dipenuhi berbagai pertanyaan. 

 

Aku bangun dengan kepala berat. Semalaman aku tak bisa tidur. Setelah salat Subuh barulah aku sempat terlelap.

 

Jam di dinding kamarku menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. Sebaiknya aku menelpon Ibu sekarang. Semalam di perjalanan pulang dari rumah Paman Razak, aku menghubungi nomor Ibu berkali-kali, tapi sepertinya Ibu sudah tidur. Ponselnya tidak aktif. 

 

“Ya, Nak? Tumben pagi-pagi nelpon Ibu.” Ibu menjawab di panggilan pertama.

 

Aku pun menceritakan semuanya. Mengenai seorang gadis yang aku suka, yang awalnya aku tak tahu siapa gadis itu. Aku melakukan pendekatan. Dan kemudian aku melamarnya. Kukatakan, aku ingin memberi kejutan pada Ibu, dan tak memberitahu bahwa gadis itu adalah anak Paman Razak. 

 

“Apa?” Ibu berteriak di ujung sana. 

 

Aku terdiam. Sepertinya memang ada sesuatu. Kedua keluarga pasti punya masalah di masa lalu. Mereka pasti bermusuhan. Aku harus mendamaikan mereka dan menikahi Mutiara agar keluarga besar kami bersatu kembali. 

 

“Bu, sebenarnya semalam aku sudah melamar Mutia pada Paman Razak. Tapi Paman menolakku.”

 

Hening, hanya suara napas Ibu yang menderu memenuhi pendengaranku.

 

“Bu, tidak bisakah Ibu membujuk Paman Razak? Datanglah ke sini, Bu. Kita berdua pasti akan bisa membujuknya. Kalau perlu, Ibu ajak Paman atau Bibi yang lain. Aku … aku sangat mencintai Mutiara, Bu.”

 

Masih hening. Kini suara deru napas Ibu bercampur isakan. Kenapa Ibu menangis?

 

“Bu? Ada apa, Bu?”

 

Aku menunggu cukup lama sampai terdengar suara Ibu, “Itu tidak boleh terjadi, Nak. Tidak mungkin.”

 

“Bu, salahkah aku kalau aku jatuh cinta pada sepupuku sendiri? Beri aku alasan kenapa aku tak boleh jatuh cinta pada Mutia, Bu.”

 

Lagi-lagi, keheningan yang tercipta. Sampai kemudian, suara isak tangis Ibu semakin keras.

 

“Itu tidak boleh terjadi, Nak.

Karena … karena kau juga adalah anak pamanmu.” 

 

Kata-kata Ibu membuatku kehilangan kekuatan untuk bertumpu.[*]

 

Kamar Cokelat, 20 Desember  2021

Cokelat, penulis yang masih terus belajar dan belajar menulis.

 

Editor: Nuke Soeprijono

 

 

 

Leave a Reply