Kisah Maling dan Lukisan yang Bisa Bicara

 

Oleh : Alisa Davina Arashi

MALING yang brutal itu masuk dari atap rumah. Lalu seperti Tarzan ia turun lewat tambang di ruang depan. Ia membungkus barang-barang berharga yang ditemuinya dan menggereknya ke atas. Tapi sebelum pergi ia tertarik pada sebuah lukisan. Maling itu mengeluarkan lampu senter dan memperhatikan lukisan itu. Wajah seorang anak yang tersenyum sambil mengacungkan es lilin yang sedang dipegangnya.

Maling itu terpukau. Ia mendekati lukisan dan mengusap-usapnya. Kemudian menciuminya. Lalu mengelusnya lagi. Dan akhirnya ia menangis tersedu-sedu.

Laki-laki yang mengenakan baju serba hitam itu lantas menurunkan lukisan yang menempel di dinding. Kemudian ia duduk di anak tangga dan menyalakan sebatang rokok. Isapan demi isapan pun dinikmatinya.

“Hai, kamu bocah. Kenapa minum es lilin tidak menawariku? Bukankah aku ini tamu meskipun aku seorang pencuri?”

Tiba-tiba anak kecil yang ada dalam lukisan itu berbicara, “Kamu memang tamu di rumah besar ini, tapi caramu bertamu salah. Sembarang saja masuk rumah orang tanpa permisi!” Panjang lebar si bocah bicara.

Maling pun tertegun lama. Ia berpikir, “Kok bisa ya bocah ini ngomong? Benar lagi?”

Si bocah tertawa terbahak-bahak. Belum sempat si Maling menjawab, bocah itu ngomong lagi. “Perlu kusebutkan lagi semua aibmu?”

Tanpa berpikir panjang, sang pencuri itu mengangguk pelan. Ia ingin tahu seberapa tahu bocah ini mengenai masa lalunya.

“Oh ya. Kau pernah memakan harta anak yatim saat muda dulu. Kau pernah membunuh Ibumu sendiri. Kamu pernah ….”

Belum sempat Maling menjawab deheman besar terdengar. Ya, itu adalah suara sang tuan rumah.

“Baiklah. Pernyataanmu memang benar. Terima kasih telah mengingatkan akan dosaku di masa lalu. Namun apakah kau tahu apa yang sekarang terjadi padaku?” Maling menimpali pernyataan si bocah. Anak laki-laki dalam lukisan itu tak bisa menjawab.

“Ha-ha-ha. Kenapa? Bingung? Nggak punya jawaban dari perkataanku, hah? Makanya jangan langsung memojokkan orang seperti itu.”

Bocah menunduk. Ia menyadari bahwa salah. Terlalu banyak bicara sebelum tahu kebenarannya.

Maling menyalakan lagi sepotong rokok yang ia keluarkan dari saku atas bajunya. Lalu, mengisap lagi dan lagi. Kepulan asap rokok berada di sekitar wajah si Maling.

Tunggu … si bocah tiba-tiba tertawa kecil. “Kenapa? Apa yang lucu?” tanya si Maling dalam hati.

“Apa yang kau tertawakan, heh, bocil (bocah kecil)?” Maling bertanya dengan nada kesal.

“Oh, tidak. Aku hanya lelah terhadap perdebatan yang tak ada ujungnya ini.”

“Lalu maumu apa?”

“Aku hanya ingin keluar dari lukisan ini. Lalu, memukulmu hingga babak belur. Ha-ha-ha.”

“Heh. Kamu masih kecil. Tidak mungkin menang melawan orang besar sepertiku. Camkan itu!”

“Begitukah, Paman Pencuri?”

“Ya. Tubuhmu saja masih kecil. Ototmu belum ada. Tenagamu pun tak seberapa.”

Keduanya pun lantas terdiam lama.

Jam di dinding itu menunjukkan pukul satu malam. Perdebatan antara pencuri dan si bocah itu ternyata sudah berlangsung selama satu jam.

Maling itu akhirnya berdiri.

“Sudahlah. Kita hentikan saja perdebatan tak berfaedah ini, ya,” ucap Maling seraya memasang foto bocah ke dinding.

“Hai. Kenapa menyerah semudah itu? Aku bisa mengabulkan semua permintaanmu jika obrolan ini berlanjut.” Si bocah membujuk Maling

“Ah, masa? Aku nggak percaya.”

Tanpa kata-kata vas bunga yang berada di atas meja itu melayang-melayang membuat si Maling takjub. Lalu, vas itu kembali ke tempatnya semula. Benar-benar amazing. Wow!

Tanpa banyak bicara, si Maling pun akhirnya memasukkan lukisan itu ke dalam tas ranselnya.

Di dalam ransel, bocah itu berteriak-teriak dengan keras. Karena si Maling bukannya melanjutkan tantangan, justru ingin membawa lukisan itu pulang ke rumahnya.

Saat akan keluar rumah, Maling berhenti pada lukisan yang mirip dengannya.

“Loh, kok bisa aku ada di lukisan itu?” Maling bertanya pada dirinya sendiri.

Lampu ruang tamu yang tadinya remang-remang berubah jadi terang. Sangat terang hingga cahayanya menyilaukan mata.

Maling berada di sebuah tempat yang dipenuhi manusia yang sedang mengantre.

“Tempat apakah ini?” Maling bertanya pada orang di sebelahnya.

“Akhirat.”

Maling masih tidak percaya kalau ia sudah mati. Ia meninggal sebab ditembak oleh sang pemilik rumah.

***

Kota Bersemi, 16-12-2021

Alisa Davina Arashi, gadis manis yang hobi menonton film komedi. Mau tahu tentang dia? Silakan add Facebook : Pipin.

Editor : Rinanda Tesniana

 

Grup FB KCLK

Halaman FB kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply