Cinta Secara Oral
Oleh: Hudo
Keringat lelahnya bercucuran dan menempel, melekat di pakaiannya. Ia mencoba mengistirahatkan raga, jiwa dan pikirannya di kamarnya yang tertutup rapat. Pintu dengan kunci yang familiar, dengan rumah-rumah warga lainnya yang terletak tepat di bawah engsel pintu.
Hensey melemparkan baju dan seperangkat pelengkap busananya pada keranjang pakaian kotornya. Ia tak peduli, sekalipun dirinya adalah perempuan, jika sudah nyaman dengan wilayah privasinya sendiri, ia bisa melakukan apa pun yang ia inginkan. Misalkan hanya menggunakan bra di dalam kamar, itu adalah hal remeh baginya. Sepulang sekolah, siang itu, ia tampak mulai berusaha menyesuaikan dinamika keadaan waktu mudanya di sekolah menengah atas, yang terletak di sebuah kota yang cukup maju; dengan rerata gaji UMR yang lumayan tinggi dibanding kota lainnya, dengan masih dikelilingi oleh bagian alam yang asri, hutan hujan yang menghijau di sekeliling kota itu. Dan dengan tata kota yang rapi, dengan jalan raya lurus yang berpusat pada satu landmark.
Ia langsung berhenti ketika lelah benar-benar menguasai fisiknya. Ia hempaskan tubuhnya yang terbilang mungil di kasur yang empuk berukuran dua kali dua meter. Jika sudah demikian, yang hanya ia lakukan hanya melamun, mencoba memikirkan ulang kembali apa yang sudah ia perbuat sebelumnya, bahkan dari jarak satu detik yang lalu, mesti ia pikirkan.
Itulah kebiasaannya yang kadang-kadang bisa membuatnya jatuh dan melayang secara berlebihan. Bila jatuh terlalu sakit, bila terbang terlalu tinggi. Yang ia coba usahakan hanyalah mengoptimalkan kesempatannya sebagai insan selagi muda. Saat itu ia baru saja kelar dari suatu urusan sekolah menengah. Ujian praktek memasak, foto grup untuk buku tahunan dan persiapan ujian sekolah akhir. Menginjak umurnya yang baru saja delapan belas tahun, satu bulan yang lalu, ia sekarang berada di kelas XII yang banyak sekali dengan tuntutan. Ia benar-benar tak menghiraukan semua, yang ia pedulikan hanya proses. Entah itu benar untuk kebaikannya atau baik untuk kebenarannya. Ia tak pernah benar-benar begitu memaksa harus mendikte perjalanannya saat itu.
Ujian sekolah pada tahun ketiga segera dimulai. Seperti biasa, ia belajar hanya ketika mendekati waktu ujian. Meski begitu, Hensey terhitung perempuan yang rajin. Ia benar tak suka jika harus menumpuk tugas sekolah. Baginya itu bisa menjadi beban yang akan mendadak mengejutkannya di waktu depan. Di tahun ketiganya di sekolah menengah itu, Hensey mendapati banyak cerita yang melengkapi perjalanannya dalam menyusuri setapak demi setapak kehidupannya, seakan berusaha mencari jati dirinya.
“Hei, habis ini langsung aja kita selesaikan tugas kita,” ucap Hensey dengan sedikit ketus, kepada salah seorang teman dekatnya, Lamtoro.
“Aih, kamu ini gak bisa santai, baru aja kita dapat tugas, masak langsung dikerjakan?”
“Beri aku sedikit waktu!” tambah Hulfer, teman Hensey yang lain.
“Untuk apa?”
“Ya, apa saja. Main, santai-santai dahulu teman,” jawab Hulfer.
“Kalau begitu, namamu takkan tercantum di dalam tugas kita,” ucap Hensey dengan tegas.
Benar-benar perempuan kompleks! Tak kenal lelah, pun tak kenal santai. Serius saja sepanjang waktu! Hulfer bergumam di dalam hati.
Sebenarnya sifatnya yang begitu memang ia miliki semenjak lama, bukan karena alasan sesaat entah karena hari, minggu, bulan atau tahun yang lalu. Hensey terbilang perempuan amat perasa dan pemikir. Tersandung batu sedikit dan dilihat oleh khalayak di keramaian, bisa-bisa menjadi kegelisahan yang teramat mengganggu untuknya. Alasan dari pengalaman yang lalu sangat-sangat bisa menjadi faktor utama dalam penentuan karakter pribadinya. Salah satunya di sini.
“Kelakar!” cetusnya tiba-tiba saat siang merebak ke dalam jendela kamarnya seusai ia pulang dari sekolah. Sejuknya air conditioner mahal dengan suhu terkecil, juga terdingin, 16°C yang menempel di dinding kamar, tak berarti apa-apa, karena hatinya panas, sepanas matahari siang yang menerangi harinya saat itu. Sekalipun berjalan dengan lumayan kelam.
Dalam ruang pesan singkat daring dari ponsel.
“Kenapa bisa seperti itu?” Ia heran dengan perilaku mantan kekasih yang sedang dekat dengannya ketika itu. Mantan Hensey cukup penasaran ingin benar bersanding kembali dengan Hensey. Meski pernah sekali, Plyanka benar-benar mematahkan hati Hensey dua tahun yang lalu. Selang waktu tersebut, Plyanka selalu saja sekali atau dua waktu mendekati Hensey kembali, untuk urusan hatinya. Plyanka tahu sangat, jika Hensey adalah insan tulus nan ikhlas, pun dengan paras yang cukup manis dengan bibir ukuran ketebalan yang standar, tak begitu tebal pun tipis. Mata merona yang sipit, dilengkapi dengan kulit yang kuning untuk ukuran perempuan semanis Hensey. Lain dari sini, Plyanka juga terhitung tampan. Sering bergonta-ganti pasangan. Suka benar bermain kata, mengelak dengan retorika-retorika hasil dari empirisitas percintaan yang pernah ia lalui, yang sama saja, selalu berakhir dan tak cukup syukur. Plyanka menghilang begitu saja, ketika pasangannya benar-benar sudah mendalam berperasaan kepadanya. Lain dari ini, ada.
Plyanka bisa mencari-cari alasan dengan retorika khasnya yang kemudian ia serangkan pada kekasihnya jika ia sedang mengelak melawan fakta bahwa ia memang seorang muda yang tak pandai me-manage syukur. Sekalipun Plyanka yang berada dalam posisi bersalah ia bisa dengan pintar mengubah posisi dan berlaku selayaknya korban.
“Jadi kau telah berbuat begitu dengannya? Dengan mantan kekasihmu itu?”
“Iya. Aku hanya berusaha jujur terhadapmu, Sey.”
“Enak sekali, kali ini kalkulasi soal cinta sifatnya wajar! Aku tak pernah sekalipun berlaku curang padamu, kelakar!”
“Aku hanya berusaha jujur. Demi keutuhan.”
“Kau menciumnya!” Hensey benar-benar geram atas perlakuan mantan kekasihnya yang ia pun sebenarnya masih menyimpan rasa untuk mantan kekasihnya ini. “Sudah berapa kali kau begini? Toh tak terhitung.”
“Aku minta maaf, benar-benar.”
“Lalu kau berarti masih mencintai kekasihmu?!”
“Tidak. Sama sekali, tidak!”
“Kau mengelak, tapi kau menyakitiku.”
“Aku mohon maaf sekali lagi, beri aku ruang lagi. Mohon.”
“Itu hanya sekedar ciuman, Sey, tak lebih,” tambah Plyanka untuk menjelaskan argumennya yang seolah bahwa perlakuannya adalah sekadar bagian dari nafsu manusia yang mesti disalurkan.
“Ya! Hanya ciuman! Kau tak bisa berpikir.” Hensey mengakhiri percakapan itu dan tak mau melanjutkan penjelasan lagi.
Setelah menonaktifkan data daringnya, Hensey spontan langsung terpikirkan dan menangis sejadi-jadi yang dimau. Betapa tidak, waktu tengah malam ia masih terjaga untuk jam yang cukup lama.
Ia benar-benar kali itu merasa capai oleh perbuatan Plyanka yang kejam. Pikirnya, sekalipun ia manusia pula yang haus akan hasrat seksual dengan orang yang paling disayangnya ketika itu, siapa lagi kalau tidak Plyanka. Hensey tak mau melakukan itu dengan waktu yang terlampau cepat dan pertimbangan bodoh yang cepat pula. Pikiran dan gairah dalam diri Hensey tentu pun tak menafikan kalau ia ingin mencoba melakukannya, lebih dari ciuman sekalipun, darah muda yang mengalir di dalam diri perempuan anggun ini pun sempat ia bukakan untuk mantan kekasihnya Plyanka walau hanya dengan sentimen senda gurau dan sesekali dibumbui dengan hasrat serius untuk kepuasan seksual keduanya.
Lagi-lagi hanya dalam ruang pesan singkat daring dari ponsel. Karena perkembangan zaman sudah tidak lagi berpihak pada pesan singkat konvensional.
“Masa kamu tak paham apa yang aku maksud?” rayu Plyanka pada Hensey.
“Hmm.” Degup jantung tak terkira menguasai Hensey.
“Jangan ah! Kamu masih pemula. Tak patut.”
“Asal kau tahu, aku sudah tahu apa yang kau maksud, Ka.”
“Aku tak munafik kali ini.” Hensey seperti memberi kode untuk Plyanka bahwa ia juga remaja yang menggebu-gebu. “Kalau berani berlakulah kepadaku seperti itu.”
“Ayo! Aku tak main-main,” hasut Plyanka walau sebenarnya mereka takkan benar-benar melakukannya. Pikiran Plyanka saat itu sedang rasional, ia menimbang orang sebaik Hensey tidak patut untuk dinodai. Sekalipun gairah keduanya sedang memuncak. Jika salah satunya tak ada yang menahannya, bisa saja obrolan berubah menjadi pertemuan yang berujung kecelakaan itu akan terjadi. Itulah titik salah satu kebaikan Plyanka pada Hensey walau terlampau sering Hensey menilai Plyanka buruk, meski Plyanka sangat disayanginya. Plyanka berpikir untuk sekadar memberitahu saja; mulai dari keinginan seksualitas bersama Hensey dan keterbukaan akan pengalaman seksualitas yang pernah Plyanka lalui.
“Ayolah!” balas Hensey.
“Di mana? Di jok motor? Ha?”
“Heh ada-ada saja!” canda yang berusaha ditawarkan Hensey untuk mencairkan suasana.
“Takkan mungkin denganmu.”
“Memangnya kau sudah begitu dengan siapa-saja?”
“Dengan Felies, dengan dia, dia dan dia.”
“Ih, denganku kapan?”
Plyanka tak menjawab, ia sengaja meninggalkan obrolan panas itu sebentar waktu demi mendinginkan suasana.
“Memangnya kau sudah berbuat apa saja dengan mereka?” Hensey masih saja panas, baik pikirannya pun syahwatnya.
Selang beberapa menit, Plyanka lantas membalas,“Aku ditawarkan servis spesial oleh mantanku yang lalu.” Plyanka saat itu hanya berniat terbuka dan tak ada niatan untuk menyakiti Hensey. Ia berpandangan bahwa Hensey pula yang meminta dan penasaran.
“Something a great job?” kode Hensey pada Plyanka, yang di mana Hensey sudah tahu istilah-istilah dewasa. Karena walau ia terhitung seorang muda baik yang tak macam-macam, Hensey menganggap perlakuan dan pengetahuan soal itu masih dalam kewajaran selama memang tak macam-macam dalam arti yang sesungguhnya. Lebih dari itu, Hensey terhitung sebagai seorang penikmat video dewasa untuk kebutuhan pribadinya yang ia lakukan secara sendiri.
Kemudian Plyanka menjelaskan sebuah adegan seksual yang dilakukan secara oral.
“A blowing job. Hahaha.”
“Tidak, tidak lebih. Yang terbesar hanya itu,” tambah Plyanka.
Tersentak hati Hensey mendebar tak karuan, pikirannya juga sama. Ia merasa begitu jijik, tetapi tanpa mengelak, ia pun ingin mencobanya. Apalagi dengan salah satu yang tersayang bagi Hensey, Plyanka. Ya, setelah keterbukaan satu sama lain yang mereka lakukan. Padahal, Hensey sendiri yang memancing untuk mendapatkan informasi mendalam soal pengalaman Plyanka, seandainya ia tak bertanya, tentu ia tiada berpikir berlebihan begini. Tertebaklah Hensey banyak-banyak berpikiran kotor akan hal semacam itu seusai kejadian lalu. Terkadang ia ingin sekali melakukannya. Tak jarang pun ia sangat membenci hal-hal yang berkaitan akan hal tersebut. Dari sini ia semakin merasa tersakiti oleh Plyanka. Walau penyebab utamanya bukan Plyanka, melainkan Hensey sendiri.
Memori Hensey menumpuk setelah Plyanka mengakui telah mencium bibir sang mantan kekasihnya yang lain ketika itu. Fakta disini, Plyanka sering bercengkerama akrab dengan mantan-mantannya, dengan harapan ia bisa kembali mengulang kisah indah dari salah satu mantannya. Lebih dari itu memang kebiasaan Plyanka adalah menyimpan perasaan untuk mantannya entah karena rasa sayang yang masih tertahan, begitu pun rasa penasaran atau karena rasa ingin tahu yang membesar kalau dirinya masih berhak bersanding dengan perempuan yang sudah disakitinya. Ditambah dengan ingatan yang lain kalau lelaki yang disayangnya, Plyanka. Pernah melakukan hal serupa yang seharusnya belum dilakukan oleh seorang muda sebelum dewasa dan terikat oleh janji perkawinan baik agama maupun adat.
Datanglah momen di mana mereka berdua berkesempatan untuk berbincang kembali, kali ini bersitatap. Hensey ingin sekali memberitahu yang terdalam dari lubuknya untuk Plyanka.
“Aku menyayangimu, Ka. Sungguh tak main.”
“Aku pun. Namun kau tak pernah sekalipun memberiku ruang barang sekalipun.”
“Aku takut! Kau benar-benar sudah terletak di hati ini. Dalam waktu yang sama, kau pun sudah menyakitiku dengan benar-benar, berkali.”
“Jika saja kau memberi ruang, sekali. Aku akan membuktikannya, Sey. Tentu.”
“Ini bukan bergantung di diriku, bedebah! Dasarnya kau. Salah itu pantasnya untukmu! Tak lain lagi.”
“Aku mohon maaf, aku hanya berharap bisa tetap bersanding denganmu. Maafkanlah segala keliaran dan kekeliruan yang kuperbuat.”
“Kau spesial untukku, sangat,” tegas Plyanka.
“Tak tahu menahu lagi. Aku menyerah padamu, sungguh.”
Pikir Hensey, ia sudah memberikan hatinya secara tulus nan ikhlas. Perasaannya sepenuhnya akan memberikan Plyanka kesempatan meski tanpa status sebagai kekasih, hanya sebatas teman, walau lebih dari teman perasaannya. Justru polemik itulah yang memantik Plyanka, menurutnya Hensey tak ada ideal, tak berprinsip dan membuat Plyanka semakin memaksa mendorong Hensey untuk menerimanya kembali, kendati dalam perjalanannya memang keduanya tak menemukan ilham untuk bersama. Paksaan demi paksaan dari keduanya tak berujung hasil dengan kebersamaan. Bagai mempertahankan satu telur untuk tidak jatuh kelantai dan melemparkan sekumpulan telur yang tadinya dipegang lantas membuat sekumpulan telur tersebut pecah.
***
Empat tahun berlalu dari kejadian dan cerita itu. Hensey sekarang menjadi seorang doktor dan menjabat sebagai direktur utama dari produsen alutsista lokal ternama, serta menjadi pengawas perusahaan yang mengemban tugas yang amat banyak dalam perusahaannya. Hensey tumbuh menjadi seorang wanita karir yang mandiri dan berdikari dalam usahanya. Penampilannya berganti menjadi lebih cantik, teramat. Apalagi ketika datang ke rumah. Para tetangga menyanjungnya, ia dianggap berhasil. Pendapatannya sangat melesat, ia sudah berhasil menanggung biaya pendidikan para keponakan dan kemenakannya dan membantu perekonomian keluarganya.
Detik ini pun, ia tak mau untuk menikah. Itu merupakan suatu kompleksitas yang memerlukan persiapan yang begitu matang.
Setiap siang menjelang sore, ia pulang menggunakan mobil cukup sederhana. Mini Cooper. Sekalipun gaji yang ia dapat sudah menyentuh digit dua perbulannya. Kesederhanaan semasa kecil masih ia rawat hingga ia sukses.
Dengan desingan musik indie dalam speaker mobilnya dan cahaya sore mulai membentur besi dari body mobilnya.
Sepi itu indah ….
Percayalah ….
Sepenggal lirik dari Hujan di Mimpi-Banda Neira. Ia tentu nyaman akan kesendiriannya. Sangat yakin. Orang-orang pun tahu akan begitu Hensey menjadi.
Tak dinyana. Ketika sedang bertahan di lampu merah. Dalam persimpangan disuatu distrik ramai di ibukota. “Sey, itulah kau?” sapa Plyanka yang juga terlihat sukses dari penampilannya meski ia hanya memakai motocross lelaki yang terlihat terbiasa dengan lumpur, singkatnya. Plyanka berfokus pada bidang teknik, detailnya teknik sipil yang mengharuskannya untuk selalu siap siaga mengecek lapangan, lantas tak salah jika motocross menjadi pilihan transportasi pribadinya. “Kau di sini juga? Lama tak bersua kita.” Plyanka antusias.
“Siapa dia? Seperti kenal, suara yang menyukarkan.” Sembari menengok ke luar jendela. Ternyata ditemuinya sang mantan kejam dari cerita Hensey. Tanpa menjawab basa-basi dari Plyanka, pelatuk pistol Pindad P2 ditekannya.
DOR!!!
Dan sehempas peluru keluar menembus angin Dengan menggeram, “Sey, apa salahku?” bersamaan dengan gemuruh orang-orang yang panik di persimpangan. Dengan puas, Hensey berteriak. “A blowing fucking job also, my dear.” Lalu ia melanjutkan perjalanannya pulang. Ia betul-betul mempedulikan proses. Ia telah memperbaiki kebenarannya dan membenarkan kebaikannya. (*)
Muhammad Hudoyo adalah orang biasa yang lahir 21 tahun lalu di kota telur asin. Tepatnya di hari Senin, tanggal 7 bulan Februari tahun 2000. Gemar menulis cerpen, boleh cek cerpen-cerpen jeleknya di Instagram: @hudotot, ia pun gemar membaca apa saja yang disukainya. Biasanya berkisar tentang sepakbola, politik, dan lainnya.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata