Rumah yang Kami Pilih
Oleh : Ning Kurniati
Muka Bibi menghitam sejak kemarin. Hitam yang pekat. Bukan mukanya saja, kini gigi dan matanya juga. Aku takut warna itu ikut mewarnaiku dan Ani. Bahkan lehernya menjadi kaku seperti sebatang kayu yang keras.
Ia sedang tidur siang. Aku membuka kamarnya dengan perlahan. Tidak boleh terdengar decit suara pintu. Bisa gawat kalau itu terjadi. Kalau itu terjadi, ia akan bangun dan akan menumpahkan kotoran-kotoran hitam kepadaku. Dan butuh waktu yang berhari-hari atau bulanan atau tahunan untuk menghilangkannya tergantung kepekatan kotoran tersebut.
Jantungku terpacu lebih kencang dan aku takut jantungku tiba-tiba rusak seperti punya Ayah. Aku menarik napas yang banyak. Tidur Bibi tampak tenang. Ia seperti benda mati. Tak ada gerakan naik-turun di dadanya. Mungkin memang seperti itu pengaruh kotoran yang ada pada dirinya.
Aku langsung membuka dompet kecil itu. Meski kecil, di dalamnya ada uang seratus, lima puluh, dan dua puluh ribu. Aku memilih yang lima puluh ribu. Sisanya aku kembalikan ke tempat semula dan keluar dari kamar itu.
Di luar Ani sudah menungguku. Abu-abu bibirnya masih belum memudar sejak tiga hari yang lalu. Itu karena ia menunjuk camilan saat ia dan Bibi berbelanja ke pasar. Tahu-tahu ketika pulang, bibirnya tidak merah muda lagi.
“Kita akan ke mana?” Ani berbisik.
“Ikut saja.”
“Tapi kau mengambil uang Bibi.”
“Nanti kukembalikan.”
Aku tidak tahu pukul berapa. Sinar matahari sewarna api saat ide itu terlintas sehabis, aku membaca pengumuman tentang rumah yang aku dan Ani akan tuju. Aku segera mencari Ani dan memintanya menunggu di depan kamar Bibi. Sengaja ia tidak kuberitahu apa pun dan ia kuminta untuk tidak banyak bertanya. Banyak bertanya bisa membawa ke lubang hitam, begitu pesan Ibu sebelum pergi dan itu adaalah hal terburuk di dunia ini.
Kami bergandengan tangan menuju halte bus. Tidak banyak orang yang kami temui. Pun karena kami jarang ke luar rumah dan Bibi tidak punya banyak kenalan. Aku tak perlu khawatir ada yang mengenali kami sebagai anak yang kabur dari rumah bibinya. Sebab kalau ada yang mengenali dan mengetahui tujuan kami, kami bisa dilaporkan ke pihak berwenang, lalu kami mungkin tidak akan punya kesempatan untuk kabur lagi.
Sesekali Ani mendongak kepadaku. Tanganku yang digengamnya ia remas kuat-kuat. Lama-lama kurasakan tangannya menjadi dingin dan aku berdoa semoga tanganku tetap hangat agar ia tidak lemah.
“Bibi akan khawatir.”
“Kau percaya itu?”
Hening sejenak, lalu ia menjawab, “Ya, tentu saja.”
“Tidak. Bibi akan merasa bebas.”
Bus datang dan kami menaikinya. Jarak ke tempat itu tidak terlalu jauh. Jadi, perjalanan ini tidak akan memakan waktu yang lama. Namun, aku yakin Bibi tidak akan pernah menemukan kami, karena memang ia tidak akan pernah mencari kami.
***
Sewaktu kami menemukan rumah itu, malam sangat pekat. Tak ada cahaya lampu yang memancar dari rumah tersebut. Tak ada juga suara-suara orang yang mengobrol. Semuanya pasti sudah tidur.
Rumah itu terletak di atas bukit. Ia adalah satu-satunya rumah di tempat itu. Jaraknya sekitar satu kilometer dari perhentian bus. Halamannya dipenuhi dengan tanaman-tanaman dan hanya ada satu area yang lapang dengan sepasang gawang.
Kami berjalan masuk. Ani masih menggandeng tanganku seperti tadi. Saat aku hendak mengetuk pintunya Ani menggelengkan kepalanya. Kami sempat berdebat sebentar sampai aku setuju untuk duduk di depan pintu tersebut sampai pagi.
“Ini rumah siapa?”
“Aku tidak tahu pemiliknya, yang kutahu ini rumah orang kaya.”
“Tapi bangunannya biasa saja.”
“Ya, itu tidak penting. Yang penting bangunannya luas dan selalu ada tempat untuk orang-orang seperti kita.”
“Orang seperti kita maksudmu karena kita tidak punya orang tua, ya?”
“Bukan, ini rumah untuk anak yang mau tumbuh menjadi malaikat. Di rumah Bibi kita tidak akan dibimbing menjadi malaikat. Aku tidak mau kita seperti Bibi. Lihat tangganku sudah berwarna cokelat padahal harusnya putih.”
“Aku tahu, itu karena seminggu yang lalu kau menambahkan dua potong ikan ke piringmu. Kau harusnya tidak lakukan itu.”
“Tapi kau tahu ikan itu kesukaanku.”
“Tapi Bibi tidak tahu itu. Satu percik kata hitamnya jadi mengenaimu.”
“Yah, makanya kita harus menjauhkan diri dari Bibi dan rumahnya.”
***
Mereka bangun di subuh hari. Di luar sini masih gelap, saat rumah itu memancarkan cahaya ke luar. Aku tak bisa tidur sehingga bisa menyaksikan ini seperti keajaiban. Lalu tak lama kemudian, terdengar suara anak-anak yang bercanda dan sepertinya hendak mandi karena ada sabun dan pasta gigi yang disebut-sebutnya.
Aku membangunkan Ani. Lalu, kami mengetuk pintu itu bersama-sama. Cukup lama kami mengetuk pintu itu, sampai seorang kakek membukanya. Ia memakai kacamata dan punggungnya bungkuk. Matanya melototi kami dari bawah ke atas. Ia melakukan itu sambil menggelengkan kepalanya.
“Kau harusnya memencet bel,” katanya sambil menunjuk tombol di sisi atas kepala Ani.
“Maaf, aku tidak lihat.”
“Ya, itu wajar. Ayo masuk!”
Ia meminta kami memanggilnya dengan Kakek Nami. Luas ruangannya yang kami masuki setengah luas kamar kami. Tidak ada kursi-kursi seperti di ruang tamu Bibi. Yang ada satu buah meja panjang. Di balik meja ada satu kursi beroda, sehingga ia bebas bergerak tanpa berdiri dari ujung meja ke ujungnya yang lain. Kakek Nami menanyakan nama kami, tanggal lahir kami, riwayat orang tua, dan alasan kepergian kami dari rumah sebelumnya, dan alasan kami mendatangi tempatnya.
Setelah mengisi data-data tersebut, ia mengatakan bahwa kami diterima di rumahnya. Kami bisa tinggal sampai kapan pun. Ia mengenalkan kami kepada yang lainnya dan hari itu aku dan Ani memiliki saudara baru sebanyak sembilan orang.
Butuh waktu tujuh bulan sampai warna abu-abu di bibir Ani memudar lalu benar-benar lenyap saat di hari raya agama kami. Cokelat di tanganku juga mulai memudar perlahan menjadi kuning. Sebentar lagi aku akan seperti saudara yang lain tanpa belang warna di kulitnya.
***
Sejak tinggal di tempat Kakek Nami, aku tidak pernah mencari tahu tentang Bibi sampai umurku sekarang dua puluh tahun. Bukannya aku tidak pernah mengingatnya, hanya saja aku khawatir bila aku melakukannya, aku akan jadi penasaran. Lalu lantaran rasa penasaran tersebut, aku akan berusaha menemuinya padahal ia adalah salah satu hal buruk di hidup kami. Ani sempat sangat ingin mengetahui kabar Bibi saat Kakek Nami meninggal setahun yang lalu, ia masih memiliki rasa khawatir pada saudari Ayah itu, seolah lupa kalau tidak melarikan diri kami bisa saja jadi sehitam Bibi. Aku sendiri bertanya-tanya, entah sudah sehitam apa ia sekarang.
“Kau tahu, kau punya utang kepada Bibi.” Ani datang dan duduk belunjur di sampingku. Sinar matahari saat ini persis seperti sinar saat aku menggandeng tangannya keluar dari rumah Bibi. Aku menghela napas sambil di dalam hati mensyukuri untuk hari-hari yang kami jalani saat ini.
“Kau harus membayarnya,” ucap Ani lagi.
“Aku hanya mengambil sedikit dari uang yang dimilikinya. Toh, sebagian uang itu adalah milik orangtua kita.”
“Yang sedikit itu juga uang namanya.”
“Kau baik sekali.”
“Karena aku mencontoh Kakek.”
Aku segera menengok kepadanya dan memelototi saudariku ini. Sejak kapan ia bisa sebaik itu. Yah, ternyata memang kami sudah tumbuh dewasa. Aku mendongak ke langit dan tersenyum.
“Kau tidak takut dengan keadaan Bibi,” kataku.
“Untuk apa takut?”
Ani yang berjalan di depan. Aku sudah lupa kapan terakhir kalinya kami bergandengan tangan dan saling meremas tangan untuk menguatkan diri masing-masing. Di belakangnya, aku berjalan ogah-ogahan. Sesekali ia menoleh ke belakang dan merajuk, menuntutku untuk cepat berjalan.
Sebentar lagi, kami akan sampai di rumah Bibi. Akan tetapi di dalam hatiku, sejujurnya ada rasa tidak siap untuk bertemu dengannya. Aku berpikir untuk berbalik, saat akhirnya kaki Ani tepat berdiri di muka gerbang dan sepertinya menungguku.
Ia memandang takzim rumah itu. Lalu, saat aku berdiri di sampingnya, aku jadi mengerti apa arti ketakzimannya. Rumah itu tampak rapuh karena tak terawat. Ada banyak gulma di halamannya, bahkan sudah ada yang mulai menjalar ke pintu gerbang, ke pagar rumah dan dindingnya.
“Mungkin Bibi tidak tinggal di sini lagi.”
“Tidak. Ia tidak punya tempat lain.”
“Berani sekali kau memastikan. Bagaimana kalau ia sudah lenyap?”
Ani tidak menjawabku. Ia mendorong pintu gerbang itu. Jalannya buru-buru seolah ada yang mengejarnya. Sampai di pintu, lagi-lagi ia mendorongnya dan ternyata terbuka. Aku sempat kaget. Mana mungkin perempuan itu tidak mengunci rumahnya.
Ada banyak debu di lantai. Jaring laba-laba di antara kursi-kursi dan meja. “Ayo!” Ani bergegas ke kamar Bibi. Di depan pintu tempat dulu ia menunggu, kini ia menungguku lagi. Aku yang membuka pintu itu. Degup jantungku seperti dulu. Perasaanku seperti mengulang perasaan yang dulu. Di dalam sana, Bibi terbaring sama persis seperti dulu. Bedanya, kali ini matanya membuka dan karena garis pipinya tertarik, kurasa ia sedang mencoba tersenyum.
“Aku mau mengembalikan uang yang kuambil dulu,” kataku. (*)
15 Desember 2021
Ning Kurniati, perempuan yang ingin baik-baik saja.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata