Mukena dari Ibu
Oleh: Whed
Sore ini aku tidak mau berangkat ke musala untuk mengaji karena Ibu belum membelikan mukena baru. Aku malu. Hanya aku yang memakai bawahan sarung dan atasannya mukena Ibu yang baunya tidak enak dan ada jamur yang menghitam, juga peniti di bagian leher. Mukenaku sudah kekecilan karena aku sudah mau masuk SD. Sementara itu, teman-temanku memakai mukena bagus, bahkan ada yang warna-warni.
Kemarin dan kemarinnya lagi aku sudah bilang kepada Ibu. Akan tetapi, Ibu selalu menjawab, “Ibu belum punya uang banyak.”
Kemudian aku bertanya, “Kapan Ibu punya uang banyak?”
Ibu yang sedang menggoreng bakwan pun menjawab, “Kalau gorengan Ibu bisa terjual habis setiap hari.”
Setelah itu, Ibu melirik kompor yang apinya mati sambil berucap, “Gasnya habis.”
Ibu lalu mengusap keningnya yang mengilap. Wajahnya juga tampak mengilap. Ia lalu pergi. Membeli gas, katanya.
Sore ini aku pun memilih menemani Ibu berjualan, berkeliling menyusuri gang, menawarkan bakwan hangat ke setiap rumah. Namun, sampai lampu-lampu jalanan sudah dinyalakan, gorengan Ibu belum habis.
“Capek?” tanya Ibu.
Aku mengangguk. Kakiku terasa lemas. Aku juga haus.
“Kita pulang sekarang.”
“Tapi, gorengannya belum habis, Bu.”
Ibu melihat gorengan di wadah yang ia bawa. “Tidak apa-apa,” ujar Ibu sambil tersenyum.
Aku jadi tidak suka Ibu. Aku yakin pasti Ibu tidak jadi membelikan mukena karena gorengannya tidak habis. Ingin rasanya aku membuang gorengan-gorengan itu ke kali di depan rumah supaya cepat habis.
“Ayo, waktunya pulang, salat dan istirahat!” ajak Ibu.
Sesampainya di rumah, aku tidak mau salat. Mukena Ibu, selain kebesaran juga sangat bau. Baunya seperti baju Ibu yang dipakai tadi sore dan kemarin dan kemarinnya lagi.
Ibu menyuruhku beribadah, tetapi aku tidak mau. Kata Ibu, Allah akan marah. Aku bilang kepada Ibu bahwa aku juga sedang marah karena tidak dibelikan mukena baru.
***
Satu hari kemudian, saat pulang sekolah, aku melihat sebuah tas kain kecil bergambar bunga-bunga tergeletak di meja. Ibu lalu datang dari belakang. Ia tersenyum.
“Itu mukena buat Ayu,” kata Ibu.
Kalau ada yang bertanya, siapa orang paling baik di dunia ini? Aku akan menjawab ‘Ibu’. Terkadang, Ibu memang tidak baik hati dan seringnya membuat sebal dan juga berisik. Akan tetapi, kali ini ia sangat baik.
“Asyik!” Aku meraih tas kain bergambar bunga merah muda tersebut, lalu memeluknya.
Ibu berdiri melihatku. Ia tersenyum dan berkedip-kedip sambil tangannya mengusap mata.
Sorenya, aku sudah tidak malu untuk berangkat mengaji di musala. Mukenaku tak kalah bagus dengan mukena teman-teman.
***
Beberapa hari setelah Ibu membelikan mukena, seorang wanita yang memakai baju bagus datang ke rumah. Wanita itu kemudian dipersilakan Ibu masuk, lalu duduk. Ia mengambil buku kecil di tasnya yang bagus dan gelang di tangannya yang putih bergemerincing.
“Mau titip berapa, Bu Ratri?” tanya wanita itu kepada Ibu.
Ibu lalu merogoh sesuatu di kantong celananya yang penuh cipratan tepung. “Saya titip dua puluh, ya, Bu.”
“Boleh. Jadi, sudah titip 40 sama minggu kemarin. Berarti masih kurang 60, ya, Bu Ratri.” Wanita yang memakai jilbab dan rambut di keningnya tampak sedikit keluar itu berkata sambil menulis di buku kecil.
“Injih, Bu.”
Wanita berbaju bagus dan berbau harum itu lalu berpamitan. Aku mengikutinya sampai teras, melihat wanita itu menaiki motor, lalu pergi.
Sebelum masuk rumah, aku mendengar tetangga yang rumahnya di sebelahku sedang membicarakan Ibu.
“Itu Bu Narto pemilik toko Serba Ada, ‘kan?”
“Iya. Denger-denger Bu Ratri ambil mukena, tapi bayarnya dicicil.”
“Walah, ambil mukena aja pake dicicil. Apa enggak tambah mahal, tuh.”
“Sejak ditinggal mati suaminya, Bu Ratri itu utangnya di mana-mana.”
Aku lalu masuk rumah, menghampiri Ibu di dapur. Ibu sedang menggoreng. Rambutnya digulung dan dari belakang ia mirip Mbah Ju, embah-embah yang rumahnya dekat musala. Gulungan rambut mereka mirip. Badan Ibu juga sedikit membungkuk. Dan, bajunya tampak lebih besar.
“Ibu ….”
Ibu menoleh dan tersenyum. Dan aku senang sekali melihat Ibu tersenyum seperti itu. (*)
Whed, adalah nama pena dari seorang perempuan yang menyukai warna hitam. Ia ingin membuat ketidakmungkinan menjadi mungkin lewat sebuah tulisan.
Komentar juri, Evamuzy:
Cerita-cerita tentang anak-anak dengan ide-ide yang sederhana, dekat dengan keseharian, dan memberi kesan hangat, selalu membawa kita bernostalgia. Hal ini juga yang saya temukan di cerpen ini. Merajuk, meminta dibelikan sesuatu kepada Ibu atau Ayah bisa jadi adalah kebiasaan kita semua di masa kecil dulu.
Sementara itu, sudut pandang khas anak-anak yang apa adanya, yang diciptakan penulis sejak awal hingga akhir cerita, menjadi pondasi kuat cerpen ini menyenangkan untuk diikuti. Bagian yang paling bikin saya senyum-senyum adalah saat tokoh berkata seperti ini: “Ibu menyuruhku beribadah, tetapi aku tidak mau. Kata Ibu, Allah akan marah. Aku bilang kepada Ibu bahwa aku juga sedang marah karena tidak dibelikan mukena baru.”
Ah, itu polos sekali dan bikin gemas.
Terakhir, kekuatan tema. Ya, cerpen ini menunjukkan bagaimana seorang ibu selalu mampu menghadirkan kejutan-kejutan bahkan keajaiban-keajaiban, yang tak jarang harus ditukar dengan banyak perjuangan. Good job untuk penulisnya. Selamat, ya.
Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata