Cerita tentang Ibu
Oleh : Fadya Zahira
Hari ini Melisa membawa bekal berisi sosis goreng, katanya buatan ibunya. Dilihat dari tampilannya saja sudah membuatku ngiler. Buru-buru aku memalingkan wajah ketika Melisa menatap ke arahku.
“Kamu gak pernah bawa bekal ya, Pin?” tanya Melisa. Ragu-ragu aku mengangguk. Kupikir dia mau membagi sedikit bekalnya padaku, ternyata tidak. Dia malah tertawa diikuti Lina dan Kila.
Ayah bilang gak usah repot-repot bawa bekal, tinggal keluar gerbang dan makan gorengan buatan Ayah. Meski sudah tua, Ayah selalu semangat cari uang. Katanya aku harus sekolah tinggi-tinggi dan jadi orang besar.
“Orang besar itu yang badannya gede, kan? Kayak ibunya Melisa.” Aku tertawa di sela mengunyah bakwan yang masih hangat. Ayah menegurku, lalu aku cemberut.
“Ayah,” panggilku. Ayah sedang sibuk melayani pembeli. Aku kembali memakan bakwan, mengelap tangan yang penuh minyak ke rok sekolah, lalu pamit kembali ke kelas.
Hari ini Ibu Guru mengumumkan kalau besok Hari Ibu. Kami disuruh membuat cerita yang berkaitan tentang Ibu. Sebelum pulang sekolah, teman-teman sangat berantusias untuk menulis bersama ibu mereka. Aku hanya bisa memanyunkan bibir sebelum keluar kelas.
***
Ah, kesalnya. Sudah satu jam aku menatap buku, tapi tak ada satu kata pun yang bisa ditulis. Aku kembali telentang, menatap lampu kuning yang cahayanya makin meredup. Ayah belum pulang, mungkin gorengannya belum habis.
Di meja makan hanya ada air putih. Telur yang dibuat Ayah tadi pagi sudah habis kumakan. Sial betul hari ini. Sudahlah harus nahan lapar, disuruh nulis cerita tentang ibu pula.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Aku langsung menghampiri Ayah. Handuk kecil yang sudah kotor menempel di bahunya. Kadang aku kasihan sama Ayah, apa-apa harus sendiri.
“Pina udah makan?” tanya Ayah. Aku menggeleng.
Ayah tersenyum, lalu menyerahkan plastik hitam padaku. Isinya sate lima tusuk. Aku bersorak girang. Sudah lama tidak makan sate.
“Jangan lupa pake nasi, Ayah mau mandi dulu.”
“Ayah udah makan?”
“Udah tadi.”
***
Setelah makan, kulihat Ayah sedang duduk di depan buku yang belum sempat kututup tadi. Takut Ayah marah, aku segera menghampirinya. Tapi sepertinya Ayah tidak marah. Beberapa kali tangannya mengusap sudut mata.
“Ayah nangis?” Aku duduk di depan Ayah.
“Maafin Ayah.” Kepala Ayah tertunduk. “Maaf karena gak bisa memberi ibu buat kamu.”
Aku menggeleng. Ayah enggak salah. Justru karena Ayah mau urus dan besarkan aku, aku bisa hidup sampai sekarang.
Aku gak punya ibu. Kata Ayah, aku dibuang ketika bayi. Aku gak bisa marah, karena aku gak tahu Ibu aku di mana. Aku gak mau ketemu Ibu. Tapi aku juga sedih setiap kali liat teman-teman jalan bareng ibu mereka.
***
Ibu Guru memanggilku ke depan kelas. Wajahnya galak ketika menatapku.
“Kenapa kosong, Pina? Kamu gak ngerjain tugas?” Ibu Guru memperlihatkan bukuku yang hanya ada tulisan “Untuk Ibu” di bagian judul.
“Aku gak punya ibu, Bu Guru. Aku cuma punya ayah!” Aku menunduk, meremas jari-jari sambil menahan tangis.
Mereka yang biasanya mentertawakanku kali ini hanya diam. Bosan mungkin.(*)
Sobang, 21 Desember 2021.
Fadya Zahira, hanyalah nama pena dari seorang perempuan yang bercita-cita menjadi penulis.
Komentar juri, Halimah Banani:
Cerita yang manis, gemesin, dan membuat haru. Dan diakhiri dengan dialog yang menurut saya menarik: “Aku gak punya ibu, Bu Guru. Aku cuma punya ayah!”
Ayah yang sudah tua. Ayah yang merawatnya karena Pina dibuang ibunya ketika bayi. Lalu, apa ia ayah kandung Pina?
Meski singkat, tapi Fadya memberikan pesan yang dalam: Bahwa ibu bukan hanya ia yang melahirkanmu, ia bisa jadi seseorang yang merawat dan membesarkanmu dengan cinta dan kasih sayang—yang lebih kental daripada (ikatan) darah.
Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata