Surat Ejaan Masa Lalu

Surat Ejaan Masa Lalu

Oleh: Wardah T.

 

Banten, Oktober 2021

No: Sudah tidak dapat dihubungi lagi

Lamp: Segala kenangan

Hal: Bernostalgia terakhir kalinya

 

Kepadamu yang pernah mampir dalam hidupku di masa lalu

Salam sejahtera penuh kenangan…

Man, aku menulis surat ini setelah belajar EBI yang ternyata bukan udang kering sebagai pelengkap bumbu. EBI yang ini ditulis kapital meski bukan kapitalis, karena merupakan akronim dari Ejaan Bahasa Indonesia yang ternyata diberlakukan sejak tahun 2015. Tahun saat kita terbuai oleh asmara. Ingat, kan, Man?

Akhir 2014 adalah masa-masa pengorbananmu. Entah sudah berapa kendi tembikar yang kamu pecahkan, merelakan abuanmu untuk sekotak martabak sebagai pengganti bunga yang kamu antar sampai depan pintu indekosku. Matamu selalu berhasil mencengkeram apatisku kala membuka pintu pada ketukan ketiga. Senyummu turut mendedas sesuatu di balik dada. Apalagi saat kamu berkata, “Katanya kamu lebih suka martabak ketimbang bunga.”

“Siapa yang bilang?” tanyaku.

“Diah. Teman kosanmu.”

Seperti halnya mengingat kapan huruf kapital digunakan, aku menulis dialog kita saat itu, di sini, sebagai tanda bahwa semuanya melekat di ingatan. Dibenarkan oleh fungsi tanda petik yang merangkum kalimat kutipan langsung—persis. Tanpa pengurangan maupun penambahan, bukti tak ada hipokrit dalam suratku.

“Terima kasih,” kataku sambil mencomot potongan martabak lalu mencicipinya di hadapanmu yang menanti reaksiku.

“Wah, sayangnya kamu beli bukan dari penjual langgananku.”

“Di mana biasanya kamu beli?”

“Carilah!”

Lekas kututup pintu setelah berkata begitu. Bukan karena aku mengusir atau tak menyukaimu, melainkan untuk menyarukan keculasan. Aku curang bila mengaku tidak menyukai martabak itu, apalagi kedatanganmu. Aku hanya ingin kamu memahamiku seperti memahami kalimat eliptis. Perempuan itu akan merasa bangga karena diperjuangkan, bukan karena senang melihat laki-laki bersusah payah. 

Sejak itu kamu rajin bertandang dengan menenteng martabak telur kegemaranku. Akibatnya, setiap pertemuan memangkas jarak keasingan di antara kita. Memunculkan kedekatan depa demi depa sebagaimana usahamu mengitari Ciputat-Rempoa-Bintaro-Pamulang. Oh iya, aku lupa menyertakan Pondok Cabe tempat kamu membawaku mengandok nasi bebek lumpur khas Madura, daerah asalmu. Saat itu malam tahun baru 2015. Alih-alih mengajak ke jalan layang melihat petasan, kamu memilih warung sederhana di seberang lapangan terbang Pondok Cabe. Sambil menyodorkan secangkir kopi kamu berkata, “Kamu gula yang manis, aku kopi yang pahit. Bisakah menyatu dalam cangkir rumah tangga dan dileburkan air bernama cinta?”

Sejujurnya, daripada perasaan berbunga-bunga, aku lebih merasa geli saat mendengarmu merayu seperti itu. Namun, karena efek pengalaman pertama, tetap saja pipiku memanas menatapmu. Terlebih saat kamu bilang, “Aku mencintaimu.”

Aku mencintaimu juga, Man, titik. Tidak ingin dijeda koma karena adanya konjungsi “tetapi” walau dalam hubungan kita selanjutnya tidak lepas dari spasi. Seperti katamu, kalimat tidak akan dimengerti tanpa adanya spasi. Begitu pula dengan hubungan kita. Butuh jarak untuk memahami arti kebersamaan, menikmati kerinduan, dan menguatkan kepercayaan.

“Cuma, kalau salah menempatkan spasi pun bisa fatal suatu kalimat,” kataku saat itu.

“Benar,” katamu melalui saluran udara setelah pulang ke Pulau Garam. Itu kali pertama kita menjalani hubungan jarak jauh yang sukses membuat hatiku keruh. “Karena itu aku memilih ‘mencintaimu’ daripada ‘aku cinta kamu’. Cinta memang adjektiva, tetapi aku ingin mempersembahkan kepadamu dalam bentuk verba sepanjang usia.”

Aku nyaris pindah jurusan ke sastra mendengar kata-katamu itu. Mempelajari bahasa yang bisa jadi jurus menyenangkan pasangan. Di jurusan ekonomi membuatku lebih banyak perhitungan secara materi. Itulah kenapa ajakan menikah pada malam tahun baru aku tangguhkan dulu, Man. Aku memperhitungkan kesiapan kita di masa depan. Meski abu-abu, masa depan selalu menunjukkan hal pasti tentang ekonomi. Seperti yang aku ceritakan, orang tuaku pisah karena ekonomi. Ayah tidak bisa memenuhi angan-angan keluarga Bunda tentang harta melimpah sebagai rumus berumah tangga sakinah mawadah warahmah. Aku tidak ingin kita gagal seperti sejarah keluargaku.

Man, kamu tahu kenapa aku menulis surat ini? Bukan sekadar melangut dengan landang di cuping kanan hidungmu, tetapi sebuah kalimat ejekan yang datang dari salah seorang karibmu mampir di unggahan Facebook-ku. Dia berasumsi, tipo dan aturan ejaan yang berantakan pada tulisanku itu pengaruh kealpaanmu dalam hidupku. Temanmu telah menganggapku masuk kelas kata terikat seperti “nir-“. Tidak bisa berdiri sendiri tanpamu.

Ayolah, sudah tiga tahun aku berusaha menjadi diri sendiri. Kalau mau disadari, sejak awal aku ini kata dasar. Kalau saat bersamamu aku menjadi bentuk yang berbeda, itu karena adamu tak lebih dari afiks. Mengimbuhiku dari beberapa sisi untuk menemukan makna lebih pas.

Karena itu, aku belajar lagi Ejaan Bahasa Indonesia agar bisa mengurai kenapa tanda hubung menjadi tanda pisah dalam hubungan kita. Dengan begitu, aku bisa menerima adanya aposisi berupa kehadirannya. Sebuah kalimat kalimat di luar bangunan kalimat kita: dijodohkan orang tua. Subjeknya sudah ditentukan, kemudian kamu sebut Pronomina. Seperti patuhmu dalam berbahasa, sepatuh itulah kamu kepada orang tua. Melupa dengan Ejaan yang Disempurnakan padaku selama ini sehingga tega mengirimkan luka berbentuk kartu undangan.

Sungguh menyakitkan, Man. Seperti elipsis yang diakhiri tanda seru berhenti di tenggorokan membaca namamu bersanding dengan nama perempuan lain. Padahal, hari-hari sebelum itu, namamu masih kusebut dengan tilde mengiringi. Indah kubayangkan dalam imaji.

Hari ini, suratku dan kartu undanganmu yang tersimpan rapi selama 3 tahun, membentuk paragraf baru. Aku paham bahwa kita bukan saja beda kalimat, juga beda topik yang harus dirangkum dalam paragraf lain. Terima kasih untuk ini, Mantan. Aku mengenangmu pada hari ulang tahunku seperti mengenang Mohammad Tabrani, pencetus kelahiran Bahasa Indonesia. Mengutip tanggapannya atas komentar Mohammad Yamin saat itu, “Nama bahasa persatuan hendaknya bukan Bahasa Melayu, tetapi Bahasa Indonesia. Kalau belum ada harus dilahirkan melalui Kongres Pemuda Indonesia Pertama ini.” Begitu juga surat ini, aku tutup dengan kalimat: Kalau tidak ada pernikahan antara suku Jawa dengan suku Sunda, kenapa tidak kamu terobos mitos itu? Apakah mitos lebih adiluhung ketimbang cintamu selama ini?

 

Selamat berbahagia.

Tertanda,

Nomina bukan Numeralia

 

Madura, November 2021

 

Wardah T. Editor yang belajar menulis. Dapat dihubungi melalui Facebook: Wardah Toyibah, atau Instagram: wardahfull.

 

Editor: Imas Hanifah N

Gambar: Pixabay

Grup FB KCLK

Halaman FB kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply