Gelang Cinta
Oleh: Umi Satiti
Pagi itu seperti hari Jumat biasanya, Ratih telah mengenakan celana panjang hitam, baju batik motif ornamen bunga dengan dominan warna merah, juga jilbab merah hati yang menutup rambut keritingnya. Dia telah berdiri di pinggir jalan sekitar lima belas menit, dan itu artinya lima menit lagi sebuah bus berwarna abu-abu akan berhenti tepat di hadapan untuk mengantarnya ke tempat kerja. Perpindahan dari Ratih berdiri saat ini ke tempat kerjanya dapat terbayar cukup dengan lima lembar uang seribuan.
Lima menit telah lewat, tetapi Ratih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Sementara pabrik kain di seberang jalan sudah mulai menunjukkan keramaiannya. Ratusan buruh mulai berdatangan dengan meninggalkan bau asap knalpot di hidung Ratih. Maskernya seperti tidak berfungsi, selalu saja ada yang membuatnya terbatuk-batuk.
Ratih tidak beranjak dari tempatnya berdiri ketika seorang satpam telah menutup gerbang pabrik, pertanda jam kerja akan dimulai dan karyawan yang terlambat tidak dapat menerobos masuk untuk mengais rupiah.
Sesekali Ratih menengok jarum jam di pergelangan tangannya. Meskipun sebenarnya tanpa Ratih menengok, dia sudah tahu, pukul tujuh telah lewat sebab beberapa karyawan pabrik yang terlambat telah putar balik, mungkin pulang. Gurat cemas mulai tampak di wajahnya.
“Aku terlambat!” Ratih mengibaskan tangan kirinya yang di sana melingkar jam tangan berwarna cokelat. Dia menghela napas. Kemudian meraih ponsel, jika beruntung dia akan mendapatkan driver ojek online. Meski nyatanya belum pernah sekali pun dia berhasil.
Terlambat bukan hal yang asing lagi bagi Ratih. Bulan lalu dia terlambat datang ke sekolah tempat mengajar dan mendapat surat peringatan pertama, bulan ini Ratih sudah terlambat yang kedua kalinya dan mungkin akan mendapatkan surat peringatan kedua. Masalahnya selalu sama, bus langganannya tidak lewat dan Ratih tidak mendapat kabar.
Perkara keterlambatan ini bagi Ratih sangat serius. Lebih serius dari lamaran temannya untuk menjadikan dia pendamping hidup. Kedatangan keluarga Gilang berhasil dia tanggapi dengan tenang. Malam ini pula keluarga Ratih akan memberi jawaban dengan datang ke rumah Gilang.
Tin–tin–tin!
Sebuah motor dominan warna merah berhenti tepat di hadapannya. Seorang lelaki tanpa jaket mengenakan baju batik dengan motif serupa dengan yang dikenakan Ratih. Dibukanya kaca helm lalu memberi isyarat agar Ratih naik ke atas motornya. Gadis itu ragu, tetapi setelah melihat lagi jarum panjang di pergelangan tangannya makin jauh dari angka dua belas, Ratih langsung naik ke atas motor sebelum lelaki itu meninggalkannya.
“Ingat, ini yang pertama dan terakhir!” ucap Ratih. Hanya saja lelaki itu seperti tidak memedulikan ucapan Ratih. Roda motor mulai menyalip motor-motor lain yang melaju lebih lambat.
“Ingat, ini yang pertama dan terakhir!” Ratih kembali mengulang ucapannya, seolah-olah menegaskan bahwa pagi seperti itu tidak akan terulang lagi. Tetapi lagi-lagi lelaki bernama Gilang itu tidak memberikan jawaban apa pun.
“Jangan berharap banyak, aku hanya tidak ingin terlambat. Aku tidak ingin dapat surat peringatan yang kedua kali,” ucap Ratih. “Aku tidak mungkin bisa menerima lamaranmu.”
“Tapi mungkin saja kau akan mendapatkannya,” jawab Gilang. Dia seakan-akan sangat berkonsentrasi dengan kemudi dan roda motornya yang mulai berputar tidak tentu arah. Motornya berhenti mendadak tepat di depan sebuah lubang jalan yang cukup besar.
“Ga, bisa pelan-pelan apa!” Ratih memukul pundak Gilang dengan kepalan jari-jari tangannya.
“Lobang, Tih,” jawab Gilang sambil menoleh. “Buruan turun!” Meski kesal, Gilang mencoba seakan-akan tetap tenang.
“Mengapa harus turun? Yang benar saja kau?”
“Tuh, ban depan kempes. Kita cari bengkel dulu.” Gilang mengalihkan pandangannya ke roda depan.
Dipukulnya lagi pundak Gilang berkali-kali. Kali ini dengan tenaga yang lebih ekstra. Ratih mengumpat sejadinya.
“Ya sudah, aku naik bus saja!” Ratih melompat dari motor.
“Ngimpi. Mana ada bus lewat sini. Ini bukan jalus bus, Bu Guru.” Gilang nyaring sambil menahhan tawa.
Ratih menoleh sekeliling, memastikan kebenaran ucapan Gilang. Benar saja, itu bukan jalur yang biasa dia lewati dengan bus abu-abu langganannya. Dilihatnya lagi jarum jam di pergelangan tangannya. Dia menepuk jidatnya, lima belas menit lagi setengah delapan dan jika lewat itu, Ratih akan kembali terlambat.
Gilang telah menuntun sepeda motornya menelusuri pinggir jalan yang dia lewati. Beruntung, setelah bertanya pada seseorang yang kebetulan melintas, dua ratus meter di hadapannya ada bengkel. Ratih terpaksa mengikutinya dari belakang. Entah sadar atau tidak, sesekali dia membantu mendorong motor dari belakang. Sesekali itu pula Gilang tersenyum penuh kemenangan.
“Kalau sudah jodoh, ga akan ke mana, Tih. Seperti pagi ini, jodohmu jalan bareng aku. Ya, meski harus menuntun sepeda motor yang kempes ini,” ucap Gilang.
“Sudah kubilang, ini yang pertama dan terakhir,” jawab Ratih.
“Iya, yang pertama dan terakhir, semoga lain kali ga kempes lagi itu ban depan.” Gilang melayangkan senyumnya untuk Ratih. “Tapi, Tih, kalau sudah jodoh, akan tetap bertemu.”
“Aku hanya berdoa semoga kita tidak berjodoh.” Ratih kembali ikut mendorong sepeda motor. Gilang tersentak sebab harus melangkah lebih cepat. Tidak ada alasan baginya untuk memperlama perjalanan.
“Jadi apa jawaban lamaran nanti malam?” tanya Gilang.
“Jawabannya sudah jelas, kau sudah tahu, Lang.” Ratih semakin kencang mendorong motor Gilang.
Papan nama bengkel tujuannya telah terlihat dan sudah ada tiga motor yang berbaris rapi di depan pemilik bengkel yang sekaligus satu-satunya tenaga pelayan para konsumen. Ratih menggelengkan kepala, lalu mendesah, pasrah. Mungkin sudah waktunya dia harus mengambil cuti dan melakukan instrospeksi diri seperti yang disarankan atasannya.
Gilang memarkirkan motornya, menemui lelaki separuh baya yang hampir selesai menambal ban sebuah motor berwarna hitam. Perbincangan singkat terjadi dan berakhir dengan Gilang menganggukkan kepalanya. Lelaki itu melihat jam tangannya dan kemudian memanggil Gilang yang melangkah menghampiri Ratih. Gilang menoleh, memastikan bahwa dirinya yang dipanggil oleh lelaki pemilik bengkel. Lelaki itu menyerahkan kunci motor milik Gilang.
“Ayo, sarapan dulu di sana,” kata Gilang sambil menunjuk warung soto di seberang bengkel.
“Kita hampir terlambat dan kau justru mengajak santai, jangan gila, Lang! Aku bisa kena peringatan kedua.” Ratih membuntuti Gilang yang melangkahkan kakinya ke bibir jalan.
“Sekalian saja, peringatan ketiga, Tih. Dengan begitu kau tidak perlu naik bus setiap hari,” ucap Gilang. “Sudah jadi istriku saja, kau tinggal duduk manis di rumah.” Gilang meraih tangan Ratih dan menariknya menyeberangi jalan. Ratih menurut.
Usai memesan dua mangkuk soto, Gilang duduk di depan Ratih sambil menyantap mendoan yang masih hangat. Mulutnya mulai mengunyah. Ratih kembali memandang jam di pergelangan tangannya, terlambat.
“Apa tidak ada bocoran untuk nanti malam, Tih?” Gilang penasaran juga. Banyak guru lain di sekolah tempatnya mengajar, tetapi entah kenapa pilihannya justru jatuh pada Ratih. Guru perempuan yang sangat cerewet dan sering menjadi biang masalah di sekolah. Sering datang terlambat dan tugas-tugasnya pun tidak pernah tepat waktu.
Ratih menggeleng. “Banyak guru yang lebih cantik dan lebih berprestasi, Lang. Bahkan mereka sangat mengagumi dirimu. Kalau kamu pilih satu dari mereka, itu sepadan dengan guru teladan sepertimu. Tapi kamu itu tidak tahu diri, mengapa justru datang melamarku yang selalu jadi masalah?”
“Karena aku suka, Tih.” Gilang masih saja mengunyah mendoan.
“Suka? Apa yang kamu suka?” tanya Ratih. “Kamu suka karena aku sering mendapat masalah, dimarahi kepala sekolah, dan mungkin aku akan menjadi satu-satunya guru yang hari ini mendapat surat peringatan kedua.”
Gilang telah menghabiskan sepotong mendoan. Dia membersihkan sisa minyak yang menempel pada jari-jari tangannya dengan tisu. “Kadang kita tidak butuh alasan untuk suka, tapi aku punya masa lalu yang mungkin masih kamu suka.” Gilang mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Sebuah benda menyerupai tali berwarna hitam. “Mungkin ini cukup menjadi alasan, Tih.”
Ratih memandang benda hitam yang diletakkan Gilang di atas meja. Sebuah gelang dari anyaman benang dengan kombinasi manik-manik bertuliskan nama Ratih. Mata Ratih membelalak dan tangannya buru-buru mengambil gelang itu. Setelah memastikan itu adalah miliknya, ada noda tinta biru pada huruf T. Dia kembali meletakkan gelang itu di atas meja.
“Jadi?” Gilang bertanya tepat setelah seorang perempuan meletakkan segelas teh panas di hadapannya dan Ratih.
“Aku sudah lupa,” jawab Ratih.
“Kau pernah sangat menyukai aku, Tih. Dulu, dulu sekali ketika kita masih SMA,” ucap Gilang.
“Itu dulu, dan sekarang semua telah berubah. Kau berpacaran dengan teman sebangkuku dan bilang aku tidak akan pernah pantas menjadi kekasihmu. Kau ingat waktu itu, katamu aku ini dekil, ceroboh, dan biang masalah.” Ratih mengulang nada bicara Gilang ketika masih SMA.
“Sekarang sudah berbeda, Ratih.” Gilang meneguk teh yang ada di hadapannya.
“Kau tahu, sekarang sudah berbeda. Aku sudah tidak menyukaimu lagi. Titik.” Ratih mengaduk air teh dalam dalam gelasnya. “Lagi pula, aku akan pindah ke Jakarta tahun depan. Aku sudah dijodohkan dengan seseorang yang tinggal di sana.” Ratih meneguk teh miliknya.
“Kau menyukai orang itu, Tih? Apa kau sudah pernah bertemu dengannya?” Gilang mencoba mencari tahu sosok yang diceritakan Ratih. “Apa pekerjaannya?”
“Aku tidak tahu. Aku hanya menurut saja apa kata Mbah Putri.” Ratih menerima semangkuk soto yang diberikan kepadanya. “Sudahlah, Lang, kamu tidak usah berharap pada pertemuan nanti malam. Keputusan keluargaku sudah bulat, aku akan ke Jakarta meski berat. Hatiku masih di sini, Lang, tapi aku keputusan keluarga sudah bulat.” Ratih menunjuk gelang di atas meja lalu mengambilnya dan memasukkan ke dalam tas.
Gilang memandang Ratih sambil menghela napas. Ada kecewa tetapi dia berhasil mengembuskan napasnya dengan sedikit lebih lega. Setidaknya ada sesuatu yang dia temukan, Ratih masih menyukainya.
“Kalau begitu, kita bertemu di Jakarta,” ucap Gilang lirih, kemudian melahap soto yang ada di hadapannya. Soto yang tidak dia tambahkan apa pun selain sedikit sambal.(*)
Karanganyar, 15 Desember 2021
Umi Satiti. Seorang gadis kelahiran Karanganyar. Tinggal di Desa Kaliwuluh dan saat ini belajar menulis dan berkarya menekuni dunia literasi. Aktivitas harian ketika sore hari mengelola bimbingan belajar untuk anak-anak SD, sedangkan ketika pagi hari menemani anak-anak berkebutuhan khusus belajar di salah satu sekolah luar biasa. Akan sangat menyenangkan jika dapat saling bersilaturahmi di instagram @galeri_gurumuda.
Editor: Dyah Diputri
Pict. Source: https://pixabay.com/id/vectors/cincin-tautan-perhiasan-gelang-2096142/