Genangan

Genangan

Genangan

Oleh: Whed

 

Seorang wanita separuh baya menggoyang-goyangkan badan anaknya yang masih memeluk bantal berbentuk hati. Bantal itu warnanya sudah tak keruan. Dulu warnanya merah muda, tetapi sekarang sudah berubah jadi putih kehitaman sebab tertutup gambar yang menyerupai pulau.

“Gus, bangun. Jam delapan!”

Bagus menggeliat, mengusap ujung bibirnya yang basah. “Ah, Emak, ganggu aja!” sungutnya.

“Ini, lho, udah mau jam delapan. Kamu kerja, ndak?”

Dengan malas, Bagus bangun. Ia menengok meja di samping ranjang. “Kopinya mana, Mak?” tanya lelaki berambut cepak itu.

“Kopa–kopi–kopa–kopi! Makanya lekas cari istri biar ada yang bikinin kopi!”

Wanita itu sering berkata demikian—menyinggung perihal istri saat berbicara dengan Bagus. Ia hanya ingin sang anak yang menurutnya tampan itu lekas menikah. Gatot, tetangganya yang seumuran dengan Bagus saja sudah punya satu anak. Lalu, Petra juga sudah mau menikah bulan depan. Wanita itu jelas saja resah, memikirkan nasib anaknya yang tak kunjung menikah.

Bagus mendesah. Ia bangkit, lalu menuju kamar mandi, mencuci muka dan menggosok gigi. Ia memang jarang mandi. Katanya, sih, percuma mandi. Toh, orang yang ia gandrungi tak akan kembali lagi. Apalagi, semalam ia melihat foto mantannya yang diunggah di Facebook. Cewek bergigi gingsul itu terlihat bahagia bersama sang suami. Kampret memang, pikir Bagus. Namun, ia bisa apa selain terus mengikutinya di media sosial dan memeluk bantal berbentuk hati sepanjang malam. Anggap saja, bantal yang mereka beli bersama itu adalah Windy—gadis bergigi gingsul yang sukses meretakkan hatinya.

Setiap pulang kerja, Bagus nongkrong bersama kawan-kawannya di warung kopi. Cowok dengan kulit sawo setengah matang itu selalu jadi bahan olokan.

“Mau sampai kapan, Gus? Cepatlah menikah. Keburu lumutan kamu nanti,” ujar si pemilik warung kopi.

Jangankan untuk menikah, pacar saja ia tak punya. Hatinya masih tertambat kepada perempuan yang dulu pernah menjadi pacarnya. Cintanya sudah mengurat meskipun gadis itu pernah membuat hatinya seakan-akan sekarat saat melihatnya dekat dengan sang sahabat.

J*ncuk, umpatnya dalam hati saat melihat gadisnya duduk merapat dengan Petra, sahabatnya. Saat itu, Bagus jadi macam obat nyamuk saat jemari gadisnya bersedia disentuh cowok hitam manis seperti Malika itu.

Sebenarnya, Petra tak bermaksud merebut Windy darinya. Hanya saja … gadis mungil nan unyu-unyu itu yang memintanya untuk diajari main gitar. Ia pun dengan senang hati membimbing jari-jari kirinya untuk menekan senar dengan kuat.

“Jari telunjuk di sini. Tekan yang kuat biar kalau digenjreng, suaranya enggak mati.” Dengan telaten, cowok pemilik senyum manis itu mengatur letak jari Windy.

Sementara itu, sesekali Windy melirik wajah Petra yang sangat dekat dengannya. Dadanya berdebar kencang, sungguh lancang. Gadis itu klepek-klepek melihat pesona cowok yang merupakan sahabat kekasihnya itu. Ia seakan-akan megap-megap karena susah bernapas. Baginya, ia mirip Adipati Dolken.

Cewek mana, sih, yang tak tertarik dengan Petra. Selain senyumnya semanis madu, ia jago main gitar. Suaranya merdu. Ia juga paling pintar.

Di hadapan Bagus, mereka asyik memainkan gitar. Gitar itu memang milik Petra. Jadi, ia yang berkuasa. Meskipun Bagus bisa bermain gitar, tetapi ia tak sejago Petra. Jadi, Bagus pasrah melihat kedekatan gadisnya dengan sang sahabat meskipun hatinya nyeri.

“Hei, Gus. Itu, lho, Mbak Tara yang janda itu kayaknya suka sama kamu. Badannya bohai. Dijamin kamu akan bahagia sama dia,” lanjut si pemilik warung kopi. Ia sedang mengaduk-aduk kopi dalam cangkir. Namun, entah mengapa malah perasaan Bagus yang serasa diaduk-aduk setiap memikirkan Windy.

Setiap hari ingatan Bagus selalu dipenuhi hal-hal tentang Windy. Bagaimana tak ingat? Dulu mereka sering nongkrong bersama di warung tersebut. Maklum, Bagus waktu itu masih pengangguran. Mana kuat ia mentraktir pacarnya di kafe macam anak-anak gaul. Motor pun ia tak punya. Ia selalu berjalan kaki saat mengantar gadisnya pulang ke indekos. Pikirnya, hal itu sangatlah romantis: berjalan berdua malam-malam, mengamati lalu-lalang kendaraan, lalu mampir beli bakso bakar di alun-alun.

“Kerjaan udah punya. Rumah juga udah ada. Tinggal cari istri. Tiap sore Mbak Tara itu nanyain kamu terus. Besok malming coba samperin sana,” saran pemilik warung kopi. Ia lantas menghidangkan secangkir kopi untuk Bagus.

Bagus menggaruk-garuk kepala. Kalau dibandingkan Windy, Mbak Tara memang lebih seksi. Ia juga pintar merias wajah. Pakaiannya lebih feminin. Berbeda jauh dengan Windy yang selalu memakai jin terkoyak di bagian lutut dipadukan kaus oblong. Selain itu, Windy tak pernah lepas dari kemeja kotak-kotak, persis seperti penampilan Bagus sekarang itu. Ia sering memakai kemeja kotak-kotak supaya bisa kembaran sama sang mantan.

Beberapa saat kemudian Petra datang, membawa gitarnya. Cowok yang sebentar lagi menikah itu memesan secangkir kopi. Saat Bagus menawarinya rokok, ia menolak.

“Aku enggak dibolehin merokok sama ayang beb-ku.”

Bagus mencebik. Muak. Ayang-ayang beb tahi kucing, batinnya.

“Pinjem gitarnya,” pinta Bagus.

Petra menyerahkan gitar itu kepada sahabatnya.

Lama, Bagus memegangi gitar. Ia hanya ingin mencari jejak tangan Windy di sana. Barangkali jejak-jejak itu bisa ia temukan, lalu memberinya sepercik kesejukan.

“Insyaf, Jon. Senar itu udah aku ganti berkali-kali,” ucap Petra. Ia tentulah tahu niat Bagus yang sering membelai gitar itu.

Bagus menghela napas dalam-dalam. Ditatapnya sahabatnya lekat-lekat. “Nasibku gini amat, ya, Truk,” keluhnya.

“Itu, kan, kau sendiri yang membuat nasibmu begitu. Coba dulu-dulu kamu cari pengganti. Pasti kini kau sudah berkeluarga.”

Lagi, Bagus mendesah. “Tak ada yang seperti Windy, Truk. Dia itu istimewa.” Bagus menyesap kopinya yang mulai hangat.

“Basi, Gus!” seloroh pemilik warung kopi. Jujur, ia bosan mendengar keluhan Bagus yang itu-itu saja. Windy, Windy, dan Windy. Terkadang, ia memilih menyumpal telinganya dengan headset, mendengarkan lagu dangdut koplo.

Jreng!

Bagus mulai menggenjreng gitar. Petra menepuk jidat. Ia tahu apa yang hendak dinyanyikan temannya. Siap-siap pusing, batin Petra.

Baca saja gerakku
Yang sudah tak menentu
Lihat saja hatiku
Terpuruk tak berdaya

Mata Bagus terpejam, menghayati lirik yang ia nyanyikan. Setelah intro, ia akan melanjutkan bagian reff.

Sia-sia sudah pengorbananku
Kau tak bisa hargai perasaanku
Sedikit saja kau tak dengarkan ucapku

Hancur sudah harapan kau dan aku
Jujur saja bila kau memang … benci
Jangan hanya diam buatku terhina

Lagu terhenti. Bagus menyandarkan gitar di dinding. Ia kembali menyesap kopinya.

Petra hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia iba melihat keadaan temannya. Ia ingat lagu itu adalah lagu yang sok-sokan diciptakan Windy. Windy meminta tolong kepada Petra untuk bermain gitar, sedangkan gadis itu yang bernyanyi. Lagi-lagi hal itu membuat keduanya makin dekat. Tak bisa dimungkiri, dada Petra pun sering berdebar hebat.

Sebenarnya, lagu itu ungkapan hati Windy yang ditujukan kepada Petra. Dan hanya Windy yang tahu. Namun, lagu itu seolah-olah menggambarkan apa yang dialami oleh Bagus. Bagus pun sering menyanyikan lagu tersebut. Berharap dengan begitu, ia bisa merasa selalu dekat dengan sang mantan.

Malam kian larut. Bagus masih merenung di warung kopi sembari Facebook-an, sedangkan Petra sudah pulang duluan sebab ayang beb-nya akan marah bila tahu bahwa calon suaminya berlama-lama di luar.

“Udah sono pulang! Nanti dicariin emakmu.” Si pemilik warung kopi sedang mengelap meja.

Bagus celingukan. Di bagian sudut ruangan, duduklah tiga orang yang sedang asyik bermain Mobile Legend. Mereka tampak asyik menatap layar ponsel yang sudah dibalik dengan posisi miring. Bagus jenuh. Ia pun akhirnya memilih pulang.

Sesampainya di kamar, ia mendapati bantal berbentuk hati yang tampak kesepian. Lekas, Bagus memeluknya. Bantal itu dibelinya bersama Windy. Saat itu ia memberanikan diri untuk ngutang uang kepada Petra hanya ingin membeli bantal couple. Lalu, setelah membeli bantal di Istana Kado, mereka mampir untuk makan mi ayam di pinggir jalan dekat terminal angkot.

Beberapa hari setelah kejadian itu, Windy tiba-tiba tak bisa dihubungi. Ia pergi tanpa mengatakan kata putus. Lalu, beberapa minggu kemudian tersiar kabar bahwa Windy dekat dengan seorang pemain drum. Kabar itu membuat hati Bagus ngilu. Yang bisa ia lakukan hanyalah memeluk bantal itu sepanjang malam.

Gadis itu tak mungkin bisa dengan Petra dan merusak persahabatan mereka. Maka, ia memilih menjauhi mereka.

Setelah melepas kemeja kotak-kotaknya, ia menghempaskan badan di kasur. Ia kembali membuka aplikasi Facebook, menggulir status mantannya mulai dari postingan terlama sambil memeluk bantal berbentuk hati. Bantal itu bentuknya masih utuh. Namun, tidak dengan hati Bagus.(*)

 

Bumi, 16 Oktober 2021

 

Whed. Hanyalah nama pena dari seseorang yang menyukai warna hitam. Ia memiliki mimpi yang lebih tinggi dari langit. Ia juga ingin mewujudkan segala ketidakmungkinan menjadi mungkin lewat sebuah tulisan. Jika ingin lebih mengenalnya, boleh menyapa di akun media sosialnya, tetapi jangan menyesal karena ia kadang agak absurd. Facebook: Whed; Instagram: Whed_666; Email: jokewind777@gmail.com.

 

Editor: Dyah Diputri

Pict. Source: https://pixabay.com/id/illustrations/gitar-seni-anak-laki-laki-musik-6604365/

Leave a Reply