“Itu pasti akting doang.”
“Ya tu … mau tapi malu.”
“Aktingnya kurang bagus mbakkk wkwkwkwkwk.”
Kubaca satu per satu halaman komentar dari unggahan videoku. Tersenyum tipis. Apakah ini yang di namakan kejamnya dunia? Apa hak mereka menilaiku seburuk itu? Tahu apa mereka tentang diriku.
Tiga tahun yang lalu, masih basah di memoriku. Bukan karena ingatanku yang tajam, tapi karena kenangan itu sangat melekat di kepalaku.
Aku pergi dari pelosok kampung. Pergi ke sebuah tempat yang gemerlap. Lampu- lampu jalanan yang tak pernah padam sepanjang malam. Kaca-kaca bak berlian, mengkilat menyilaukan. Namun ternyata tanahnya terlalu keras untuk aku pijak. Negeri ini, orang menyebutnya Negeri Onta.
Aku mengira aku akan sukses membawa segepok uang seperti orang lain. Para tetanggaku, mereka mampu membawa kemewahan untuk keluarga mereka. Anak-anak mereka pun mampu menyandang gelar sarjana dari hasil ibunya. Ah … siapa yang tidak teringin? Bahkan aku seorang gadis belasan sudah terbesit rasa panas di hati kala melihat untaian emas di leher mereka. Aku ingin juga!
Aku memulai kehidupanku yang baru. Dengan menyandang status “dosmetic helper“. Keren bukan? Aku sedikit bangga dengan sebutan itu. Bangga telah mampu menyeberang benua. Bangga telah bisa menaiki alat tranportasi yang melayang di udara. Namun tidak sejak dia menyentuhku.
Dia lelaki dengan jenggot panjang itu. Melirikku tajam sejak pertama aku memasuki rumahnya. Bagai singa yang kelaparan. Matanya tajam, tak ada senyum sedikit pun di bibirnya. Aku menunduk tiap kali berhadapan dengannya. Takut? Ya … aku sangat takut. Apalagi sang istri lebih kerap di luaran bekerja. Sedangkan dia duduk di rumah setiap hari di depan alat ketik yang bernama laptop.
Dia mulai berani menarik ujung kerudung yang aku kenakan. Menyapa dengan keras. Menepuk pundakku dengan telapak basar itu. Dia bilang aku sangat menggoda. Entahlah dari sudut mana dia melihatku. Aku sudah mengenakan baju yang sangat longgar pemberian istrinya. Tak sedikit pun lekuk tubuhku nampak saat aku di depan cermin. Bahkan aku menutup separuh dari wajahku. Lalu … di mana celah menggodanya?
Saat berlalu tepat di sampingku, dia sengaja meletakkan tangan keras itu tepat di pinggangku, mencubitnya. Sakit … sangat sakit. Membekas warna biru di sana. Dia lakukan itu hampir setiap dia berlalu. Entah apa yang dia mau? Terkadang aku memilih mengunci diri di kamar mandi untuk membersihkannya saat tercium bau dia akan keluar dari kandangnya.
“Ais … bawakan segelas air untukku,” teriakan dari dalam kamarnya.
Pintunya sedikit terbuka, hanya selebar tiga jari. Aku pura-pura tidak mendengarnya. Hinga dia menyeru lebih keras untuk yang kelima kali. Dengan detak jantung tak beraturan aku masuk dalam bilik berukuran 5 kali 5 meter itu. Ini kali pertama aku memasukinya. Karena memang istrinya tak ingin ada aroma wanita lain di kamar pribadi mereka. Wajahnya merah, matanya melotot tak berkedip saat melihatku.
“Ini, Tuan,” sapaku lirih.
Ingin segera kuberlari keluar dari jeruji macan ini. Dadaku begitu sesak, seakan tak ada udara di sana. Dia berjalan ke arahku. Tepat di depanku yang berada di depan pintu. Tangannya meraih pinggangku dan mencubitnya lagi. Aku tersungkur. Lalu dia mengunci kamar dan memadamkan lampu.
Dia mulai mancabik cabik diri ini. Membuka habis kain yang membalut tubuhku. Aku yang kecil bahkan terlalu kecil sampai teriakanku tak didengar oleh siapa pun sampai dia menyelesaikan hasratnya.
“Jangan coba-coba bilang kepada siapa pun. Kalau kau lakukan itu kau akan kukirim ke negara asalmu tanpa nyawa,” kalimat penutup darinya.
Dia menyeretku keluar kamarnya tanpa sehelai benang. Melempar kain-kain hitam itu tepat di wajahku.
Dan aku, tenaga ini seakan habis diisab lelaki yang kusebut iblis itu. Kaki ini seakan tak bertulang untuk beranjak menuju tempat yang ada air. Aku ingin ke sana, membersihkan diriku. Terlalu kotor. Seluruh tubuhku dilumat tak terselah sedikit pun.
Terlihat sebercak merah di pinggir-pingir tempat dia memasukkan kemaluannya. Apa itu yang disebut kemaluan. Tak ada rasa malu atau canggung sedikit pun dia memaksa memasukkannya walau aku merintih kesakitan. Kusapu dengan air. Berharap mampu membersihkan kotoran yang melekat di seluruh raga ini. Air yang keluar dari mata pun mengalir bersama.
Kejadian yang sama, terulang setiap hari.
***
*Ais … ini untukmu. Selamat ulang tahun.”
Wanita bijak itu memberiku kejutan tepat di hari kelahiranku. Sebuah handphone. Ah … senangnya.
Dia wanita yang sangat baik. Tak pernah sedikit pun dia marah kepadaku. Dia juga tidak pernah manaruh curiga tehadap suaminya.
Di depan mataku. Mereka memang terlihat sempurna. Wajah khas mereka yang nyaris tak ada cacat. Terlihat begitu romantis, saling memberi perhatian dan terlihat saling mencintai. Hanya saja mereka belum di titipi amanah untuk menimang buah hati. Meskipun berbagai cara medis sudah mereka lakukan. Lalu kenapa suaminya masih menginginkanku? Kurang apakah wanita yang berhati baik ini?
***
Aku ingin mengakhiri semua ini. Berbekal situs kamera yang ada. Sengaja aku ingin merekam kejadian yang selalu kualami. Tanpa sepengetahuan lelaki itu.
Seperti biasa, dia akan beraksi setelah mengecup kening wanitanya di depan pintu. Di saat itulah dia akan merasa lapar atas birahinya. Semakin hari, dia semakin menjadi. Tak lagi di kamar, di mana pun dia melihatku di situlah tempat dia juga menyelesaikannya.
Aku sengaja meletakkan hanphone-ku di tempat yang penuh dengan barang. Hanya terlihat ujungnya saja. Aku tak beranjak dari ruangan itu dengan melakukan aktivitas seperti biasa.
Langkahnya terdengar mendekatiku, perlahan memelukku dari belakang. Aku menangkasnya dengan mendorong sekuat tenaga. Berusaha memberontak, tetapi dia terlalu kuat.
“Aaaa!!!” jeritnya saat kutapakkan kakiku di atas kakinya.
Plak. Tamparan keras melayang di pipiku.
Aku berlari meminta bantuan. Aku menuju dapur. Pisau … ya, pisau.
Aku menghunuskan pisauku. Dia terbahak.
“Kau mau melawankku?” gertaknya.
Dia semakin mendekat.
Aku tak gentar. Kusayatkan di tangannya. Dia murka. Menamparku berulang-ulang. Lalu memelukku erat. Dan mengulangi kembali dengan lebih ganas.
***
“Mbak … buka pintunya,” terdengar seseorang meminta dari luar.
“Tidak.”
Aku tidak yakin siapa di balik pintu itu. Lebih baik aku tetap diam dan nyaman di kamar ini. Kamar ternyaman yang aku temukan sejak setahun lalu. Setelah kepulanganku.
“Ini Ayah dan Ibu, Nak. Ayo … bukalah.”
Suara merekalah yang akan bisa membuatku luluh dan beranjak. Aku memang sering melakukan ini. Terkadang sehari penuh bahkan dua hari aku akan tetap terjaga dengan pintu terkunci untuk memastikan aku aman dari lelaki itu.
Sejak kepulanga, orang tuaku menempatkanku di sini. Mereka bilang aku sakit, meskipun aku terlihat biasa-biasa saja. Walaupun aku memang tekadang menangis tanpa alasan. Bahkan tertawa di saat tidak ada yang lucu. Pernah juga aku berteriak tengah malam sehingga menggegerkan para tetanggaku.
Di rumah ini, rumah baruku. Aku mendapat cinta tanpa beban. Dari orang-orang yang sama sepertiku. Tertawa meski tak ada yang bicara sebelumnya, kadang juga menangis bersama. Ditemani handphone pemberian wanita hebat yang mengantarku pulang setelah melihat videoku dengan deraian air mata.
Aku menyebutnya rumah cinta. Dan mereka bilang ini rumah sakit jiwa.(*)
Simbok. Hobi membaca cerpen romantis. Suka menyendari menikmati hidup.
FB: mbok ne gilang. Email : cahyaastuti2619@gmail.com
Meskipun tidak masuk nominasi, cerpen ini kami anggap layak terbit di KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu ketiga Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan