Lanang
Oleh: Diah Estu Asih
Malam telah larut. Suara jangkrik menyatu dengan hening malam. Bulu kuduknya meremang waktu angin berembus pelan. Pepohonan jadi bergerak-gerak dan beberapa daun melayang sebelum menggelepar di paving halaman laboratorium. Rasanya dingin sampai ke tulang. Ia rapatkan jaket organisasi yang tidak seberapa tebal.
Lanang … anak lanangku … tidurlah Lanang …
Ia mengusap air yang menetes dari daun ke pundaknya. Perlahan kakinya melangkah meninggalkan halaman laboratorium yang telah gelap gulita. Ia orang terakhir di dalam laboratorium itu, rasanya, sebab sepanjang ia menelusuri lorong dari lantai tiga sampai lantai terbawah, tak ada lampu yang hidup. Apa lagi yang bisa ia lakukan selain meneliti malam-malam begini. Ketika terang ia punya kewajiban.
Anak lanangku …
Tiba-tiba batu terjatuh di depannya. Batu sebesar ibu jari kaki, berwarna hitam dan bentuknya hampir bulat sempurna. Ia menghindari batu itu pada langkahnya sehingga kakinya harus masuk ke kubangan air yang jorok.
Sepuluh langkahnya kemudian tanpa hambatan. Suara sepatunya bergesekan dengan paving menjadi pengiring malamnya selain suara jangkrik dan dengung keheningan. Di hadapannya sekarang, jalan aspal hitam yang lengang dengan penerangan tipis. Halte bus berada tak jauh di depannya. Pohon-pohon besar yang ditanaman alumni terdahulu membikin keadaan semakin cekam. Ia melangkah lagi, menginjak aspal.
Malam telah larut, Lanang … tidurlah Lanang … anakku Lanang …
Motor, dari ujung jalan yang gelap, datang dengan lampu menyala. Ia memutuskan berjalan di trotoar. Aroma melati yang wangi teraba indera penciumannya. Kadang hilang kadang datang. Konon, di balik bukit yang ditumbuhi banyak pohon besar dan sudah tua itu, sebuah makam tak bisa dipindahkan. Banyak kuntilanak di tempat ini yang menguarkan aroma wangi melati. Jika beruntung, suaranya pun akan menemani sepanjang jalan sampai gerbang kampus.
Lanang … pandanglah Ibu … anakku Lanang …
Kampus ini dulunya adalah makam. Sebagian besar digusur dan dipindahkan ke tempat lain (entah bagaimana cara memindahkan makam yang usianya sudah ratusan tahun) dan sebagian kecil tidak mau dipindahkan. Pemilik makam—orang yang telah mati—menolak dipindahkan. Sehingga makam-makam itu dikeramatkan di kampus ini. Keberadaannya dikelilingi ilalang dan pohon tua. Ia tidak pernah mencoba menengok makam itu, tetapi ia mendengar kisahnya. Makam-makam itu milik orang sakti.
Lanang anakku yang manis …
Namun sesakti apakah pemilik makam itu? Sesakti ibunya yang tidak pernah mati? Sesakti ayahnya yang selalu duduk di depan pintu padahal sudah mati?
Lanang …
Seperti sebuah ilusi, tubuh renta itu tiba di sampingnya. Senyumnya tersungging lembut sebagaimana biasa seorang ibu yang menyayangi anaknya. Langkahnya cepat—ia tidak melangkah. Perhatikan baik-baik daster panjang itu. Apakah ada kaki yang menapaki tanah? Apakah ada langkah terseok seperti khasnya wanita tua?
Wanita itu, ibunya, melayang.
Anakku Lanang… tidurlah…
Dan bernyanyi. Dan membelai kepalanya, pundaknya.
Selamat malam, Nak. Hati-hati di jalan.
Dan menghilang. Ia, Lanang, tergeragap sebelum kemudian melangkahkan kakinya dengan cepat. Ia berlari sepanjang trotoar kampus sampai melewati gerbang. Ia tiba di jalan raya yang masih terjaga. Langkahnya mulai tenang. Rumahnya masih ada di ujung jalan sana; di dekat pemakaman keramat yang isinya orang-orang sakti.
Namun sesakti apa mereka? Adakah yang sesakti ibunya yang tidak pernah mati? Ataukah sesakti ayahnya yang sudah mati tetapi selalu ada?
Ia tiba di depan rumahnya. Aroma wangi menguar dari makam keramat. Pintu rumahnya tidak terkunci, sebab ada orang tua yang menunggunya. Lanang masuk dan ia dihadapkan pada lelaki tua duduk di kursi malas dengan senyuman mengarah padanya. Ayahnya, yang telah mati, tetapi selalu ada. Adakah yang lebih sakti dari ayahnya?
Tak ada kalimat sambutan. Lanang langsung masuk dan melewati ayahnya. Ayahnya tidak perlu disapa tanpa dibawakan oleh-oleh. Nanti tatapannya akan sinis dan ludahnya membanjiri lantai ini.
Ia melewati kamar yang terbuka. Wanita berbaring di sana, memakai daster. Itu ibunya, yang entah kapan akan mati. Tidak hidup, tapi tidak mati. Ibunya telah mengantarnya di jalan tadi, dan ibunya ada di sini. Adakah yang lebih sakti dari ibunya?
Lanang melewatinya sebagaimana ia melewati ayahnya. Ia berbaring di kasurnya, kemudian tertidur dan bermimpi.
***
Malam hampir habis. Namun amarahnya tak pernah habis. Ia memasuki rumahnya dengan membawa amarah itu. Ia tidak suka ayahnya yang telah tua dan tidak bisa apa-apa, dan ibunya yang sama tua dan mengurus ayahnya. Orang tuanya menghambatnya dalam berkembang. Ia kekurangan uang untuk kegiatan organisasi dan kuliah sebab uangnya habis untuk berobat dan makan orang tua yang tak lagi bisa apa-apa selain meminta.
Ia, Lanang, yang dahulu selalu dinyanyikan oleh ibunya kini menatap wanita itu penuh dendam. Tak butuh waktu lama. Cukup dua menit ia menatap wajah orang tuanya. Ia menyemprotkan gas beracun di dalam kamar itu, kemudian berlari keluar dan menutup pintu rapat-rapat.
Orang tuanya telah mati dan dimakamkan. Lanang yang membunuhnya. Lanang turut memandikanya, turut menguburkannya, turut menaburkan kembang di atas makamnya. (*)
Diah, mahasiswi yang sedang belajar membaca dan menulis.