Huruf “L”
Oleh: Ridwan Hasan Pantu
Sejak berumur enam tahun, pertama kali sesuatu muncul di penglihatanku. Kemana pun pandangan kuarahkan, sesuatu itu terus ada di semua tempat. Sesuatu itu menyerupai bayangan huruf “L”. Ya, huruf “L”. Entah bagaimana bisa bayangan itu tiba-tiba muncul. Bayangan itu cukup menggangu, karena aku baru saja masuk SD dan orang tuaku sering menasehati untuk belajar membaca. Namun, huruf itu selalu berhasil merusak konsentrasiku. Setiap mulai membuka buku, pasti aku akan mengucek mata ini berkali-kali berharap bayangan itu akan hilang.
Saat makan pun aku sering bermain-main dengan bayangan itu. Mata kuarahkan kesana-kemari seiring huruf itu seolah melompat dan berlari.
“Dek, cepet dihabisin makannya,” kata ibu seraya menambahkan sayur bayam–salah satu musuh dalam menuku.
Mataku juga sering aku kedip-kedipkan. Sejak itu orang tuaku mulai memperhatikan keanehan diriku.
“Dek, matanya kok gitu? Sering dikucek? Sakit ya?” Ibu menempelkan jari telunjuk di kelopak mataku, hendak memeriksa.
“Engga.” Aku meraih tangan ibu.
“Trus kenapa gitu?”
“Mmm … Ini, Ma. Kayak ada huruf ‘L’ di mata Ade. Biar dikucek-kucek tidak mau ilang.” Aku mengucek mata berkali-kali.
Ibu segera membuka kelopak mataku lalu memeriksa keduanya.
“Tidak ada apa-apa, Dek.”
“Sakit matanya?”
“Enggak.”
Saat di sekolah pun, guru dan beberapa teman memperhatikan keanehanku.
Ketika ibu guru menyuruh untuk membaca, aku bermain-main dengan kedua bola mataku. Mataku kuarahkan berputar-putar di lembar halaman yang kubaca. Ibu guru marah mengira aku meledek perintahnya. Jeweran dengan kuku di kuping terasa sangat perih. Semakin nyeri dengan sorak sorai teman yang tertawa membahana di kelas.
Kejadian di sekolah terdengar oleh kedua orang tua. Mereka memutuskan untuk membawaku ke dokter spesialis mata. Di ruangan klinik, Dokter memeriksa kedua mataku menggunakan senter kecil.
“Kedua matanya normal, Bu.” Pak Dokter mematikan senternya.
“Katanya ada kayak huruf ‘L’ setiap dia melihat ke semua tempat.”
“Kalau sekarang gimana? Apa masih ada?”
“Masih ada, Dek?” Ibu dan semua orang menatapku.
“Iya masih ada … Itu …” Aku menunjuk ke poster huruf-huruf besar dan kecil di tembok, di matras, dan semua tempat yang dituju pandangan mataku.
“Ini kasus pertama yang aku tangani tentang keanehan penglihatan tapi tidak bisa saya jelaskan secara medis.”
Dokter dan kedua orang tuaku berbicara sebentar lalu memintaku untuk menunggu di luar.
Di perjalanan pulang, Ayah menanyakan perihal keganjilan penglihatanku. Aku memandang kearah luar jendela mobil yang melaju.
“Adek tidak bohong ‘kan?”
“Tidak,” jawabku dengan nada yang agak tinggi.
Setelah sekitar setahun, aku mulai terbiasa dengan ‘penyakit’ ini.
“Dek, itu huruf ‘L’ nya masih ada ngga?” tanya ibu saat aku bermain Playstation.
“Iya.” Aku tak menoleh.
“Masih terganggu gak?”
“Masih … Dikit …”
Keesokan harinya orang tuaku membawaku ke rumah eyang. Kata mereka mungkin eyang tahu penyakitku apa dan cara mengobatinya.
Sabtu pagi yang cerah, mobil kami melaju di jalan tol meninggalkan kemacetan dan polusi kota. Ayah dengan santai mengendalikan mobil sambil sesekali ngobrol dengan ibu di sebelahnya. Aku duduk di jok belakang, tempat favorit sambil memandang keluar jendela. Terlihat pemandangan di luar telah berubah. Gedung dan rumah berganti pohon dan bukit. Huruf “L” masih setia mengikuti.
Kemudian ….
Ciiit … Brukk!
Tubuhku terpental. Aku menutup mata, lalu tak sadarkan diri.
Aku terbangun di atas matras kamar Rumah Sakit. Mata sebelah kiri tertutup perban. Eyang memelukku sambil sesegukan.
“Cucunya beruntung masih diberi keselamatan. Hanya saja, ada serpihan kaca di mata sebelah kiri nyaris mengenai kornea.” Dokter menjelaskan kepada eyang dan beberapa suster lainnya.
“Bagaimana mata cucu saya, Dok? Apa masih bisa melihat?” Eyang kembali menyeka pipinya yang rebas.
“Iya. Sudah dilakukan operasi pengangkatan serpihan kaca, namun meninggalkan bekas berbentuk huruf ‘L’ di bagian putih mata kirinya.” Dokter itu menjelaskan dengan tenang seperti pak guru.
“Ibu sama Ayah di mana, Eyang?” Aku menarik tangan keriputnya.
Eyang hanya tersenyum lalu mengajakku ke rumahnya. Mungkin orang tuaku sudah ada di sana, begitu pikirku.
Di rumah itu Eyang menjelaskan kalau hanya aku yang selamat dalam kecelakaan itu. Aku masih belum mengerti. Namun seiring berjalannya waktu aku telah menyadari bahwa orang tuaku tidak akan pernah kembali.
Dua puluh lima tahun telah berlalu, tanda di mata masih ada, namun bayangan huruf “L” tak pernah lagi terlihat. Kini aku menyadari huruf “L” menjadi yang hal yang bermakna dalam hidupku.
“L” bisa menjadi inisial dari sebuah kata dalam bahasa Inggris. Love, life, lucky … You name it.
Oh, iya, namaku Untung. Sekarang aku berprofesi sebagai guru. Aku memiliki tiga anak yang aktif, namun anak terakhir membuatku khawatir. Ia selalu mengucek-ngucek matanya. Katanya kayak ada huruf “X” selama Ia membuka mata.
Serambi Madinah, revisi, 2021
Ridwan Hasan Pantu, Guru SMP, menulis cerpen, novel, puisi, dan resensi. Tulisannya banyak yang mangkrak. Hanya sedikit yang selesai. Beberapa dimuat di Harian Rakyat Sultra, Harian Go Post, dan media online, juga beberapa buku antologi. Buku solo satu-satunya berjudul Back to Makassar (2021). Penulis penyuka nanas ini bermukim di Gorontalo.
Link gambar: https://pin.it/6bkB3DN