Ibu Besi Tua

Ibu Besi Tua

Ibu Besi Tua

Oleh: Pupud Tatifa

Sosok itu tidak pernah lagi terlihat mondar-mandir dari rumahnya, yang tepat berada di depan pengepulan besi tua. Dia menjadi orang kepercayaan Bapak pemilik tempat itu, yang membuatnya sibuk memilah, memilih, menimbang, dan membayar orang-orang yang menjual rongsokan dan besi tuanya. Halaman rumahnya pun, turut digunakan untuk menyimpan stok berlebih yang sudah tidak cukup lagi di tempat pengepulan.

Sepertinya sudah 3 hari dia tidak tampak dan tidak ada yang berani mengetuk pintunya. Pintu sakral, begitu orang-orang menyebutnya. Sebab, jika perempuan yang masuk, akan lupa hari saking asyiknya bergosip, jika lelaki yang masuk, akan sangat sulit menolak kedipan matanya yang memikat. Entah berapa susuk emas di tiap bulan Suro, dia tancapkan di bibir, mata, dan pipinya.

Perempuan itu, janda. Usianya sudah kepala enam, namun masih tampak seperti 30 tahunan. Badannya tinggi besar, kulitnya kecoklatan. Meski sudah mulai tampak kerutan di beberapa bagian, dia tetap mampu memikat para lelaki dan menjebloskannya ke dalam kubangannya. Termasuk Bapak pemilik besi tua. Dengan mudah, semua hutangnya lunas, hanya berbekal layanan ekstra di tempat tidur.

“Syuuut, katanya, dia jadi istri simpanan.”

“Udah nikah siri kok.”

“Pak RT kenapa diam saja, ya?”

“Mana berani Pak RT lawan gembong mavia kampung. Meski cuma pengepul besi tua, omsetnya berjuta-juta. Apalagi dekengannya orang berpangkat.”

Gunjingan para tetangga seperti suara burung yang saling bersautan.

**

“Yuuur …, sayuuur. Sayur, Buuk ….”

Suara Mang Dedi sontak mengomando para ibu keluar dengan baju kebesarannya–daster.

Siang yang begitu terik, membuat Mang Dedi menepi, memilih tempat yang lebih teduh untuk memarkir gerobak sayurnya.

“Mang, itung, Mang.”

“Jagung 3.000, tongkol 10.000, bayam 2.000, sambelan 3.000, pisang uli 10.000. Totalnya 28.000.”

“Ini Mang, kurangnya catet, ya.”

Seorang ibu dengan dandanan mirip orang mau berangkat karnaval, menyerahkan uang 20.000 dan Mang Dedi hanya pasrah menuruti perintahnya, mencatat utang, meski sisa utang bulan sebelumnya belum terbayar.

“Mang, bayem sama jagung, ada?

“Jagung ada, bayem ada.”

“Kok udah layu gini bayemnya? Serebu aja ya, ini?”

“Ambil, dah.” Lagi-lagi, Mang Dedi hanya bisa pasrah pada tawaran ibu-ibu yang sering tidak manusiawi.

Aku masih sibuk memilih sayur sambil pura-pura tidak tahu dengan segala rupa tingkah tetanggaku.

“Mang, ini tadi 67.000, ya? Ini Mang, kembaliannya ambil aja,” seru seorang ibu yang sedari tadi sabar menunggu giliran.

“Kasih daun bawang apa penyedap aja, ya, 3000-nya?”

“Nggak usah, Mang. Buat Mamang aja.”

Coba aja, semua yang belanja seperti ibu Gina, batinku.

Sekarang tinggal aku seorang yang belum menyelesaikan belanja. Aku tidak belanja setiap hari, 3 hari sekali saja. Makanya aku memilih mengalah, membiarkan ibu lain menyelesaikan belanjaannya.

“Jadi pedagang kecil, memang kudu sabar, Neng. Ngumpulin seribu-dua ribu.”

“Iya, Mang Dedi sabar banget.” Aku menanggapi keluhan Mang Dedi.

“Di komplek sini mah, masih mending, Neng. Yang belanja, orang yang punya rumah netep.. Kalo di komplek kontrakan mah, lebih sedih lagi, Neng. Ngutang udah sejuta lebih, eh, tahunya ditinggal pindah kontrakan. Nggak satu dua orang yang begitu. Apalagi kalo udah pulang lebaran. Wah, bakal banyak orang ngutang yang ilang.”

“Ya Allah, yang sabar, ya, Mang.”

Aku biarkan Mang Dedi melepaskan uneg-unegnya sambil mengipaskan topinya ke arah badannya yang tampak berkeringat.

“Kalo ibu yang di rumah itu, lagi pergi, ya, Neng? Bilangnya mau bayar kemarin, Mamang ketokin, sepi nggak ada jawaban.” Mang Dedi menunjuk ke arah rumah Ibu besi tua.

“Oh, ibu itu. Sudah tiga hari ini sepi, Mang. Rumahnya sepi, tempat pengepulan besi tuanya juga sepi.”

“Biasanya kan dangdutan, ya, Neng. Hahaha.”

Aku hanya tersenyum menanggapi tawa Mang Dedi pada candaannya yang menurutku tidak lucu.

Memang, tempat itu nggak pernah sepi, selalu ramai, entah dengan suara dangdutannya atau obrolan orang-orangnya, beserta kepulan asap yang baunya menusuk. Mereka biasa membakar semacam karet, entah apa tepatnya, setiap dibakar menghasilkan asap hitam yang baunya menusuk hidung. Membuat sebal para ibu-ibu, apalagi yang sedang menjemur pakaia yang telah kering dan wangi, langsung berganti bau asap yang sangat menyebalkan.

Begitulah dunia. Masih konsisten seperti dua sisi mata uang.

**

Ibu besi tua itu, biasanya duduk di teras rumah dengan secangkir kopi di tangannya. Dia akan menyapa anak-anak yang lalu lalang. Ada yang akan berangkat sekolah atau sekadar lewat untuk main ke rumah teman.

“Ibu besi tua, ini aku mau jual botol.” Begitulah orang-orang kerap memanggilnya.

Anak-anak sering membawa apa saja yang mereka temukan di jalan untuk dijual padanya setelah terkumpul.

Setiap malam, mobil pick up datang dan pergi mengangkut barang-barang ronsokan dari rumah itu. Semakin malam, semakin terdengar ramai, kadang hingga dini hari, masih banyak orang begadang di sana.

Aneh bagiku. Jika hanya barang ronsokan, kenapa harus selalu tengah malam. Aku mulai berpikir, jangan-jangan selain barang bekas hasil pulungan, mereka juga menjadi penadah barang curian.

Ah, mungkin hanya kecurigaanku yang berlebihan.

Meski demikian, keberadaan rumah Ibu Besi Tua cukup membantu perekonomian masyarakat. Aku contohnya, barang-barang yang biasanya aku buang, bisa aku kumpulkan dan ditukar dengan beberapa lembar uang ribuan. Lumayan untuk menambah uang jajan anak-anak.

Namun, bukan berarti semua tetangga tidak terganggu dengan kondisi lingkungannya. Rumah Bu Neti yang berada tepat di sebelah rumah Ibu Besi Tua, sering mengeluh. Para pekerja, kerap memasang paku sembarangan pada tembok rumahnya. Lama kelamaan, tembok menjadi retak dan rusak.

Itulah! sekali lagi, kehidupan dunia ini seperti dua sisi mata uang.

**

Hingga pagi berikutnya, kampung menjadi geger. Semua berawal dari belakang rumah Bu Gina, yang bersebelahan dengan rumah Ibu Besi Tua yang menguarkan bau busuk yang mirip bau bangkai.

Suami Bu Gina sudah berusaha mencari sumber bau, tetapi tidak membuahkan hasil. Saat dia berpindah ke arah lain, selalu lokasi yang bersebelahan dengan rumah Ibu Besi Tua akan menguarkan bau yang sama.

Bapak pemilik tempat pengepulan, tidak mau tahu menahu ketika ditanya oleh Bapak RT.

Dapur rumah Ibu Besi Tua memang tanpa dipasang plafon. Dengan mendatangkan tetangga yang berprofesi sebagai polisi dan seorang tenaga kesehatan, Pak RT memutuskan melakukan pembongkaran rumah melalui atap. Tanpa berpikir panjang lagi, pak RT meminta seorang tukang bangunan untuk memanjat genting dapur.

Sontak, kampung menjadi geger. Di dalam ditemukan tubuh Ibu Besi Tua yang menggelantung di jeratan tali. Entah apa yang sebenarnya terjadi.

Depok, 20 Oktober 2021

Pupud Tatifa adalah seorang ibu yang sedang semangat untuk belajar menulis.

Leave a Reply