Jam Tangan Mewah Pemberian Tuan
Oleh : Sri Handayani
Setelah kupikir-pikir, sepertinya jam tangan ini memiliki kutukan. Bagaimana tidak? Semenjak jam ini selalu bertengger cantik di tanganku, sahabat-sahabatku satu per satu menjauh tanpa sebab, tanpa pesan, tanpa alasan, tanpa bicara, bahkan tanpa pertemuan. Eli, Yuni, Devi, Endah, dan Dian, semuanya tak mau jika aku ajak untuk nongkrong bareng di kafe. Kata-kata terakhir mereka ketika kutanyai alasannya selalu sama, “Kamu sudah berubah!”
Apanya yang berubah dariku? Aku adalah aku yang dua puluh tahun lalu mereka kenal: berpostur kecil, berkulit sawo matang, dan berdagu belah; sedikit pendiam, tapi bukan berarti pemalu. Namun, justru orang-orang baru berjalan mendekat tanpa kuminta, aku seperti gula yang layak untuk dikerubuti semut. Dari sekian banyak yang berusaha mendekat hanya Clarisa, Angel, dan Agnes, yang bisa kujadikan kawan dekat. Lima diganti tiga tidak masalah, bukan?
Itu baru kutukan pertama, dan yang paling membuatku tak habis pikir, kekasihku—Angga—sering kali mengajakku ribut hal-hal sepele, melarang-larang berkawan dengan Clarisa, Angel, dan Agnes, hal yang paling sering membuatku jengkel.
“Kalau kamu tidak mendengarkannku, lebih baik hubungan ini cukup sampai di sini.” Ancaman Angga yang dilontarkan dua minggu yang lalu ternyata bukan isapan jempol belaka. Aku pikir kata “di sini” bukan berarti “hari ini”, tetapi ternyata penafsiranku keliru, Angga menghilang sebelum aku melontarkan argumen, sebelum aku merajuk—seperti biasanya.
Menghilangnya Angga membuatku nyaris padam. Aku merasa sunyi, kosong. Hidupku goyah, bimbang. Dan tentu saja: lara. Karena dia bukan hanya sekedar kekasih semata, bisa dibilang cahaya atau matahari atau bulan atau bintang atau pahlawan dalam hidupku. Perumpamaan itu bukan bualan saja ataupun sekedar gombalan alay. Dia datang tepat waktu ketika papaku lebih banyak menghabiskan hari dengan bekerja di luar kota, ketika mamaku menjadi sering mengurung diri, dan ketika kakakku memilih kawin lari dengan kekasihnya daripada menerima perjodohan, jadi perumpamaan itu memang tepat disematkan padanya.
Aku sedang merasakan spageti dengan sensasi asin Italia yang aneh ketika mataku bersirobok dengan mata yang berada di luar tempat makan Italia ini. Dengan desain pintu dan jendela kaca nyaris terlihat seperti tanpa sekat, aku dapat melihat jelas ekspresi dari wajahnya. Ketertegunanku terganggu ketika Agnes yang duduk disebelah kiriku berbisik, “Dia bukan level kita.” Aku mengiyakan dengan tersenyum canggung.
Sebuah unggahan foto terpampang cantik, empat orang berpose tersenyum menawan dengan jam tangan mewah yang sama. Kata-kata memuji memenuhi ruang komentar. Namun, ada yang terasa ganjil di sudut hati, seketika raut wajah yang tak asing siang tadi menari-nari di mataku.
Tatapan nanarnya membuat pikiranku melayang jauh, ketika kami masih bersama-sama dan dijuluki enam sekawan. Perkawanan yang terbentuk semenjak masuk SMA. Tak ada rahasia satu pun yang disembunyikan darinya, begitu pun dengannya. Ada hal yang tak bisa aku dapatkan bersama Clarisa, Agnes, ataupun Angel, tapi aku dapatkan pada Eli, Yuni, Devi, Endah, dan Dian: ikatan persaudaraan.
Sebuah jam tangan mewah memperindah penampilanku. Jam tangan inilah yang membuat kepercayaan diriku naik berkali-kali lipat. Dengan jam tangan inilah pergaulanku semakin luas. Banyak orang ingin mengenalku, followers instagramku bertambah, dan aku menjadi salah satu mahasiswi terpopular di kampus. Bukankah itu semua menguntungkan? Namun, apakah hal itu sebanding dengan kehilangan sahabat-sahabat dan seorang kekasih setia?
Rumah mewah dikelilingi pagar akuarium, rumah yang terletak tepat dibelokan sebuah perumahan yang tentu saja perumahan mewah, siapa pun yang melewatinya pasti akan terkesima dan takjub. Pemilik rumah inilah yang memberiku jam tangan mewah, namanya Tuan Haris. Seorang hartawan yang merelakan jam tangan istrinya diberikan untukku, hanya karena aku menemukan dompet istrinya di dekat mobilku terparkir.
Kuputuskan untuk mengembalikannya, bukan tidak butuh, siapa tahu sahabat-sahabatku kembali lagi begitu juga Angga.
“Barang yang sudah aku berikan tidak dapat aku terima lagi. Itu milikmu, terserah kamu ingin apakan yang pasti tidak untuk dikembalikan lagi padaku,” ucap Tuan Haris.
Maka aku putuskan lagi, tak akan memakai lagi, mungkin untuk saat ini disimpan atau suatu hari nanti dijual.
“Bukan salah jam tangannya, tapi kamunya yang belum terbiasa memakainya,” lanjut Tuan Haris.
“Kamu pakai jam tangan tidak pada semestinya, coba kamu pakai memang untuk mengetahui waktu, bukan untuk mengubah waktu apalagi mengubah hidup,” nasihat Tuan Haris.
Jika jam tangan mewah ini aku pakai sebagaimana fungsinya, dapatkah aku memperoleh semuanya? Bergabung lagi dengan julukan enam sekawan dan tetap menjalin dengan tiga kawan baru? Akankah Angga dapat menerimaku lagi? (*)
Sukabumi, 15 November 2021
Sri Handayani adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang baru mengenal kepenulisan di usianya yang telah jelita: jelang lima puluh tahun.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata