Eutenika (Bagian 2)
Oleh : Zulfaturroliya
Mata Purnomo merah penuh amarah. Keluarga besar kalang kabut menghadapi sikap keras Prastina. Pernikahan telah terjadi, mengupayakan kelanggengan adalah sebuah tanggung jawab yang harus dituntaskan. Campur tangan dari keluarga besar harus dilakukan.
Beberapa cara digagas keluarga agar mereka berdua bisa menghabiskan waktu bersama. Melakukan perjalanan ke kota lain untuk bersilaturahmi ke saudara, berpelesir ke tempat wisata, dan berlibur agar bisa menikmati bulan madu. Keluarga memberikan waktu untuk saling memahami dan mengenal satu sama lain. Namun, apa hasilnya? Pertengkaran justru terjadi di sepanjang jalan. Hubungan mereka tidak membaik tetapi justru memburuk.
Purnomo yang berjibaku memperjuangkan cinta lama-lama merasa tak memiliki harga. Ambisi yang diimbangi kesabaran menghadapi kerasnya sifat Prastina, berubah menjadi rajutan luka. Saat itulah ia tersadar harga dirinya sebagai lelaki tercederai. Sejak saat itu semua hal tidak bisa sama lagi. Rasa cinta yang menggebu-gebu mulai pudar. Rasa asih sedikit demi sedikit luntur. Perselisihan lebih sering terjadi. Purnomo merasa semua perjuangannya percuma. Sebesar apa pun ia menunjukkan rasa cinta, apa yang ia lakukan adalah hal yang menyebalkan bagi Prastina.
Cinta dan kebencian adalah dua rasa yang hanya dibatasi oleh tirai tipis. Membenci atau mencintai sesuatu terlampau dalam, bisa menembus tirai itu. Baik Prastina maupun Purnomo semakin ringan menunjukkan sikap perlawanan.
Purnomo yang hidup dalam impian, melambung tinggi dengan harapan-harapan. Angan indahnya membutakan mata dan pikiran. Ia lupa bahwa tidak semua hal dapat terwujud sesuai ekspektasi. Manusia hanya bisa berusaha menumbuhkan rasa, mereaksi situasi, dan merespon perasaan, tetapi tidak memiliki kuasa menciptakan rasa cinta. Purnomo pada akhirnya bisa mendapatkan Prastina secara fisik, tetapi ia gagal memiliki hati Prastina.
“Tetapi, saya salut dengan Purnomo,” puji Srinah dengan pandangan yang ia tembakkan pada genangan air.
Saya menatapnya dalam lalu ikut menjatuhkan fokus rintik hujan yang ritmenya mulai reda.
“Setidaknya ia memiliki tujuan yang jelas dan semangat yang kuat untuk mencapainya.”
Aroma tanah basah menyatu dengan angin yang lembab. Perempuan di depan saya ini benar. Saya menjadi saksi bahwa ambisi adalah bahan bakar yang membuat lelaki bernama Purnomo terus memacu kegigihannya. Jamak kita tahu bahwa tidak semua orang memiliki kemauan sekeras ini. Mundur adalah sebuah pilihan saat peluang untuk berhasil menunjukkan sebuah kemungkinan. Saya merapatkan jaket kaos yang warnanya telah memudar untuk menghalau dinginnya udara. Saya menghela napas berat, tetapi tentu saja tidak seberat hidup yang tanpa berbalas cinta.
“Bukankah ambisi seringkali justru melukai?” pancing saya dengan menunjukan pendapat yang berseberangan.
“Ya, benar. Benar juga.”
Srinah tampak berpikir lalu kembali berkisah. Malam pertama Prastina begitu berbeda dengan pasangan pengantin pada umumnya. Ia selalu mencari cara untuk menghindar. Teguh berpikir untuk mungkir. Mencoba berbagai strategi untuk pergi. Ia benci menjelang malam, saat senja menyibak mega merah di sepanjang horizon. Ia mulai waswas. Dengan lugu ia bergabung dengan teman-teman untuk menghabiskan waktu. Tidak ada yang asing bahwa Prastina membenci Purnomo. Jamak mereka melihat perang-perang kecil yang disulut Prastina untuk menunjukkan rasa tidak suka. Malam-malam pertama seperti gelap yang membuat indra pekat dan terbatas. Prastina selalu lari dari rencana-rencana indah yang Purnomo susun. Srinah kemudian tertawa kecil. Lagi-lagi ia tampak memgingat sebuah memori yang mengesankan.
“Prastina selalu bergabung dengan kami setiap malam. Mertuanya memberi keleluasaan agar Prastina tidak merasa tertekan dengan perasaannya. Sebenarnya mereka paham sekali gelagat penolakan, tetapi pernikahan adalah hal sakral yang harus dipertahankan. Doa-doa mereka melambung dan membiarkan Prastina bergaul bersama kami adalah cara mereka menenangkan.”
Saya mengangguk memahami. Saya masih ingat memang Prastina sering menangis meraung. Mengancam ingin memisahkan diri, tetapi itu tidak pernah benar-benar ia lakukan, karena tidak.ada satu pun dukungan yang membuatnya berani mengambil langkah. Sepertinya ia tidak siap disalahkan atas keinginannya memutus tali pernikahan.
“Kami selalu mengobrol hal-hal menyenangkan. Bercanda seperti anak gadis pada umumnya. Suatu sore saat kami berkumpul, dengan polos ia bertanya, ‘apa yang harus ia lakukan agar suaminya kesulitan menjamahnya?’ Kami semua tentu saja langsung tertawa.” Srinah tergelak mengingat hal itu.
“Ikat kakimu dengan tali!”
“Ikat? Apanya?”
“Kaki. Iya, kaki. Ikat dengan kerudung atau selendang.”
“Untuk apa?”
“Agar aman!”
“Ya, agar aman!”
“Lalu Prastina benar-benar mengikuti saran konyol yang teman-teman lontarkan!” Tawa kami pecah, bagaimana tidak? Saran senaif itu hanya akan dilakukan orang-orang yang polos.
Ya, Prastina membelit kedua kakinya dengan kain panjang, mendapatkan perasaan aman lalu lelap sepanjang malam. Prastina terbuka dan sering menceritakan apa yang ia alami kepada Srinah, baik itu cerita bahagia maupun luka. Ekspresi rasa cinta terbaca sebagai ancaman, ia mengutuk malam, menyumpah waktu yang tak kunjung siang. Baginya Sinar matahari adalah isyarat jalan bebas segera ditemukan.
Saya menghela napas berat, meski tak seberat hidup yang tanpa cinta. Srinah masih tampak menahan tawa, saat ia mulai bisa menguasai diri gerakan tersentak kecil tanda mengingat sesuatu membuatnya kembali buka suara.
“Ah, dulu saya sempat mendapat tugas penting dari mertua Prastina.”
Dahi saya berkerut, seolah berkata, “Oh ya? Tugas apa?” Sial, mimik saya pasti terlihat sangat penasaran. Kepo.
Mata Srinah berbinar, dari sanalah saya membaca ada kerinduan yang mendalam, bernostalgia dengan kisah-kisah, lalu memutar kembali memori yang lekat teringat. Saya menyesap kopi yang mulai hangat temperaturnya.
“Jika orang-orang pada umumnya menganggap malam-malam pertama adalah hal yang rahasia, dengan berpura-pura tidak ada apa-apa, maka beda cerita dengan Prastina.” Ia menggantung intonasi diakhir kalimatnya, saya diam, menyimak.
Mungkinkah ia akan bercerita tentang kejadian malam pertama? Gila!
“Ia yang sepakat menikah karena perjodohan, sebenarnya di hatinya melakukan penolakan. Jadi tentu saja tidak ada debaran, juga tidak ada rasa penasaran lazimnya pengantin baru. Prastina tetap perawan hingga hari kesepuluh.”
Srinah tertawa lalu melanjutkan kalimatnya. “Tidak ada apa-apa yang terjadi, ia rajin membelit kaki, atau menghindar dengan cara-caranya. Prastina selalu jadi bahan guyonan teman-teman hingga lama-lama mertuanya dengar tentang hal itu lalu meminta kami menjalankan sebuah tugas penting,”
“Tugas penting apa?” Akhirnya keluar juga pertanyaan saya.
“Bu Suwati, mertua Prastina, menugaskan saya dan Mariyati untuk menemaninya hingga ia tertidur!” Srinah tertawa
Malam-malam seperti apa yang dijalani seorang perempuan yang menunjukan sikap terpaksa? Lalu, malam-malam seperti apa bagi seorang lelaki yang mendapat penolakan yang nyata dari istrinya? Apakah kehidupan mereka akan dinamis? Padahal menciptakan keharmonisan itu butuh upaya dan kesadaran.
Saya kembali menyesap kopi yang tinggal separuh, Srinah pun mengangkat cangkir tehnya.
Di sebuah sore Bu Suwati mendatangi Srinah yang sedang menyiram anggrek, ekspresinya gelisah, gelagat orang-orang yang membutuhkan bantuan. Setelah dipersilakan masuk dan duduk, Bu Suwati menyampaikan tujuannya.
“Prastina, sahabatmu, telah menikah dengan anakku, Purnomo. bantuan. tuan. jukan sikap terpaksata yang tak sempurna, aya. Tujuan orang tua menikahkan anak itu kan ingin masa depan anaknya bahagia. Sakinah, lanjut mawaddah, lalu bisa membawa rohmah dalam kehidupan mereka kelak.”
“Nggeh, Bu. Leres.”
“Nah, Purnomo ini, kalau ndak sama Prastina, ndak mau. Sedangkan, kowe ruh dewe to Nduk, Prastina ini kayake ndak pehatian sama Purnomo. Aku merasa tanggung jawab kami sebagai orangtua belum tuntas, hingga bisa memastikan mereka atut, bahagia, lalu momong anak.” Bu Suwati menghela napas berat.
“Nggeh, Bu.”
“Nah, nanti malam, tolong kancani menantuku, hingga ia tertidur ya, Nduk. Pastikan ia merasa nyaman.”
“Nggeh, Bu.” Srinah mengangguk, meski ia bingung apa yang harus ia lakukan.
Selepas magrib, Srinah bersama satu temannya, Mariyati, datang ke rumah Bu Suwati, menunaikan permintaan yang luhur itu. Prastina yang melihat dua sahabatnya datang, tentu saja menyambut dengan wajah semringah. Mereka bertiga berbincang banyak hal hingga larut. Saat pukul sepuluh malam, Prastina mulai mengantuk dan akhirnya tertidur, Srinah dan Mariyati mengendap-endap ke luar kamar. Begitu berulang setiap malam. Mereka meninggalkan Prastina dengan harapan terbaik. Sebuah keluarga bahagia tercipta dan rasa asih tumbuh Iantara keduanya.
Pada malam kelima belas, seperti biasa Srinah dan Mariyati datang selepas salat isya. Sesampainya di halaman rumah Bu Suwati, mereka mendengar suara ribut dan teriakan. Melihat pintu sedikit terbuka, mereka lantas berlari masuk dan terkejut, sumpah serapah keluar dari mulut Prastina dan Purnomo. Ruang tamu di mana mereka bertengkar tampak berantakan. Benda-benda berserak seperti habis dilemparkan.
Melihat Srinah dan Mariyati masuk, Purnomo dengan kasar menarik tangan Prastina dan mendorongnya ke belakang. Srinah dan Maryati berteriak lalu berlari ke arah keduanya untuk memisahkan. Srinah segera membawa Prastina keluar halaman, lalu Maryati berusaha menenangkan Purnomo.
Tidak lama kemudian Bu Suwati yang baru saja keluar untuk kondangan, datang bersama suaminya, Pak Sobri. Pertengkaran berhasil dilerai. Keduanya duduk dengan perasaan yang masih dipenuhi amarah. Pak Sobri menasihati mereka yang terdiam dengan mata memerah.
Kamu tahu? Saat Srinah bercerita tentang ini, ia menelangkupkan tangan menutup wajahnya. Saya mengira ada rasa ngeri saat mengingat pertengkaran pada malam kelima belas itu. Tapi menurut saya, itu bukanlah pertengkaran pertama, dan tidak menjamin jadi pertengkaran terakhir, meski wejangan dari Pak Sobri begitu dalam dan berisi nasihat yang menampar.
“Apakah Prastina bercerita apa masalah yang memicu pertengkaran itu?” Saya memberanikan diri bertanya, lalu Srinah mengangguk mengiyakan.
“Prastina menceritakan banyak hal yang ia alami, tanpa tedeng aling-aling, termasuk pertengkaran malam itu,” ucap Srinah pada saya, kemudian mengangkat cangkir dan menyeruput sedikit teh. Mungkin tenggorokannya kering karena terlalu antusias bercerita.
“Mereka bertengkar karena apa?”
“Intinya Purnomo cemburu.”
“Kepada siapa?”
“Lelaki yang menyapa Prastina saat ia pergi ke pasar.”
“Prastina kenal dekat dengan lelaki itu?”
“Hanya kenal, sesama bakulan di pasar. Prastina setiap hari ke pasar untuk belanja barang dagangan yang ia jual. Sebenarnya banyak juga kok, orang lain yang menyapanya, laki-laki, perempuan, mereka memang terbiasa saling sapa. Ya, sekedar bentuk keramahan saja. Kan sudah biasa orang pasar menunjukan sikap tepo seliro, tidak lebih sih.”
“Lalu mengapa Purnomo kalap?”
Srinah mengangkat kedua bahu. Saya pun menyerah bertanya.
“Apakah Prastina menyukai lelaki yang menyapanya itu?” Saya bertanya dengan sedikit kaget. Mungkinkah perempuan yang saya idolakan ternyata mendua hatinya?
“Tidak, tidak!” Srinah menyangkal cepat.
Saya menghela napas lega. Setidaknya saya yakin Prastina benar-benar perempuan baik.
“Jangankan jatuh cinta pada lelaki lain setelah ia menikah, sebelum menikah pun Prastina tidak pernah bercerita tentang ketertarikannya pada remaja lain. Kadang saya curiga, apakah Ia tidak merasa bahwa dirinya cantik ya, hingga tidak merasa kalau banyak yang menaksirnya?” kata srinah dengan intonasi retoris.
Saya tertawa. Lalu Srinah mengimbangi tawa saya. Entahlah, kalimat ini terasa lucu bagi saya. Ada banyak gadis yang tidak cantik tapi merasa cantik, tetapi Prastina, justru sebaliknya.
“Lalu, mengapa Purnomo sampai semarah itu, jika istrinya hanya disapa?”
Srinah kembali mengangkat bahu, tetapi samar. Saya yakin ia mungkin ragu atau sedang menyembunyikan sesuatu.
“Ya memang kadang kan cara orang ngramahi itu macam-macam caranya, Purnomo pastinya memiliki alasan mengapa ia cemburu.”
“Apakah lelaki itu menyukai Prastina?” Srinah tersedak saat pertanyaan ini saya ajukan hingga Ia terbatuk-batuk. Mungkinkah pertanyaan saya ada benarnya?
“Cobalah pikir, siapa yang tidak menyukai perempuan cantik?”
Kami terdiam lama. Benar. Itu benar. Tidak ada orang yang tidak suka melihat seseorang yang cantik atau tampan. Ini semacam fitrah dan sebuah kelogisan. Saya pun sama. Bahkan saya yakin kamu pun juga.
Saya terus memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan mengapa seorang lelaki bisa cemburu buta. Terlebih jika istrinya tidak menunjukan ketertarikan pada lelaki lain. Lagi pula perasaan suka tidak selalu masuk kategori cinta, ;kan? Atau mungkin memang watak dasar Purnomo adalah seorang yang bersifat keras dan pencemburu. Entahlah. Minimal pasti ada alasan atau pemicu seorang lelaki bersikap cemburu.
“Prastina, sejauh yang saya tahu, adalah gadis yang cantik dan ramah, tetapi entahlah, perjodohan itu membuatnya menjadi sosok pemarah saat di rumah.” papar Srinah setelah batuknya reda akibat tersedak.
Saya merenung. Menerka hal yang mungkin melandasi pendiriaan Prastina saat menolak perjodohan. Secara nilai diri, Purnomo memiliki bibit, bobot, dan bebet yang baik. Ayah Purnomo, Pak Sobri, adalah tetua desa. Bukan orang kaya, tetapi memiliki ilmu agama yang membuatnya wibawa dan kharismatik. Alasan itulah yang memantabkan orangtua Prastina menerima pinangan keluarga Purnomo, meskipun secara fisik keduanya tampak kurang serasi. Jika Prastina dan Purnomo sedang berdiri berjajar, pasangan ini—maaf—seperti Beauty and the Beast. Perawakan Purnomo hanya setinggi kuping Prastina, kulitnya tidak putih, wajahnya pun tidak tampan. Ini tentu menjadi kontras yang tegas antara keduanya.
Srinah kembali menyeruput teh untuk melegakan tenggorokan. Dari balik cangkir terlihat matanya memerah karena tersedak.
“Oh, Saya tahu! Mungkin alasan Purnomo cemburu buta adalah sikap Prastina yang selalu ramah ke semua orang, kecuali pada dirinya?”
Srinah kembali tersedak saat aliran teh tepat terayun oleh gerakan peristaltik pada kerongkongannya. (*)
Jember, 23 September 2021
Selanjutnya (Bagian 3)
Zulfaturroliya adalah lulusan Universitas Negeri Surabaya yang menghabiskan masa bermain dengan tekun. Ia suka mendesain busana dan sekarang menjadi pegiat fotografi. Ia meyakini bahwa karya terbaik adalah dengan cara menghargai hidup dan dalam kisahlah kematian memiliki nyawa. Sekarang, sampailah ia pada titik semangat: membekukan ide dan mementaskan usikan dalam bentuk tulisan.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda