Eutenika (Bagian 1)

Eutenika (Bagian 1)

Eutenika (Bagian 1)

Oleh : Zulfaturroliya

Seorang perempuan duduk di depan saya. Secangkir kopi dan secangkir teh ada di antara kami berdua. Ia datang dari kota yang jauh dengan membawa seikat rasa rindu. Perempuan itu hendak berkunjung ke rumah Prastina. Namun rumah yang ia tuju, pintunya sedang tertutup rapat. Kemudian saya menyilakan beliau mampir untuk memberi penghormatan pada tamu. Saya berencana menjamunya hingga Prastina pulang dan bertemu dengan kawan lamanya itu.

Perempuan di depan saya ini bernama Srinah. Ia mengaku sahabat Prastina. Kami berbasa-basi bertanya kabar, musim, atau pertanyaan apa pun yang biasa digunakan sebagai pemecah suasana saat berbincang. Melihat saya yang begitu antusias menyambutnya, ia pun mulai bercerita banyak hal tanpa saya pinta. Orang-orang memang sering kali seperti itu saat merasa akrab dalam waktu yang singkat.

Saya menyuguhkan dua cangkir sajian yang berbeda. Satu kopi, satu teh. Kopi untuk saya yang terbiasa mencecap pahit, dan teh untuk tamu itu. Tidak semua perempuan menyukai kopi, saya hanya cari aman. Uap panas yang menguar dari kedua cangkir itu terasa pekat. Terlebih karena udara malam itu memang sedikit penat. Maklum, mendung bergelayut di angkasa sebelum akhirnya titik-titik air yang mulai jatuh merasuki bumi dan menghantarkan angin yang segar. Hujan sempurna turun dengan lebat. Kami mengeraskan suara untuk mengimbangi berisiknya hujan yang berkelonjotan di atas genting dan dahan. Aroma tanah basah menghadirkan kerinduan dan kenangan.

Srinah kemudian mengangkat cangkir teh setelah saya persilahkan untuk kesekian kalinya, ia menuangnya perlahan ke atas lepek lalu meminumnya. Cangkir itu ia kembalikan ke atas meja sesaat setelah air teh itu sempurna menuju lambung. Hawa dingin pecah sesaat.

“Tidak ada rahasia antara saya dan Prastina,” ungkapnya.

Saya sempat melihat Srinah melemparkan pandangan ke langit, seolah-olah melihat bayangan masa lalunya berputar di angkasa.

“Kamu pernah mendengar cerita tentang masa muda keduanya?”

Saya mengangkat cangkir dan menyesapnya cepat. “Tidak detail,” jawab saya singkat sambil menghisap sisa kopi yang melekat.

“Oh ya?” Dia tertawa. Kemudian mulai menganyam kalimat demi kalimat untuk menguak kisah masa lalu.

Seusai hari ketika keluarga Prastina setuju terhadap rencana pernikahan, tidak ada masa bagi Purnomo tanpa usaha untuk  mengambil hati  Prastina. Bayangan kebahagiaan mungkin sering melintas begitu saja menggodanya untuk yakin, bahwa bisa menikahi Prastina adalah keberuntungan yang hakiki.

Purnomo terpacu untuk segera mendapatkan Prastina. Tak sabar rasanya untuk bisa tertawa bersama sang pujaan hati. Ia adalah orang yang ambisius, papar Srinah. Saat ia menginginkan sesuatu, ia akan fokus dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendapatkannya.

Setelah hari itu, tidak hari yang ia lewatkan tanpa berdoa. Impiannya adalah Prastina. Targetnya adalah Prastina. Muara hidupnya adalah Prastina.

Tiap kali ia berpapasan dengan Prastina wajahnya bersinar. Suatu kali Purnomo pernah bercerita dengan mata berbinar bahwa jantungnya selalu berdebar lebih kencang saat ia memikirkan hal-hal indah. Ia beranggapan pastilah hari-harinya akan begitu istimewa setelah menikah. Betapa ia akan merasa bahagia ketika berhasil menaklukan sang pujaan hati. Pemikiran ini memacunya untuk terus berusaha membuktikan besarnya cinta yang ia miliki. Bukankah menikah dengan gadis pujaan adalah hal yang menyenangkan?

Purnomo berusaha mendapatkan perhatian Prastina, Ia menunjukan sikap ketertarikannya. Sayangnya ia tidak pintar mengambil hati seorang perempuan. Semakin Purnomo berusaha menunjukan rasa sukanya, Prastina semakin merasa ilfil dibuatnya. Entah bagaimana caranya, semua pembuktian yang ia lakukan selalu salah dalam penilaian Prastina. Menurut saya, mungkin bukan sekedar cara pembuktiannya yang salah, tetapi titik poin yang ditekankan adalah, orang yang menyatakan cinta bukan orang yang dicinta. Jadi bagaimanapun keadaannya—semisal cara itu benar—tetap saja tampak salah. Kecenderungan adalah hal penting dan default setting dari pemikiran Prastina mungkin terlanjur terbentuk karenanya: apa yang dilakukan Purnomo adalah hal yang menyebalkan!

Cinta memang butuh teknik dan Purnomo tidak memahami caranya. Ia membombardir Prastina dengan perhatian. Namun, daya tangkap Prastina justru menganggap semua perhatian itu sebagai gangguan.

Purnomo tidak menyerah, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara agar bisa menikahi Prastina. Purnomo tidak sanggup membayangkan betapa ia—tentu saja—akan patah hati, jika tidak bisa menikah dengan perempuan impian.  Ia terus fokus mencapai target. Menikahi gadis pujaan hati, bunga desa, yang parasnya secantik bidadari.

Debaran-debaran di hati Purnomo seperti sirine yang selalu meraung-raung saat bertemu dengan Prastina. Ia yakin bahwa cintanya ini adalah cinta mati. Agar hidupnya tetap hidup, perjuangan adalah sebuah proses yang mutlak harus ia lakukan. Ia yakin kebahagiaan adalah muara dari itikad baik dari sebuah tujuan pernikahan.

Pada masa itu perjodohan memang salah satu jalan yang paling banyak ditempuh untuk membina rumah tangga. Cinta biasanya tumbuh seiring berjalannya waktu. Pernikahan adalah sebuah perhelatan yang berdasar pada musyawarah keluarga besar. Pada masa itu perempuan tidak sebebas hari ini, bisa memilih jodohnya sendiri, berani bersuara untuk menyatakan tidak, dan tanpa sungkan menyatakan iya.

Purnomo dan Prastina akhirnya menikah. Sebuah pencapaian yang sesuai dengan target. Inilah kenyataan yang menjadi impian. Pernikahannya dengan Prastina adalah sebuah hasil yang ia dapatkan dari usaha. Seberapa pun getirnya penghinaan yang dilakukan Prastina sebelum menikah, Purnomo tetap gigih untuk bisa mendapatkannya. Semakin gigih. Ia yakin suatu saat Prastina akan luluh karena ketulusan cintanya.

***

Suatu malam yang teduh, saat senyap baru saja menggeser keramaian pesta, kisah-kisah malam pertama yang begitu istimewa tidak ada dalam kamus pernikahan mereka. Prastina teguh. Ia yang memendam kebencian, enggan untuk bersikap manis. Malam pertama adalah peleburan ego, pelepasan batasan, dan monumen yang menandai sebuah hubungan. Namun Prastina, memilih mendekap kedua lututnya erat untuk membangun benteng yang tinggi bernama jarak. Ia mengisolasi diri dari momen bersejarah bagi setiap pasangan baru.

Prastina, dengan cara-caranya, berusaha menghindar dari malam-malam yang penuh berkah. Bagi sepasang insan yang menghalalkan dirinya demi menghindari dosa, menikah dan kawin adalah salah satu cara untuk menyelamatkan diri dari tajamnya fitnah setan. Manusia terlahir dengan fitrah, bahkan setiap yang bernyawa pun memiliki kebutuhan biologis. Purnomo menunggu Prastina hingga ia siap menjadi seorang istri yang santun dan menunaikan kewajibannya. Namun rupanya kesabaran diuji dengan melesetnya ekspektasi.

Pernikahan adalah perubahan alur hidup, gaya pandang, dan cara bersikap. Fase baru telah dimulai. Sebuah komitmen menjadi dasar pemikiran bagi dua kepribadian yang memutuskan memiliki satu tujuan, menikmati pola hidup berjalan beriringan. Sayangnya, setelah menikah sikap Prastina yang terus menolak dan membentengi diri, tak berubah. Ia masih sering mencela, membuat hati Purnomo sakit. Harga dirinya tercederai. Prastina yang cantik, tegas, dan malang, bersikukuh untuk menghindari suaminya, meski kata sah telah meluncur dari para saksi nikah.

“Pernikahan ini bukan kemauanku! Pesta sudah usai.” (*)

Jember, 23 September 2021

Selanjutnya (Bagian 2)

 

Zulfaturroliya adalah lulusan Universitas Negeri Surabaya yang menghabiskan masa bermain dengan tekun. Ia suka mendesain busana dan sekarang menjadi pegiat fotografi. Ia meyakini bahwa karya terbaik adalah dengan cara menghargai hidup dan dalam kisahlah kematian memiliki nyawa. Sekarang, sampailah ia pada titik semangat: membekukan ide dan mementaskan usikan dalam bentuk tulisan.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Sumber Foto

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply