Semesta di Pelipis dan Ubun-Ubun Manusia
Oleh : Zulfaturroliya
“Oh, jadi semesta itu ada di pelipis dan ubun-ubun manusia?” pekik sebuah suara nyaring yang terdengar seperti cuitan burung. Saya mengerjap, mencari sumber suara.
Sesosok lelaki tua berjenggot kuning sedang berbincang dengan burung-burung kecil yang hinggap pada ranting berwarna merah kebiruan.
Situasi yang aneh. Iya, ;kan?
Mereka terus berbincang serius, suara mereka memelan dan mengeras seperti dengung toa yang terembus angin. Saya menajamkan pendengaran agar tidak terlewat kata penting.
Oh, hai, apakah saya terlewat penasaran? Perbincangan aneh itu terasa menarik. Bukan, bukan! Sepertinya saya hanya kurang kerjaan.
Meski tidak bisa memahami situasi aneh tersebut, saya terus berjuang menangkap suara yang diantarkan oleh angin. Kepak-kepak sayap yang begitu berisik sempat mengaburkan apa yang saya dengar dengan sembunyi-sembunyi.
Mm, iya. Sejujurnya saya sedang menguping!
Burung-burung itu kemudian kembali bercuit bahwa manusia sebenarnya memiliki daya gravitasi. Oh, iyakah? Saya membelalakkan mata di tempat persembunyian.
Ngawur! Ngaco! Saya tentu tidak percaya.
Sejauh yang saya tahu, benda yang memiliki daya gravitasi adalah planet-planet seperti Bumi, matahari, dan bulan. Bukan angin, pepohonan, dan tentu saja bukan manusia. Pada protes tersebut saya bungkam rapat dalam mulut, dan kepala rasanya berputar-putar karena itu. Terasa seperti meliuk ke kanan dan ke kiri. Pusing. Sungguh. Pening.
Saat tidak sanggup lagi menahan kata-kata yang hendak berlompatan keluar dari mulut, akhirnya saya memuntahkannya. Protes itu menyembur hingga semburatnya mengenai burung-burung yang kemudian terbang menjauh saking takutnya.
Cuitan mereka terdengar panik. Mereka kemudian terbang dengan hiruk-pikuk. Kepak sayap buru-buru seperti pelakor yang terkena razia, terdengar begitu riuh.
Dunia saat itu terasa aneh bagi saya. Sesaat setelah tersadar, saya sepatutnya memunguti kata-kata yang tercecer menyemburat. Tanpa basa-basi dan memperkenalkan diri, saya langsung bertanya. Menuntaskan hasrat protes. Mulut saya mengepul.
“Apakah ini omong kosong besar? Maksud saya, benarkah manusia memiliki gravitasi?”
Senyap. Saya tidak sadar entah sejak kapan ranting yang berwarna merah kebiruan tadi berubah menjadi kuning cerah.
“Hei? Bisakah Anda menjawab? Bukankah gravitasi itu hanya terdapat pada benda-benda langit, tidak di pelipis bahkan ubun-ubun? Jangan memberikan informasi yang sesat. Ini sesat”
Usai saya mengucapkan hal tersebut, saya seketika merasa menyesal. Mengapa saya harus mengatakan hal-hal yang tidak perlu tersampaikan? Terlebih sebuah tudingan kepada orang asing yang—bahkan—tidak saya kenal.
Bukankah sejak awal saya memang tidak terlibat dalam perbincangan mereka, kecuali hanya dalam perkara menguping?
Lelaki tua bersinar, berjenggot kuning, bermata teduh dengan kornea putih langsat itu tersenyum, lalu lenyap begitu saja meninggalkan asap.
Saya mengomel!
Sungguh keji. Bayangkan saja, bagaimana jika saya kemudian meninggal pada saat itu juga, dan pertanyaan belum terjawab? Bukankah bisa-bisa saya menjadi arwah penasaran? Sungguh kasihan sekali, bukan? Ah, tanggung jawab siapa kalau sudah begini?
Sial, isi kepala masih saja penasaran!
Angin berkesiur menghantarkan dingin, terasa menggigil saat bertabrakan dengan keringat sebesar biji jagung menempel, menyebar rata seperti semprotan parfum setrika di tepian pelipis dan ujung ubun-ubun.
Saya sempat mendongak dan meraba-raba ujung kepala. Jangan-jangan memang benar ada semesta di atas kepala! Ah, untungnya tidak.
Saya duduk, mengatur napas, lalu memutuskan untuk menuntaskan rasa penasaran dengan mulai mencari apa yang dibutuhkan. Kemudian dengan cekatan menyisir buku-buku yang menurut praduga bisa menjawab rasa penasaran. Saya menyapu pandangan ke kiri dan ke kanan.
Ah, buku-buku itu ternyata hanya tertumpuk begitu saja dalam sebuah kardus, di pojok kamar. Selain memang nyaris tidak diperlukan, mereka saya tepikan karena memang … ya, keberadaannya mulai saya nomor sekiankan.
Bukankah lebih nikmat menguping?
“Pelajaran IPA tingkat SMP,” gumam saya sambil mengagumi sampul buku yang dianggit dengan warna hitam kebiruan seperti angkasa hampa udara.
Lembaran kertasnya terasa lembap dan beraroma debu. Saya memutuskan untuk menjemurnya dulu agar tidak membuat saya bersin. Belum lima menit buku itu saya ambil. Ah, tidak tahan! Saya tidak dapat menahan rasa penasaran seperti memenjarakan sesuatu dalam perut, saat diare hendak keluar. Saya segera membuka dengan cepat bundel kertas kumal itu. Iya, benar, yang terpinggirkan itu.
Nah, dapat!
“Newton berteori bahwa dua buah benda yang terpisah oleh jarak tertentu cenderung akan saling tarik-menarik, dan hal itu merupakan gaya alamiah. Gaya tarik terhadap benda-benda tersebut disebut sebagai gaya gravitasi.”
Oh, hai! Ternyata saya tidak bersin!
Ah, Saya terlampau takut dengan hal-hal yang belum tentu saja merupakan sebuah ancaman. Saya tertawa kecil kemudian melanjutkan membaca.
“Dua benda yang dimaksud yaitu Bumi dan benda yang jatuh menuju pusat Bumi. Karena memiliki massa yang sangat besar, Bumi menghasilkan gaya gravitasi yang sangat besar pula. Bumi memiliki kemampuan untuk menarik benda-benda yang ada di luar angkasa seperti bulan, meteor, dan benda angkasa lainnya, termasuk satelit buatan manusia.”
“Nah, kan!” Saya memekik histeris.
Ingin rasanya mengumpat pada burung aneh dan lelaki tua bersinar, berjenggot kuning, bermata teduh dengan kornea putih langsat, yang tidak mendengarkan argumen saya itu.
Tiba-tiba saya merasa mereka terlalu aneh untuk saya dengarkan.
Sudah saya bilang, kan, bahwa hanya benda langitlah yang memiliki gravitasi! Oh, maksudnya, Bumi sebagai benda langit.
Tunggu! Bumi sebagai benda langit?
Bukankah artinya saya pun artinya juga makhluk langit?
Saya manusia, menempel pada benda langit, apakah mungkin prosesnya sama seperti daya magnet yang menulari logam saat ia menempel?
Bukankah logam itu kemudian ikut-ikutan menjadi magnet meski dayanya tidak besar? Ada baiknya saya coba.
Saya kemudian melempar benda apa pun yang berada di dekat saya ke badan. Gelas, piring, mangkuk, periuk stainless steel, gagal. Benda-benda itu justru pecah. Terpental tidak menempel.
Saya terdiam, dengungan seperti teriakan orator memenuhi isi kepala. Saya harus mengeluarkannya demi keamanan dan kenyamanan warga asli di otak.
Oke, harus dicoba lagi karena bisa jadi cara kerja medan gravitasi dalam badan manusia memang tidak seperti itu.
Dapat! Saya dapat ide. Mungkin jika saya membentur-benturkan diri ke tembok atau menari-nari di atas pecahan kaca akan membuktikan bahwa manusia memang punya daya gravitasi. Iya kan?
Ah, tidak. Itu ide buruk.
Dapat! Saya dapat ide lagi. Ini pasti langkah pembenaran yang tepat.
Saya kemudian naik ke lantai dua. Memosisikan diri di tepian balkon. Ini pasti langkah yang benar. Jika orang-orang yang berada di bawah sana tersedot naik ke atas, ke arah saya, artinya manusia memang memiliki daya gravitasi. Saat berdiri lama dan menunggu sebuah reaksi, ternyata tidak terjadi apa-apa.
Apakah jaraknya kurang dekat? Saya tidak sebesar Bumi, tentu daya gravitasi saya tidak sebesar itu juga kan? Ah, lebih baik saja pangkas jarak itu dengan cara yang logis. Bagaimana caranya?
Oh, hai! Apakah saya harus lompat? Lompat. Iya! Sepertinya itu ide bagus.
Mungkin bisa saja aksi itu justru membuat saya tiba-tiba bisa terbang. Meliuk-liuk. Lalu benda-benda di bawah sana menempel pada diri saya seperti sobekan kertas kecil yang menempel pada sebilah penggaris yang telah digosok-gosok dan menjadi medan listrik? Oh, saya memang cerdas. Sungguh saya takjub dengan ubun-ubun saya yang jenius ini.
Di bawah sana pasangan muda-mudi dan tua-muda yang berlalu lalang. Lelaki berbaju hitam berpasangan dengan seorang perempuan berambut pirang dengan asap mengepul tipis bewarna pink. Dua laki lain bercelana pantalon sedang sibuk diskusi sepanjang jalan dengan langkah tegas bersepatu klimis. Lalu ibu-ibu tua lain berjalan bergerombol, beregu seperti rombongan anak itik yang riuh membahas suatu hal dengan tawa renyah sepanjang jalan. Mereka sangat kompak dengan pasangan ngobrolnya masing-masing. Lucu sekali mereka ini.
“Halo, diri saya. Ayo, fokus! Ada hal penting yang harus dibuktikan.”
Saya memulai berancang-ancang, menentukan titik fokus di mana presisi nanti saat saya akan mendarat. Seekor cicak jatuh mengejutkan tepat di depan saya, membuat kaki saya oleng. Untung saya bisa menyeimbangkan diri! Kalau nanti sampai jatuh bagaimana?
Oh? Jatuh?
Saya mengernyitkan dahi, tiba-tiba tersadar. Untuk apa juga mencari kebenaran sebuah ocehan burung aneh yang tidak logis itu?
Nanti kalau saya mati dan rasa penasaran saya belum terjawab, apa ya mungkin di alam barzah saya bisa melakukan percobaan semacam ini lagi, untuk sebuah pembuktian?
Saya tertawa sendiri, menjauh dari balkon, berjalan ke dapur, lalu menyeduh kopi. Mimpi sialan! (*)
Zulfaturroliya adalah lulusan Universitas Negeri Surabaya yang menghabiskan masa bermain dengan tekun. Ia suka mendesain busana dan sekarang menjadi pegiat fotografi. Ia meyakini bahwa karya terbaik adalah dengan cara menghargai hidup dan dalam kisahlah kematian memiliki nyawa. Sekarang, sampailah ia pada titik semangat: membekukan ide dan mementaskan usikan dalam bentuk tulisan.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata