Mukena Bordir
Oleh : Nai Yati
Mak Edah beberapa kali mengerjapkan kelopak mata keriputnya. Menatap helaian kain berenda-renda di ujungnya dengan motif bunga kecil dibordir di beberapa bagian kain. Sungguh mukena yang cantik.
Pikiran Mak Edah melayang ke kapstok yang menempel di dinding kamarnya. Di sana, tergantung mukena putihnya yang kini berwarna gading kusam. Lusuh. Dengan noda bintik-bintik hitam sebesar parutan kelapa yang sudah memenuhi bagian kepala mukenanya.
Entah sudah berapa lama, mukena hadiah dari seorang tetangga yang pulang berhaji itu menemaninya. Mak Edah sudah tak mampu mengingat.
Tangan gemetarnya meraih salah satu mukena yang tergeletak di atas tikar milik Saripah—tetangganya. Diusapnya pelan. Sungguh halus kainnya. Pastilah nyaman jika digunakan untuk salat.
Tuti, tukang kredit baju keliling, kini sedang berapi-api berpromosi betapa bagusnya kualitas mukena yang ia bawa itu. “Ini kualitas ekspor. Model terbaru. Yang banyak di cari di Tanah Abang itu, ya mukena ini. Lagi fenomenal di Jakarta.”
Ibu-ibu yang berkerumun di teras rumah Saripah pun mengangguk takjub.
“Berapa harganya ini, teh, Neng Tuti?” Mak Edah memberanikan diri untuk bertanya.
“Murah, Mak. Soalnya, kan, saya mah ambilnya langsung dari pengrajinnya. Cuma dua ratus rebu, Mak. Kalo sudah sampe Jakarta mah harganya enam ratus rebu,” terang Tuti semangat.
“Kalo kredit berapa? Sama ga?” tanya yang lain.
“Atuh beda, Ceu. Kalo kredit, mah, dua ratus tiga puluh. Ongkos capekna, atuh, tiap minggu keliling nagihin.” Tuti menjawab sambil tertawa.
“Ayo, Mak Edah, ada putih, abu, baby pink, kunyit busuk. Sok, tah, lucu-lucu warnanya.”
Mak Edah hanya tersenyum menanggapi Tuti. Bukannya tak mau. Tentu saja ia ingin mengganti mukena kumal di rumahnya itu. Namun, dua ratus ribu adalah harga yang sangat fantastis untuknya yang hanya seorang janda tua tanpa anak. Sehari-harinya hanya bertahan hidup dari hasil kebun kecil di samping rumahnya.
Namun, khayalan Mak Edah diam-diam membumbung. Sebentar lagi Ramadhan tiba, betapa nyamannya nanti jika tarawih memakai mukena itu. Adem, halus, cantik. Membuat ibadah tambah khusyuk.
Ketika yang lain tengah sibuk memilah dan memilih pakaian dan mukena yang sengaja disebar Tuti, Mak Edah beringsut mendekati wanita yang menyandang gelar janda kembang itu sambil berbisik, “Neng Tuti, kalo simpenin dulu satu yang warna putih, boleh? Siapa tau nanti Emak ada rezekinya. Mau ngumpulin dulu.”
“Oh, ya udah, Emak ambil saja mukenanya. Nanti gampang bayarnya, mah. Dicicil aja kalo Emak punya uang.” Tuti hendak mengambil mukena, tetapi langsung dicegah Mak Edah.
“Eh, jangan. Emak mah ga mau punya utang. Takut belum lunas keburu mati,” jawab Mak Edah.
“Astagfirullah si Emak, jangan dulu bahas mati atuh, Mak. Tuti kan belom nikah lagi.”
Mak Edah terkekeh, memamerkan giginya yang telah tanggal banyak.
“Tapi, Mak, Tuti ga bisa lama-lama nyimpeninnya. Soalnya, kan, Tuti juga modalnya kecil.”
Mak Edah mengangguk dan tersenyum seraya berucap terima kasih.
Malam ini Mak Edah kembali bermunajat. Memanjatkan doa-doa panjangnya. Di salah satu doanya kini ia meminta mukena cantik itu kepada Sang Khaliq. Bordiran bunga itu selalu menari-nari di pelupuk mata Mak Edah. Kain halusnya sungguh meninggalkan getar mendalam di kulit dan hatinya. Belum pernah sebelumnya ia menginginkan sesuatu semenggebu ini.
Selesai salat malam, perempuan yang mulai bungkuk itu naik ke ranjang besi yang selalu berderit keras setiap ia bergerak di atasnya.
Mak Edah membuka kaleng kecil bekas permen yang ia simpan di bawah kasur. Dikeluarkannya bungkusan plastik bening. Di dalamnya ada satu buah cincin emas yang dibungkus nota pembelian. Itulah satu-satunya barang berharga yang ada di dalam rumah semi permanen Mak Edah.
Terbayang kembali bordiran bunga-bunga yang menghiasi mukena impiannya. Mak Edah tersenyum. Didekapnya cincin pemberian almarhum suaminya itu. Besok pagi, ia berencana akan meminta tolong Saripah menjualkannya. Biarlah ia lepas harta satu-satunya itu. Toh, ia sudah tua, sudah tak cocok memakai perhiasan lagi.
Mak Edah masih memikirkan mukena itu hingga ia tertidur dan masuk ke dunia mimpi. Di sana, ia diberikan mukena yang sangat cantik. Kainnya halus, ringan, sejuk, terasa meluncur seperti air ketika menyentuh kulitnya. Ada bordiran bunga mawar di banyak bagian, yang ajaibnya bisa menguarkan wangi yang begitu semerbak. Mata Mak Edah terpejam, tapi mulutnya beberapa kali bergumam, “Allahu Akbar.”
Pagi-pagi, Mak Edah bertandang ke rumah Saripah. Didapatinya ibu muda beranak empat itu tengah menangis berpelukan dengan anak-anaknya di depan tungku perapian yang masih menyala.
“Kenapa, Ipah?”
“Emak sedih, karena meteran listrik dicabut. Dan Aa ga bisa ikut ujian karena sudah nunggak SPP empat bulan,” kata anak Saripah yang nomor dua.
“Kang Mahdi, boro-boro kirim uang. Kabar pun ga ada.” Saripah setengah histeris.
Mak Edah terenyuh. Suami Saripah memang sudah hampir setahun pergi merantau ke Kalimantan, dan selama itu pulalah Saripah pontang panting mencari nafkah untuk menghidupi keempat anaknya.
“Ipah.” Mak Edah duduk di dekat Saripah dengan sedikit limbung. Tubuh rentanya sudah mulai kaku jika digerakkan.
Diraihnya tangan Saripah. Kemudian diletakkannya bungkusan plastik berisi cincin miliknya dengan gemetar ke telapak tangan Saripah.
“Juallah ini. Ada se-gram. Murni 24 karat. Mungkin cukup buat bantu sedikit SPP anakmu. Jika ada sisa, belilah beras dan kebutuhan lain,” ujar Mak Edah. Matanya melihat ke bakul yang berisi singkong rebus di dekat mulut tungku.
“Ya Allah, Emak. Ini ….” Saripah tercekat. Air matanya kembali bercucuran.
Mak Edah mengangguk dan tersenyum getir, berusaha ikhlas. Lima nyawa di hadapannya lebih membutuhkan cincin ini dibanding dirinya.
Saripah melepaskan pelukan anak-anaknya, lalu menghambur memeluk Mak Edah. Beribu-ribu terima kasih dan doa ia ucapkan. Air matanya menggenang membasahi jilbab usang wanita tua itu.
Setelah situasi tenang, Mak Edah pun pulang. Mengambil air wudu dan mengenakan mukena lusuhnya. Ia tunaikan sholat Dhuha dengan kaki semakin gemetar. Tubuhnya terasa sakit di semua bagian.
Mak Edah sujud begitu lama. Air matanya terus luruh membanjiri sajadah tipisnya. Ia memohon ampun atas segala khilafnya.
Dalam hati, Mak Edah berbisik, ‘Rabbi, hamba ikhlas jika sepanjang hayat hanya bertemankan mukena ini. Semoga setiap noda yang melekat di mukena ini, menjadi saksi di hadapan-Mu kelak, bahwa hamba selalu taat kepada-Mu. Ampuni hamba yang sempat silau karena dunia. Terima kasih, Kau ingatkan hamba, sebelum hamba terlena dengan sesuatu yang belum tentu Kau ridai.’
Itulah sujud terakhir Mak Edah. Raganya tak mampu lagi bangkit untuk menyelesaikan salatnya. Ia kini kaku, ruhnya telah dijemput Izrail menyongsong ke kehidupan yang kekal. (*)
Bumi Allah, 5 Maret 2020
Editor : Nuke Soeprijono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata