Patah Hati

Patah Hati

Patah Hati

Oleh: Wulan Putri Kusumah

 

Ingin rasanya berteriak dan menangis. Sayangnya Putri hanya dapat diam menahan sesak yang mengikis rongga kosong di dalam batin. Sakit sekali, ibarat ditusuk benda tajam yang tumpul. Sayatannya terasa menusuk kalbu. Bagai luka basah yang ditetesi perasan air jeruk lemon. Pedih. Ya, rasanya seperti itu.

Jantung wanita berusia dua puluh lima tahun itu seolah dipaksa berolahraga. Sedari tadi, degupnya berdetak sangat kencang. Ada rasa campur aduk, perpaduan tidak percaya dan kecewa yang menghasilkan amarah tertahan. Rasa itu semakin kuat. Putri butuh suaminya, tetapi sudah hampir satu jam, Pram masih setia mendengarkan wejangan ibunya alias mertuanya. Padahal dari dulu, intensitas menelepon mereka sudah seperti pasien minum obat, tiga kali sehari. 

Putri berusaha mengendalikan emosi yang ingin diluapkan. Tetapi tidak ada daya untuk melakukan hal itu. Suaminya masih setia mendengarkan nasihat dari ibu mertuanya. Rasanya patah hati. Sambil menunggu suaminya yang masih mendengarkan nasihat dari ibu mertuanya, dia membuka memori dalam ponsel. Ditatapnya foto-foto bahagia sebelum menikah. Alam pikirannya melayang, kepingan memori muncul satu persatu bagai teka-teki gambar, menuntut untuk dirangkai menjadi satu kesatuan. 

Putri mengembuskan napas begitu berat. Dia sengaja melakukan hal tersebut, memberi kode pada suaminya, bahwa di dalam kendaraan itu bukan hanya ada dirinya seorang. Ada istri yang butuh diperhatikan. Setelah beberapa saat, tampaknya yang dilakukan Putri berhasil. Pram menyudahi pembicaraan dengan ibunya tidak lama setelah itu.

“Ibu titip salam, beliau tidak menyangka hasilnya. Kita tunggu bulan depan, semua prediksi bisa saja salah.”

Putri menatap suaminya. Pram membalas dengan senyuman kecut tanpa rasa bersalah. Dia berusaha menerka isi kepala suaminya. Tetapi tidak bisa, dia hanyalah seorang istri, bukan cenayang atau dukun, dia tidak memiliki kemampuan membaca pikiran seseorang.

“Lalu, jika hasilnya sama, bagaimana?”

“Jangan sembarangan bicara. Ucapan adalah doa,” tegas Pram. “Aku masih berharap bulan depan berubah.”

Putri kembali kesal, perubahan suasana hatinya sangat cepat. Begitulah jika wanita sedang mengandung. Tidak bisa mencari kambing hitam. Ini murni perbuatan estrogen dan progesterone. Kedua hormon itu akan memenuhi aliran darah sehingga ibu hamil lebih sensitif. Mudah sekali marah, bahkan terkadang menangis karena hal-hal kecil.

Tangisan Putri saat itu bukan karena masalah kecil yang tidak penting. Mungkin benar, pengaruh kedua hormon itu sangat berpengaruh terhadap dirinya. Tetapi ada masalah yang sangat krusial. Masalah yang menuntut penjelasan sedetail mungkin, menyangkut kehidupan sebuah nyawa yang tidak berdosa.

“Tolong jelaskan padaku, Mas. Apa maksud dari teriakan kamu di dalam ruang praktek tadi.”

Pram bergeming, kali ini giliran dia yang terkejut dengan ucapan Putri. Entah betulan terkejut atau pura-pura, sebagai istri dia tidak peduli. Putri hanya ingin mendengar jawaban langsung dari bibir suaminya, itu saja.

Pram mulai berdeham, membasahi tenggorokannya yang kering. “Jujur, aku tidak menyangka. Kami berharap anak itu laki-laki.”

Rasa sakit itu kembali muncul. Bagaimana jika anaknya perempuan, apakah suami dan mertuanya tidak akan menganggapnya? Putri mengelus perutnya yang membuncit, di dalam sana ada mahluk Tuhan yang sudah ditiupkan ruh. Suci dan tidak bersalah.

“Lantas?”

“Cukup, Putri. Tidak ada perdebatan lagi kali ini.”

“Aku punya hak untuk mendengar jawaban kamu, Mas. Bagaimana nasib anakku, jika dia seorang perempuan?”

“Dia juga anakku, Putri. Tetapi aku masih berharap seorang jagoan lahir dari rahim istriku.” 

Putri menggelengkan kepala, melihat betapa keras kepala suaminya. Setelah itu, keduanya pun sibuk dengan jalan pikiran masing-masing. Masih terngiang dengan jelas teriakan kecewa suaminya ketika dokter memberi tahu janin dalam kandungan Putri berjenis kelamin perempuan.

“Ah!”

Semua mata tertuju pada Pram. Dokter, perawat yang bertugas, dan tentu saja Putri. Terekam dengan jelas reaksi dokter kandungan yang terkejut mendengar calon bapak berteriak kecewa. Dia menatap Pram dengan datar.

“Ibu, harus selalu bahagia. Ingat, bahwa emosi seorang ibu akan mempengaruhi janin yang ada di dalam kandungan. Jangan terlalu banyak pikiran, dibawa santai saja.”

Putri tersenyum mendengarkan nasihat dari dokter. Setidaknya di ruangan putih itu ada yang memberi dukungan, yang tidak ia dapatkan dari suaminya. 

“Bapak, memiliki anak perempuan itu istimewa. Bersyukurlah.” Begitu pesan dokter. 

Pram tidak menanggapi. Dia pamit dengan senyum yang dipaksakan. Keluar ruangan tanpa mengucapkan terima kasih. Sebagai istri, tentu Putri malu dan kecewa. Sesampainya di dalam kendaraan, hal pertama yang Pram lakukan adalah menelepon ibunya, bukan berusaha menenangkan istrinya.

Samar terdengar rasa kecewa begitu anak emasnya menceritakan hasil kunjungan ke dokter kandungan. Ada apa dengan suami dan ibu mertuanya? Mengapa keduanya begitu kompak menginginkan seorang anak laki-laki? Dapat mengandung saja, dia sudah bersyukur. Masih banyak perempuan lain yang berharap ada di posisinya. 

Sesak itu semakin menumpuk. Putri hanya bisa menguatkan hati. Apa pun yang akan terjadi di kemudian hari, tidak ada yang bisa merendahkan anaknya. (*)

 

Bogor, 15 November 2021

Wulan Putri Kusumah. Seorang wanita penikmat hujan, senja dan aroma kopi.

 

Editor: Imas Hanifah N

Gambar: Pixabay

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply