Catherine
Oleh : Yaya Syam
Aku baru saja mengirimkan Email proposal tentang bahaya bullying pada seminar Psychological First Aid (PFA), untuk para korban bullying. Ketika sebuah Email masuk di inbox-ku, undangan reuni SMA.
Ingatanku kembali ke masa SMA sepuluh tahun yang lalu, seorang gadis berkucir dua, berkacamata tebal, dan menggenggam buku yang selalu berada dalam pelukannya, Catherine. Tak ada istilah memori terindah di masa SMA, semuanya hanya mimpi buruk bagi seorang Catherine. Setiap hari dia mendapat perlakuan yang menyedihkan, terutama dari geng beranggotakan empat cewek populer: Maya, Sintia, Diandra, dan Lidya sebagai ketuanya.
Aku dan Catherine sempat berteman baik, hanya saja saat itu hampir semua anak di sekolah membencinya, aku terlalu takut untuk membela, karena siapa pun yang menjadi teman Catherine akan mendapat perundungan yang sama.
Sebenarnya pihak sekolah dan guru-guru mengetahui hal yang terjadi pada Catherine. Akan tetapi, Lidya adalah anak ketua yayasan dan donatur utama di sekolah sehingga pihak sekolah terkesan menutupi dan membiarkan.
Hingga pada puncaknya pada hari itu, Catherine tidak pernah kembali bersekolah setelah libur musim dingin. Aku mendengar bahwa dia mengalami depresi yang hebat sehingga perlu pengobatan khusus. Sejak saat itu, aku tak pernah mendengar kabarnya lagi.
Aku tak pernah ingin mengikuti reuni sebelumnya, tetapi reuni kali ini aku ingin melihat seperti apa Catherine sekarang.
***
Aku baru saja memasuki gedung acara ketika ada lambaian dari meja nomor sembilan yang diisi oleh Lidya, Maya, Sinta, dan Diandra. Mereka duduk berurutan, di sebelah Diandra ada sosok gadis lain yang sedikit familier.
“Hai, Merlyn! Gabung di sini, yuk!” ajak Maya ramah. Aku tersenyum melihat ke arah yang lain. Sinta dan Diandra tersenyum simpul sedang Lidya cuek dan bermain dengan gawainya.
“Oh, Baiklah. Jika kalian tidak keberatan,” ujarku. Aku menatap wanita di samping Diandra yang mengangguk dan tersenyum manis.
“Apa aku mengenalmu?” tanyaku pada wanita itu.
Wanita itu tertawa, aku terpesona melihat gigi-giginya yang berderet rapi. “Benarkah? Begitu cepat kau melupakanku, Mey?” Aku tercenung mendengar sapaan ‘Mey’ darinya. Tak ada yang pernah memanggilku seperti itu kecuali dia ….
“Catherine? Cathy? Benarkah ini kamu, Cathy?” Aku nyaris bersorak ketika melihat wanita itu mengangguk. Aku memeluknya dengan hangat, aku benar-benar merindukan sahabatku ini.
“Wow … Kau-kau menjadi sangat … sangat cantik, Cathy!” pujiku tulus. Catherine dewasa menjelma menjadi wanita yang sangat cantik. Rambut merah yang bergelombang, bibir tipis yang seksi, hidung yang runcing dan tubuh yang tinggi langsing. Dia mengingatkanku pada sosok Julia Robert.
“Ya, Catherine, menjadi sangat cantik, ya, teman-teman. Toh, sekarang banyak operasi plastik yang murah,” cibir Lidya diikuti kekehan kecil dari tiga temannya.
Tanganku mengepal, “Jaga mulutmu, Lidya!” Tanganku bergerak ingin menamparnya, tetapi di tahan oleh tangan Catherine yang memegangiku erat.
Acara reuni akbar yang diadakan kali ini sukses besar. Tapi kali ini aku yang sial, ban mobilku dirusak seseorang.
“Ada masalah, Mey?” Suara seorang wanita mengejutkanku. Aku menoleh melihat Catherine bertanya dari atas mobilnya.
“Ya, seperti yang kamu lihat. Bannya bocor,” sungutku.
“Naiklah, aku akan mengantarmu pulang,” ajaknya. Aku kemudian naik ke mobil Catherine, ternyata di atas ada Lidya, Maya, Sinta dan Diandra.
Selang beberapa menit mobil berjalan, aku merasakan hal yang aneh, aku merasakan kantuk yang sangat hebat yang membuatku tertidur.
***
Teriakan dan jeritan melengking dari seorang wanita mengagetkanku. Aku tersadar dengan cepat, aku mengedarkan pandangan, mataku agak susah menyesuaikan suasana yang temaram. Rasa pegal menjalari tengkukku, aku mencoba bergerak ternyata aku terikat di sebuah kursi kayu.
“Halo, Mey. Sudah bangun rupanya?” Aku menoleh ke kanan melihat asal suara. Alangkah terkejutnya aku, di sebelah kananku berderet Lidya, Maya, Sinta dan Diandra. Diandra dan Sinta sama sekali tidak bergerak dengan darah yang mengucur dari luka menganga di atas kepala mereka.
“Cath … Cathy! Apa maksudnya ini?” Aku meronta berusaha mencoba melepaskan diri tetapi sia-sia.
Wanita yang kupanggil Cathy itu tertawa menyeramkan. Dia kemudian mendekatkan wajahnya padaku. “Sst … Mey, Sayang. Nikmati pertunjukan ini, aku selalu menyimpan bagian terbaik pada pertunjukkan terakhir. Jadi, diamlah!” bisiknya mengancam.
“Kau tahu, Mey? Mereka adalah orang-orang yang bejat dan busuk! Mulut-mulut mereka sangat jahat! Mereka pantasnya tak memiliki mulut jika hanya digunakan untuk mencaci dan mengejek orang lain!” Aku melihat Cathy merobek mulut Maya dari sisi kiri ke sisi kanan. Lolongan memilukan terdengar dari mulut Maya yang tersayat. Sedetik berikutnya dia diam untuk selamanya, mengikuti dua rekannya yang lain. Catherine berjalan ke kursi yang di tempati oleh Lidya yang semakin menangis ketakutan.
“Cathy! Jangan lakukan hal yang gila, Catherine!” teriakku berharap Catherine mengurungkan niatnya.
Dia tersenyum miring. “Seharusnya dulu, saat Lidya melakukan hal yang sama padanya, kamu juga berani melarang, Mey ….” Aku mencoba mencerna ucapan Catherine. Melakukan hal yang sama padanya? Siapa yang dia maksud? Aku belum sempat berpikir ketika terdengar ucapan Catherine. Aku belum sempat berkedip ketika sebuah kapak besar menancap di kepala Lidya yang membuatnya tewas seketika.
“Catherine … A-aku minta maaf tak bisa membelamu saat di sekolah dulu,” isakku.
“Mey, Sayang … Aku Christina, saudara kembar Catherine,” ujarnya tersenyum sendu, “Cathy … Cathy-ku yang manis dan cerdas telah mati sepuluh tahun yang lalu. Dia depresi dan memilih untuk gantung diri akibat ulah kalian!”
“Sehari sebelum dia ditemukan bunuh diri, dia dikurung di gudang belakang dan dilecehkan oleh seorang tunawisma yang dibayar oleh Lidya!” Mata Cristina menatap nyalang padaku. “Kau! Kau membiarkannya, Mey!”
“Aagh!” Cristina menancapkan belati ke paha kananku. Aku mengingat kejadian itu, aku melihat Catherine di bawah ke gedung kosong oleh Lidya beserta teman-temannya saat pulang sekolah. Waktu itu aku berniat melaporkannya. Tetapi, Lidya mengancamku.
“A-aku sangat menyesal, Cathy …,” isakku pilu.
“Sampaikan penyesalanmu pada Catthy-ku di sana, Mey!” Aku merasakan belati menusuk dada kiriku. Aku benar-benar menyesal tidak peduli pada penderitaan Catherine. Aku melihat kilasan balik semua kejadian-kejadian di masa lalu. Ah, Takdir selalu mempertemukan siapa saja yang berada di garis serupa. Mungkin pantasnya aku juga mati sepuluh tahun yang lalu bersamanya.
Aku hanya berharap tak ada Catherine lain yang mengalami hal yang serupa, sehingga menimbulkan dendam bagi orang terkasih. Aku juga berharap jangan ada Merlyn lain yang sepertiku, yang takut bersuara hingga kejadian seperti ini tak perlu terulang. Tiba-tiba aku merasa tubuhku menjadi sangat dingin lalu kegelapan melingkupiku.(*)
Parepare, 07.07.21
YaSyam, seorang pembaca yang mencoba menuliskan beberapa kata menjadi sebuah cerita yang bermanfaat bagi orang lain dalam hal kebaikan.
Editor : Rinanda Tesniana
Gambar : https://pin.it/6MzGRyt
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata