Empat Sekawan

Empat Sekawan

Empat Sekawan

Oleh : Sri Wahyuni

Mahira terus berlari, ia tidak menghiraukan lengan dan kakinya yang tergores ranting dan semak berduri. Ia sengaja menghindari jalan setapak, agar tidak mudah ditemukan. Tubuh letihnya memaksanya untuk istirahat sejenak. Ia menyembunyikan diri di balik rimbunnya semak belukar. Dari tempatnya sembunyi, ia bisa mendengar orang-orang yang mengejarnya mengumpat karena kehilangan jejaknya.

Orang-orang itu menjauh sambil menebas-nebas ranting dan semak yang menghalangi jalan mereka. Mahira terkekeh, ia lebih mengenal hutan ini daripada mereka. Hutan ini sudah seperti lapangan bermain buat Mahira dan teman-temannya. Mahira bangkit dari tempat persembunyiannya, ia meringis menyadari banyak goresan di lengan dan kakinya.

Mahira mengurungkan langkahnya, ia tertegun tatkala melihat seekor ular kobra sebesar lengannya mendesis menjulurkan lidahnya. Mahira diam mematung sampai ular kobra itu bergerak menjauh darinya. Ini bukan kali pertama Mahira berhadapan dengan penghuni hutan, kecuali singa. Selama ia bersikap tenang dan tidak mengganggu semuanya aman terkendali.

Mahira belum beranjak dari tempatnya berdiri meskipun ular kobra sudah merayap menjauh, ia ragu, harus pulang atau ke tempat persembunyiannya. Jika pulang ia khawatir gerombolan Darmono berjaga di perbatasan desa. Akhirnya ia memutuskan pergi ke tempat persembunyiannya, siapa tahu teman-temannya sudah di sana.

Sebuah gua kecil yang pintunya tertutup tumbuhan merambat, tidak akan ada yang menyangka bahwa ada gua di baliknya, karena tempatnya rimbun seperti belum tersentuh manusia. Mahira dan teman-temannya selalu hati-hati ketika mendekati gua itu, mereka selalu mengambil jalan yang berbeda jika sudah mendekati gua, agar tidak menimbulkan bekas injakan kaki.

Mahira dengan hati-hati menyibak sulur-sulur yang menutupi gua, rupanya teman-temannya sudah di dalam. Sandra, Dian, dan Dewa sudah ada di sana. Mereka terlihat serius mengamati kertas yang dibentangkan di tengah-tengah mereka.

“Lekas kemari, Mahira! Kenapa kamu lama sekali?”

“Aku tadi ketemu gerombolan Darmono, mereka mengejarku, untungnya aku berhasil kabur.”

“Ini peta apa?” Mahira menunjuk kertas di depan mereka.

“Ini peta yang kubilang kemarin, peta harta yang disembunyikan komplotan geng Kapak”

“Maksudmu ini peta yang dicari-cari gerombolannya Darmono?”

Ketiga temannya mengangguk, suasana menjadi semakin tegang. Ini artinya mereka akan menjadi sasaran gerombolan Darmono dan geng Kapak. Mereka harus secepatnya memberikan peta itu kepada pihak berwajib, agar harta hasil rampokan itu bisa dikembalikan kepada pemiliknya.

Awalnya mereka tak sengaja melihat perkelahian antara geng kapak dan gerombolan Darmono saat mereka pulang dari gua rahasia mereka. Perkelahian yang tidak seimbang, lima lawan sepuluh orang. Sepertinya geng Darmono sengaja mengintai saat geng Kapak menyembunyikan harta rampokan mereka. Gerombolan Darmono berusaha merampas peta harta dari geng Kapak, hingga peta itu terlempar kemudian jatuh di tempat anak-anak bersembunyi. Tanpa pikir panjang mereka mengambil peta itu dan pergi dari tempat itu diam-diam. Rupanya salah satu dari mereka melihat ketika anak-anak itu mengendap-endap menjauh.

Gerombolan Darmono sudah tidak asing lagi dengan Mahira, Sandra, Dian dan Dewa. Keempat anak yang tak kenal takut, suka mencampuri urusan mereka. Kadang-kadang suka mengendap-endap mencuri dengar saat mereka sedang kumpul-kumpul buat minum. Bocah-bocah itu kemudian akan membocorkan rencana gerombolan mereka, hingga kemudian mereka gagal merampok. Rupanya Mahira dan kawan-kawan sudah lebih dahulu memberitahu empunya rumah tentang rencana perampokan.

Kemarin lusa, kediaman juragan Danu di kampung sebelah kerampokan. Orang-orang mengira pasti ini ulah gerombolan Darmono atau geng Kapak. Tapi mereka enggan melapor ke polisi, karena sesiapa yang berani melapor ke polisi bisa dipastikan akan celaka. Lagipula, pandainya gerombolan perampok itu mengambil hati penduduk kampung, mereka suka berbagi hasil rampokan. Biasanya yang sering kena cipratan adalah orang-orang yang suka nongkrong di warung. Pada akhirnya orang-orang di desa membiarkan saja mereka berbuat kejahatan, selama tidak di desa mereka.

Namun, empat sekawan itu tidak tinggal diam, mereka melakukan apa yang mereka bisa untuk mengacaukan rencana para perampok.

“Ayo, kita bergegas, sebentar lagi mulai gelap, kita harus segera menyerahkan peta ini kepada polisi.”

“Mahira benar, aku juga takut orang tua kita khawatir.” Dewa menggulung peta lalu memasukkan ke dalam tas ransel yang ia bawa.

“Menurut kalian, apakah polisi akan mempercayai kita?” Sandra tampak ragu-ragu dengan ide teman-temannya.

“Lalu kita mengadu kepada siapa lagi? Bukankah tugas polisi memang memberantas kejahatan? Seharusnya tidak masalah siapapun yang melaporkan”

Mereka dengan hati-hati melangkah keluar dari tempat persembunyiannya. Matahari sudah condong ke barat, sementara mereka berjalan dalam diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Firasat Mahira tepat, ketika mereka keluar dari hutan, di perbatasan desa gerombolan Darmono berjaga-jaga.

Hari telah gelap sempurna ketika mereka berempat sampai di kantor polisi, seorang anggota polisi mencatat laporan mereka dan berjanji keesokan harinya akan menindak lanjuti laporan mereka. Setelah menyerahkan peta sebagai alat bukti, mereka pulang ke rumah masing-masing. Sepeninggal mereka dari kantor polisi, laporan dan bukti yang mereka berikan diambil oleh seorang polisi yang memperhatikan gerak-gerik keempat bocah itu semenjak mereka masuk. Rupanya polisi itu kaki tangan para penjahat.

Warga kampung geger, karena ada empat orang anak hilang, ada seseorang yang melihat anak-anak masuk ke dalam hutan. Mereka membawa kentongan, obor dan senter, bersiap berangkat ke dalam hutan.

Ketika mereka sampai di perkampungan, mereka disambut histeris oleh ibu-ibu mereka. Mereka dikelilingi warga yang meminta penjelasan dari mana saja mereka berempat. Sampai tengah malam, suasana kampung masih riuh, ada pro dan kontra menanggapi cerita anak-anak pemberani itu. Mereka berempat kelelahan dan kepayahan, langsung jatuh tertidur di kasur rumah mereka masing-masing.

Keesokan harinya, dan hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa, gerombolan Darmono masih kumpul minum-minum dan sering mentraktir warga kampung. Mahira dan ketiga kawannya dilarang pergi ke hutan lagi, mereka tidak diijinkan meskipun beralasan mencari kayu bakar.

Kasus perampokan masih terus terjadi, tidak pula terdengar kabar polisi menemukan harta yang disembunyikan geng Kapak. Laporan empat sekawan seolah tertiup angin.

Malam itu ada tamu yang datang ke rumah mencari ayahnya. Ayah Mahira adalah kepala kampung, orang yang paling disegani di sana. Mahira mengintip dari kamar, rupanya Darmono dan anak buahnya, mereka nampak membicarakan hal yang penting. Serius sekali. Tak berselang lama mereka berpamitan, Darmono menjabat tangan ayah Mahira erat.

Ayahnya mengantar mereka sampai teras, macam tamu penting. Yang tidak diketahui Mahira, selepas berjabat dengan Darmono ayah Mahira memasukkan sesuatu ke kantong bajunya, sebuah amplop berwarna coklat yang tampak tebal. (*)

Magetan, 15 November 2021

Sri Wahyuni. Hanya anak kelas biasa, yang belajar merangkai kata.

Editor : Nuke Soeprijono

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply