Larik Puisi Lorina dan Kepingan-Kepingan Memori Masa Lalunya

Larik Puisi Lorina dan Kepingan-Kepingan Memori Masa Lalunya

Larik Puisi Lorina dan Kepingan-Kepingan Memori Masa Lalunya

 

Oleh: RH Pantu 

 

Mati, mata, jatuh

Mama papa Sonna

Kopi jurang pagi

Bibi menangis, tidak benar

 

Empat larik puisi—entah apakah itu puisi—itu tersebar pada tembok, kertas, juga permukaan buku, dan majalah di kamar itu.

 

 ***

 

Malam hampir menelanku, saat aku tiba di gerbang rumah itu. Mobil angkot melewati dua rumah saat menurunkanku. Beruntung aku cepat mengenali rumah ini sehingga tidak terlalu jauh berjalan untuk kembali.

 

Rumah tua bergaya campuran Eropa itu tak banyak berubah sejak pertama kali aku berkunjung sepuluh atau belasan tahun lalu. Entahlah, aku kurang ingat. Namun, cat putih pucat yang membungkus kulit diding bangunan itu tak mungkin kulupa. Beserta pintu kayu jati dengan pengetuk pintu dari logam kuningan berbentuk kepala singa di tengahnya yang terlihat mencolok, seolah tak mengizinkan seorang pun masuk. Sangat ikonik.

 

Aku melangkah mendekati gerbang lalu masuk saat menyadari pintunya tak terkunci. Ingin sekali ransel berat ini kulepaskan dari punggungku. Tanaman hijau berjajar rapi di halaman. Tepat ketika kakiku akan menjejak undakan teras, mataku menangkap seorang gadis duduk di sudut teras sambil mengayun-ayunkan kakinya. Kepalanya menunduk. Tangannya sibuk menulis sesuatu di buku kecil.

 

Langkahku terhenti. “Assalamu alaikum! … Tante Lince ada?” tanyaku sambil memasang senyum terhangat.

 

Ia menoleh. Ekspresinya datar. Gadis itu menatapku beberapa saat lalu kembali menunduk, melanjutkan tulisannya.

 

“Halo … Tante ada?” Tangan kulambaikan, meminta responnya.

 

Gadis berkulit putih pucat itu masih bergeming. Ternyata kulit tak berpigmen itu senada dengan rambut kuning pucat yang tergerai hingga bahunya. Juga bulu matanya. Aku membayangkan ia serupa unicorn–kuda putih bertanduk satu yang melegenda. Albino istilah untuk kelainan kulit seperti itu—aku masih ingat kata guru biologiku.

 

Suara klakson mobil mengalihkan perhatianku. Aku membalikkan badan ke arah pintu gerbang.

 

“Barangmu ketinggalan, Dek!” kata sopir angkot yang mengantarku tadi sembari menyodorkan sebuah dos yang berisi beberapa buku bacaanku.

 

Bergegas aku menjemputnya. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih. Syukurlah, sopir angkot di sini masih banyak yang berhati jujur.

 

Tiba-tiba suara terdengar dari arah teras. Gadis itu menjerit sembari menunjuk mobil angkot yang seketika berlalu itu.

 

“Rina! … mama so bilang, ngana jangan kaluar!” Seorang wanita paruh baya keluar dari pintu.

 

Wanita bertubuh tambun itu tergesa-gesa menghampiri lalu menarik tangan gadis itu.

 

“Heh … siapa ngana?” Ia terkejut saat mendapatiku. Ia bergegas menyeret gadis itu ke dalam rumah kemudian kembali menghampiriku.

 

“Saya Rustam, anaknya Papa Hamim … masak tante Lince so lupa,” kataku dengan seulas senyum. Aku masih berdiri di depan teras. Tas ransel berat masih menggelayut di bahuku.

 

“Oh! So basar ngana Rustam … ayo masuk!” Aroma rokok tercium dari embusan napasnya saat mendekatiku.

 

Wanita berkulit putih ini saudara keempat papa. Namun, kata papa ia bukan saudara kandung. Aku sungguh tak paham dengan silsilah keluarga. Satu hal yang kutahu, ia tidak memiliki anak.

 

Aku duduk di sofa empuk setelah melepaskan ransel dan ‘lelah’ selama perjalanan tadi. Rintik hujan berubah menjadi deras terlihat dari kaca jendela. Gelap merayapi. 

 

Di depanku, Tante Lince mengisap rokok dan sesekali menyesap kopi hitam. Ia bercerita banyak tentang kebun kopi yang telah panen, menanyakan kabar orangtuaku, menyelisik kegiatanku. Sepertinya, cukup lama ia tidak menemukan seseorang yang bisa diajak bercerita, atau sekadar mendengar.

 

“Oh, iya … ngomong-ngomong, siapa perempuan di teras tadi, Tante?” tanyaku, memotong cerita. Kopi hitam yang kuteguk, perlahan menghangatkan perut.

 

Katanya, Lorina satu-satunya anggota keluarga keluarga Om Harun yang selamat dalam kecelakaan mobil lima tahun lalu. Om Harun adalah saudara papa yang tewas bersama istri, dan Sonna—adik Lorina–ketika mobil naas itu masuk jurang.

 

“Lorina koma selama dua bulan. Kata dokter, otaknya bermasalah setelah kecelakaan itu. Jumlah kata yang tersimpan di memorinya tinggal sedikit. Mungkin cuma sepuluh sampai lima belas kata … ‘kopi’ kata yang pertama keluar dari mulutnya waktu siuman. Emosinya juga tidak stabil … dia sering tiba-tiba menjerit kemudian ketawa tanpa sebab. Lorina tante pelihara sampai sekarang.” Tante Lince melanjutkan cerita sembari mengembuskan asap rokok ke wajahku.

 

Kami memutuskan beristirahat ketika malam semakin pekat.

 

***

 

Pukul dua dini hari. Aku terbangun oleh suara seperti jeritan dari kamar sebelah. Melengking, kemudian melemah berganti tangisan kecil. Gelombang tangisan naik-turun itu berulang ulang beberapa lama. Mataku terjaga. Aku tak bisa membunuh rasa penasaran. Benakku menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi dengan gadis itu. Selanjutnya, tangis pilu berganti tawa yang terdengar: lebih seperti lolongan.

 

Pintu kamar kubuka, kemudian menuju pintu kamar arah suara gadis aneh itu. Pada lubang kunci kamar itu, sebelah mataku menempel. Apa yang dia lakukan? Kedua tangannya seperti mencakar-cakar dinding. Ah, bukan. Ternyata dia sedang menulis sesuatu di dinding. Apa yang sedang ditulisnya?

 

“Dia memang begitu setiap malam … kau tidur saja, Rustam!” Suara Tante Lince mengagetkanku. Dia tiba-tiba berdiri di sampingku.

 

“Oh, maaf, Tante … saya terbangun dengan suara orang menangis,” kataku sembari kembali masuk kamar.

 

Ternyata aku baru menyadari dinding kamar ini juga telah dipenuhi tulisan-tulisan. Susunan kata-kata aneh.

 

Mati, mata, jatuh

Mama papa Sonna

Kopi jurang pagi

Bibi menangis, tidak benar

 

Empat larik puisi—entah apakah itu puisi—itu tersebar pada tembok, kertas, juga permukaan buku, dan majalah di kamar ini. Entah apa maksudnya. Mungkin hanya deretan kata yang tersisa dalam memori gadis malang itu. Namun, aku masih belum mengerti maksud kata-kata aneh itu.

 

Setelah sekitar satu jam mengutak-atik, akhirnya dua baris kalimat terangkai kembali.

 

Mama, papa, dan Sonna minum kopi pagi

 

Jatuh ke jurang. Bibi (tante Lince) tidak benar menangis

 

Mungkinkah ini petunjuk sebenarnya yang terjadi? Jangan-jangan kopi yang mereka minum jadi penyebab kecelakaan itu. Apakah Lorina mengetahui kejadian sebenarnya sebelum mereka masuk jurang?

 

***

 

“Tante sudah tahu tujuanmu ke mari, Rustam … ini sudah saya duga jauh hari.” Tante Lince memandangku dengan sinis setelah membaca surat dari papa yang kuberi.

 

Aku tak menunda untuk memberi surat itu pagi ini, walau kepala masih terasa pening. Isinya perihal meminta tanah warisan yang dikuasai Tante Lince.

 

“Jadi, sebenarnya Tante yang membunuh keluarga om Harun? … Biadab! Sebelum om sekeluarga berangkat ke kota, Tante menyuguhkan kopi yang telah diberi racun hingga mereka kehilangan kesadaran dan masuk jurang, benar, kan?” kataku sembari menunjuk wajah perempuan terkutuk itu.

 

Suara tangisan Lorina merambat dari kamar. Cuaca pagi ini telah hilang kesejukannya.

 

“Hidup memang keras, Nak. Tante tidak sanggup lagi hidup menumpang dalam kehidupan orang lain. Apa pun akan tante lakukan untuk mendapatkan keinginan Tante.” Perempuan kalap itu merobek kertas yang kuberikan lalu melemparnya ke wajahku.

 

“B b biadab!” Tiba-tiba lidahku terasa kelu.

 

Pandanganku kabur. Dalam dadaku, panas merambat hingga tenggorokan.

 

“Tidak kubiarkan seorang pun menghalangi, termasuk ngana, Rustam, anak Hamim … rupanya reaksi kopi itu agak lama … aku kira campuran itu cukup untuk menghabisimu dalam semalam … “ Suara tante terdengar samar, lalu hening.

 

Tubuhku meringkuk di atas lantai dingin. Dalam gelap, hanya denyut lemah jantungku yang terdengar. Pelan. Sangat pelan. (*)

 

Serambi Madinah,  2020-2021

 

Ridwan Hasan Pantu, Guru SMP, menulis cerpen, novel, puisi, dan resensi. Tulisannya banyak yang mangkrak. Hanya sedikit yang selesai. Beberapa dimuat di Harian Rakyat Sultra, Harian Go Post, dan media online, juga beberapa buku antologi. Buku solo satu-satunya berjudul Back to Makassar (2021). Penulis penyuka nanas ini bermukim di Gorontalo.

Sumber gambar: Pinterest

Leave a Reply