Suatu Hari, di Kolong Jembatan Layang Jalan Sudirman

Suatu Hari, di Kolong Jembatan Layang Jalan Sudirman

Suatu Hari, di Kolong Jembatan Layang Jalan Sudirman

Oleh: RHS

 

Langkahnya tertatih, sambil sesekali mengusap peluh yang mengalir deras di pelipisnya. Terkadang, dia berhenti, sedikit menepi, membungkuk, kemudian mengambil beberapa kantung plastik atau botol-botol bening untuk mengisi karung lusuh yang setia bertengger di punggungnya.

Badannya yang kurus, kadang tak mampu menahan beban di punggungnya. Walaupun itu hanya beberapa buah botol plastik, atau pun beberapa ikat kardus bekas. Terlihat dari napasnya yang tak teratur dan kadang terengah-engah. Namun demikian, senyuman senantiasa tersungging di bibir seorang kakek yang mungkin telah berusia renta.

Tangannya cukup keriput tatkala mengais-ngais sampah demi mendapatkan pundi-pundi rupiah. Sekadar untuk membeli secentong beras, atau terkadang jika beruntung mendapat tambahan sepotong tempe atau secuil ikan asin.

Di sampingnya, seekor kucing mengitari kaki lelaki itu. Si kucing mengeong, kadang mengendus-endus, tak jarang bermain dengan ekornya sendiri. Kadang, kucing itu diam sambil menatap sang kakek dengan bola mata gelapnya.

“Yang sabar ya, Ngger. Tunggu sebentar nanti kumasak nasi ikan asin kesukaanmu,” kata sang kakek. Tangannya masih semangat mengorek-orek rimbunan sampah.

Si kucing mengeong. Sepertinya hewan berkaki empat itu seolah memahami apa yang lelaki di depannya katakan. Kucing itu meneruskan kegiatannya, menggaruk-garuk badannya yang tampak gatal. Sambil sesekali kembali mengeong dan berputar-putar ketika mendapatkan mainan dari rerimbunan sampah.

Aku hanya bisa mengamati dari kejauhan. Menunggu si kakek menyelesaikan kegiatannya. Sebelum mengulurkan plastik berisi jajanan untuk camilan pengganjal perut. Kebetulan hari ini adalah hari Jumat, sudah sewajarnya kalau aku berbagi. Seperti yang kerap kulakukan seminggu satu kali. Di hari yang sama.

“Ini, Kek. Ada sedikit rezeki untuk Kakek,” kataku sambil menyerahkan dua kantong plastik.

“Alhamdulillah … terima kasih, Neng,” jawabnya. Tangannya gemetar saat menerima buah tangan dariku. Matanya berkaca-kaca. Kulihat ada kelegaan yang terlihat dari raut wajahnya. Mungkin dalam benaknya ada rasa syukur bahwa malam ini dia bisa makan.

“Kakek namanya siapa? Keluarganya di mana?” tanyaku.

“Nama kakek Roland. Kakek hanya tinggal sendirian di kota ini. Bersama kucing kecil itu. Istri kakek sudah meninggal tiga tahun silam. Sedangkan anak Kakek ….”

Kakek itu tak melanjutkan ceritanya. Tatapannya menerawang jauh. Aku pun berusaha menyelam ke dasar hatinya.

“Anak kakek pergi setelah menjual tanah beserta rumah yang kakek bangun dengan tetesan keringat. Meninggalkan kakek seorang diri di jalanan.” Air matanya menetes. Seakan-akan mengingat hal yang paling berat dalam hidupnya.

“Lalu sekarang, Kakek tinggal di mana?”

“Sama dengan para tunawisma yang lain. Gubuk kakek ada di bawah jembatan layang jalan Sudirman.”

Sang kakek pun pamit setelah beberapa saat. Meninggalkanku dengan banyak pertanyaan. Juga … banyak rasa ingin tahu.

Akhirnya kuputuskan untuk mengikuti Kakek Roland setelah memastikan jika waktu Maghrib masih agak lama.

Jauh di depan sana, dengan langkah pelan diiringi langkah kucing kecil berbulu hitam legam, kakek Roland pulang ke rumahnya. Dia memasuki sebuah rumah sederhana. Bukan … bukan sebuah rumah. Namun, menyerupai gubuk reyot. Dindingnya hanya terbuat dari karung bekas. Atapnya hanya berupa seng yang sudah berkarat di mana-mana. Sedangkan lantainya hanya berupa tumpukan kardus bekas.

Aku nelangsa, bagaimana bisa seorang anak membiarkan ayahnya yang sudah renta untuk tinggal di dalam bangunan yang bahkan tak bisa disebut gubuk. Di sisa usia senjanya, Kakek Roland masih harus memulung barang bekas untuk menghidupi dirinya sendiri. Bagaimana tega? Aku tak habis pikir. Di mana otak anaknya berada. Jangan-jangan dia memang tak menaruh otak di kepalanya, tapi menaruhnya di dengkul. Sehingga berbuat hal yang cukup kejam dan juga … hina.

Kembali dari gubuk kakek Roland, aku hanya bisa mengutuk tingkah anaknya yang menurutku tak patut.

Aku ingin membantu Kakek Roland, tetapi saat ini aku hanyalah seorang mahasiswa yang belum berpenghasilan tetap. Ingin membawanya ke panti jompo, jelas tidak mungkin. Ada banyak tunawisma yang hidup di sana. Akan menjadi masalah jika aku pilih kasih antara satu dan lainnya. Mau mencari anak kakek Roland dan menyeretnya untuk bersimpuh meminta maaf? Jelas bukan wewenangku untuk memaksanya.

Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah membantu semampuku dan mendoakan dengan sebaik-baiknya doa. (*)

 

Surabaya, 15 Nov 2021 (Revisi)

 

RHS, sang tukang makan yang mempunyai cita-cita kurus.

 

Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay

 

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply