Padi Pak Daman

  • Padi Pak Daman

Oleh: Elly ND

 

Kursi-kursi yang berjejer di depan ruang operasi, tampak terisi penuh oleh keluarga pasien yang sedang menunggu jalannya operasi. Sedikit sunyi. Tidak ada suara lain, selain mulut mereka yang berkomat-kamit, mungkin merapalkan doa demi kelancaran operasi keluarga atau kerabatnya.

Salah satu keluarga yang sedang menunggu operasi itu adalah keluarga Pak Daman. Bersama ketiga anaknya, beliau setia duduk di sana. Menanti sang istri yang sedang menjalani operasi pengangkatan rahim sebab ada tumor yang mengharuskan dokter mengambil tindakan tersebut. Raut cemas dan khawatir menghiasi wajah mereka

“Alhamdulillah, operasinya sudah selesai, Pak,” ucap anak laki-laki Pak Daman yang siang itu berkaos biru. Sebuah brankar dengan pasien yang  tertidur karena pengaruh obat bius, tampak didorong keluar dari ruang operasi.

“Iya itu. Ayo kita ikuti,” ajak Pak Daman, tangannya menggandeng putri bungsunya yang berumur sepuluh tahun.

“Iya, Pak.”

***

Hari itu, tiga minggu pasca operasi sang istri, Pak Daman memutuskan untuk pulang kembali ke desa. Beliau memikirkan keadaan rumah yang ditinggal hampir dua bulan lamanya. Sementara istri dan anak bungsunya akan menyusul kemudian.

Menjelang Magrib, Pak Daman tiba di rumah. Rumahnya hanya diterangi lampu lima watt dan lampu itu terletak tepat di tengah-tengah rumah, memberi kesan remang-remang di bagian yang lain.

Usai membersihkan diri, Pak Daman memutuskan untuk mendengarkan siaran radio sebelum kemudian tertidur.

Pagi hari sesudah salat Subuh di langgar dekat rumah, Pak Daman berniat untuk membersihkan rumah.

“Mbak Siti, nanti kalau gak sibuk, tolong bantu saya untuk bersihin rumah, ya,” ucap Pak Daman ke wanita yang tinggal di depan rumahnya.

“Oh, iya, Pak. Nanti agak siangan ya.”

Sekitar pukul sembilan pagi, Pak Daman dan beberapa tetangga yang kebetulan masih kerabat jauh, datang untuk membantu. Bahu membahu mereka membersihkan lantai rumah yang berdebu.

“Eh, sebentar, sebentar,” suara seorang wanita berdaster merah menghentikan gerakan Mbak Siti yang sedang menyapu.

“Ini jejak apa, ya?” tanya wanita itu. “Kok, kayanya tapak kaki, tapi kakinya kecil,” tunjuknya pada lantai kayu berwarna kehitaman.

“Eh, aku juga gak tahu, Bi. Itu bekas apa, ya,” jawab Mbak Siti dengan suara agak ragu.

Pak Daman yang mendengar percakapan itu segera bertanya apa yang terjadi. Wanita yang dipanggil bibi tadi memberitahu apa yang ia lihat.

Jejak kaki itu berwarna cokelat, seperti jejak orang yang baru saja menginjak tanah lempung. Dengan jari-jari mungil memanjang dari kamar depan dan berakhir di pintu dapur. Hal yang luput dari perhatian Pak Daman saat terbangun tadi.

Memperhatikan jejak itu, Pak Daman merasa ada yang tidak beres. Segera dihitungnya jumlah karung yang ada di kamar depan. Rumah Pak Daman memang tidak memiliki lumbung penyimpanan. Jadi sebagai tempat penyimpanan, digunakanlah kamar depan yang memang tidak terpakai. Dan benar saja, dua karung berisi padi yang disimpannya tidak ada.

“Nah, bisa jadi ada yang ngambil padi kamu itu, Man,” celetuk Bibi.

“Bisa jadi iya, Bi. Tapi siapa ya, Bi? Caranya dia masuk ke rumah gimana. Kan pintu rumah kukunci,” sahut Pak Daman.

Mbak Siti dan beberapa tetangga lainnya hanya diam mendengarkan.

Bibi yang merasa prihatin, berpamitan untuk pergi sebentar. Beralasan ada sesuatu yang akan diurusnya. Tidak sampai dua jam, bibi itu telah di rumah Pak Daman lagi. Sebotol air yang dibawanya, dikeluarkan sedikit ke telapak tangan. Air itu kemudian diciprat-cipratkan ke bekas jejak kaki yang telah disapu oleh Mbak Siti. Meski telah disapu, bentuk tapak kaki yang tipis masih terlihat.

“Aku tadi habis datangi ustadz untuk minta air ini. Katanya, dalam waktu beberapa hari bakal ketahuan siapa yang ngambil padi di rumah ini,” jelas Bibi.

Sejak itu berita tentang rumah Pak Daman yang baru saja kehilangan dua karung padi, menyebar ke tetangga sekitar. Beberapa laki-laki yang sedang berkumpul di warung kopi mengaitkan hal itu kemungkinan saja terjadi saat ada pemadaman listrik. Suasana rumah yang kosong dan gelap memudahkan seseorang untuk mencuri.

Desa tempat tinggal Pak Daman memang sudah memiliki aliran listrik. Akan tetapi, listrik di desa itu hanya menyala sekitar lima jam. Listrik dinyalakan sejak pukul lima sore dan akan dipadamkan pukul sebelas malam. Setelah itu, desa akan gelap gulita, hanya lampu minyak yang menjadi penerangan di rumah-rumah.

Beberapa hari kemudian, di sore yang basah karena hujan yang turun sejak pagi, Pak Daman kedatangan tamu yang tidak terduga.

Dia datang bertamu dengan menahan nyeri di perutnya. Kemudian perempuan yang tidak lain tetangga depan rumah Pak Daman itu mengakui kesalahannya. Ia mengaku terpaksa mencuri padi, sebab di rumahnya sudah tidak ada lagi simpanan bahan pokok. Sedang suami yang bekerja di kota sudah beberapa bulan tidak mengiriminya uang. (*)

 

P. Raya, 15 November 2021

Elly ND pemula yang baru belajar merangkai kata.

 

Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay

 

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply