Kehilangan

Kehilangan

Kehilangan

Oleh : Aslina

Suara keyboard terdengar sangat keras. Sanak saudara dan orang orang desa bergantian menari sambil memberikan ucapan belasungkawa dan penghiburan pada keluarga Bram. Ada juga beberapa kerabat yang terlihat terisak-isak, yang coba dihibur oleh sanak saudara lain. Ini bagian dari ritual adat pemakaman jenazah.

Acara adat ini sesungguhnya cukup sederhana, jauh dari permintaan Ayah yang baru saja dikubur tadi pagi. Ayah meminta jika kelak ia meninggal, ia ingin dibuatkan sebuah acara adat dengan iringan musik tradisional dan penyanyi penutur yang bersenandung seraya memberi petuah bagi anak-anak serta cucu-cucunya, seolah itulah petuah darinya. Tentu biayanya tidak murah, tapi buat menjalankan dan mempertahankan adat, semua ini harus dilakukan. Tapi karena Ayah meninggal begitu mendadak dan harus segera dikubur, maka cucu-cucunya tak sempat datang. Bahkan anak bungsu Ayah tak bisa hadir karena baru saja negatif dari COVID-19 dan masih isoman.

***

Bram melakukan ini semata ingin memenuhi apa yang diinginkan almarhum semasa hidup. Sepupu-sepupunyalah yang membuatnya berani mengambil keputusan untuk membuat acara  pandemi seperti ini, dan orang kampung menyambutnya gembira, sebagian besar dari mereka tak percaya akan keberadaan COVID-19.

Almarhum Ayah sendiri sering berpesan tidak boleh terlalu sedih bila nanti dia berpulang, karena Ayah sudah bahagia berumur 80 tahun; anak-anak Ayah cukup mapan; beberapa cucunya pun sudah lulus kuliah, bahkan cucunya sudah ada yang menikah dan memiliki anak. “Sudah lunas hutangku,” katanya.

Di desa ini Ayah termasuk warga yang terpandang. Dua anak laki lakinya terbilang sukses di ibukota. Bimo, anak laki-laki tertuanya, telah menjadi ilmuwan dengan gelar yang berderet. Sementara Bram, anak nomor tiganya, menjadi saudagar kaya. Dua anak perempuannya pun sudah lumayan hidupnya.

***

Di hari berpulangnya Ayah, sedari subuh Bimo dan Bram sudah terbang dari ibukota. Begitu mendapat kabar bahwa Ayah kritis dan dirawat di rumah sakit kota provinsi, langsung saja Bimo dan Bram melakukan tes PCR dan mencari tiket untuk pulang. Mereka pulang dari bandara yang berbeda.

Setibanya Bimo di rumah sakit, tak lama keluar hasil tes PCR Ayah, yang isinya Ayah terkonfirmasi positif COVID-19. Bimo langsung mengurus keperluan perpindahan ruang perawatan Ayah, namun belum sempat Ayah pindah ke ruang perawatan khusus, Ayah telah berpulang saat itu sudah sore hari. Sekali lagi Bimo mengurus segala keperluan jenazah Ayah untuk bisa dikubur esok hari. Bram pulang ke desa untuk mengurus perizinan penguburan Ayah di kebun keluarga, seperti pesan Ayah. Jarak desa ke kota provinsi hanya 30 menit perjalanan, sangat dekat meskipun beda kabupaten.

Penguburan Ayah dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat dan dihadiri kerabat dekat dengan tetap menjaga jarak.

Ada rasa sedih di hati keluarga atas kepergian Ayah dengan cara seperti ini. Entah dari mana datangnya virus sampai bisa bersarang dalam tubuh Ayah.

Penguburan sudah selesai dan Bimo baru saja sampai di masjid yang ada persis di depan kebun tempat kuburan Ayah dan Ibu, sudah ada beberapa kerabat duduk di pelataran masjid, Tiba-tiba suara keyboard berbunyi, tanda adanya acara pesta atau adat di balai desa.

“Acara apa itu?” tanya Bimo pada Bram. Bram terdiam tak menjawab.

Yusuf, sepupu mereka, yang menjawab, “Acara adat Ayah, Bang.”

Seketika mata Bimo merah menahan marah. “Bram …. kenapa kamu lakukan ini? Kita sudah bicara kemarin, ‘kan? Tidak ada acara adat di situasi seperti ini. Ayah terkena COVID-19, kita tidak boleh bikin acara yang menimbulkan kerumunan, tidakkah kamu sadari itu?” Suaranya parau menahan sedih, marah, dan kecewa.

Bimo tak menyangka Bram telah menyiapkan acara adat untuk jenazah Ayah dan mengundang ratusan kerabat, memesan dan membayar biaya catering dan keyboard lengkap dengan penyanyinya.

Bimo merasa tak didengar pendapatnya. Adiknya yang selama ini hormat padanya telah berani melakukan semua ini tanpa persetujuan nya sebagai anak laki-laki tertua. Bimo merasa tak lagi diperhitungkan, kondisi wabah dan Ayah positif COVID-19 pun tak menjadi pertimbangan Bram.

Mata Bimo berkaca-kaca, ada rasa sakit yang tak dapat dijelaskan. Beberapa orang kerabat mulai membujuk Bimo untuk mampir ke balai desa, mengikuti acara adat. Tapi Bimo  memutuskan langsung ke kota dan tak lagi mampir ke rumah apalagi ke balai desa. Beberapa sepupu nya yang sependapat dengan Bimo ikut pulang dan pergi meninggalkan desa. Bimo ikut bersama Bang Deni, sepupunya. Sepanjang perjalanan, Bang Deni dan istrinya mencoba menghibur Bimo. Mereka sedari kecil memang sangat dekat dan akrab.

Malam itu Bimo menginap  di rumah Bang Deni. Dia tidur dengan gelisah. Esok paginya dengan ditemani Bang Deni dan istrinya, Bimo kembali ke desa hanya untuk ziarah ke kuburan dan setelah itu langsung ke bandara, pulang ke Jakarta.

Sepanjang perjalanan, Bimo tak dapat menyembunyikan kesedihan nya.

Tiba di bandara Bimo, mengucapkan terima kasih pada Bang Deni. “Aku telah kehilangan Ayah dan respek dari adikku …,” gumamnya.

Bang Deni merangkul Bimo, dia paham betul arti kehilangan.

“Aku selalu mendukungmu, Dik,” katanya pelan. (*)

Jakarta 14 September 2021

Aslina, wanita paruh baya 2 anak, bekerja di bidang jasa.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Sumber Foto

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply