Istana Tanpa Cermin
Oleh: Ika Marutha
Berita bahwa nelayan Hans menjaring Narcissus menyebar secepat embusan tornado. Semua orang berbondong-bondong pergi menuju dermaga untuk memastikan kebenarannya. Narcissus, sang anak dewa yang luar biasa tampan dan terkutuk. Dia menghilang setelah jatuh ke dalam kolam karena terpesona memandangi wajahnya sendiri yang terpantul di atas permukaan air. Semua orang mengira Narcissus sudah mati, sampai ditemukan oleh Hans.
“Apa dia masih hidup?”
“Apa dia masih tampan?”
“Ayo kita lihat!”
Semua perempuan di kota, yang sudah akil balig dan yang belum, yang sudah menikah dan yang masih perawan tingting, yang janda, yang cantik dan yang sudah peyot, yang sehat dan yang memaksa sehat, yang waras dan setengah waras, berdesak-desakan sambil menjulurkan leher mereka panjang-panjang, berkerumun membentuk lingkaran dengan Narcissus yang terkapar tertutup jaring sebagai pusatnya.
“Benarkah dia Narcissus?”
“Dia tidak bergerak, coba kau pegang dia. Badannya dingin atau hangat? Ada napasnya tidak?”
Hans dibantu beberapa nelayan lain membebaskan tubuh Narcissus dari belitan jaring dan dari helai-helai rumput laut. Seketika tampaklah ketelanjangan raganya yang membuat orang-orang tanpa sadar menahan napas. Mereka tak pernah melihat makhluk lain seindah Narcissus.
“Oh, sungguh malang.”
“Dia benar Narcissus.”
“Kasihan, kasihan …. Hei, kalian jangan bengong di sana! Tutupilah jasadnya dengan sesuatu!”
“Tunggu!” Seorang perempuan mendadak datang membelah kerumunan. Dia adalah Penelope, si perawan tua kaya raya, pemilik sebagian besar kapal-kapal yang ada di dermaga, termasuk kapal yang dipakai Hans untuk melaut.
Orang-orang memberi jalan kepada Penelope sambil menundukkan kepala. Tidak ada yang tidak tahu bahwa Penelope paling tidak suka dipandangi. Jika Narcissus adalah nama lain untuk kerupawanan, maka Penelope sebaliknya. Wajah Penelope bagaikan gabungan dari seluruh keburukrupaan di dunia. Meski demikian, tidak ada yang berani berkomentar sedikit pun tentang itu, tidak secara terang-terangan, tidak sembunyi-sembunyi, tidak di dalam hati, sebab mereka takut akan kekuasaan Penelope. Lebih tepatnya lagi, mereka takut akan kekayaan Penelope. Penelope memiliki cukup banyak uang untuk membeli semua mimpi dan masa depan mereka.
Penelope mendekati Narcissus yang terbujur tanpa daya. Kedua mata Penelope membesar demi memandangi Narcissus. Dia menginginkan Narcissus untuk dirinya sendiri dan hanya dengan satu jentikan jari, para bawahannya paham sudah. Tandu pun diusung. Perlahan dan hati-hati mereka memindahkan tubuh Narcissus ke atas tandu untuk dibawa ke istana Penelope yang megah.
Narcissus secara tidak resmi menjadi milik Penelope diiringi keluh kesah para perempuan yang merasa rugi karena tidak sempat memandangi Narcissus lama-lama sebelum Penelope membawanya pulang. Sudah sewajarnya, si kaya pada akhirnya akan mendapatkan semua yang diinginkan.
Berita baiknya adalah Narcissus belum mati. Dadanya masih bergerak naik turun. Pipinya masih merona merah. Hanya matanya saja yang terpejam seperti orang tidur. Penelope merawatnya dengan penuh kasih. Dia memanggil semua dokter ahli ternama untuk memeriksa Narcissus, tak ketinggalan juga para dukun. Lalu di hari ke-97, Narcissus membuka mata.
“Beri aku cermin.” Suara Narcissus terdengar sangat merdu di telinga Penelope.
“Tidak ada cermin di istanaku, wahai Kekasih.” Penelope sudah memerintahkan untuk membuang semua cermin sejak dulu kala. Baginya cermin hanya bisa memuntahkan pengkhianatan.
“Aku tidak bisa hidup tanpa melihat bayangan wajahku,” kata Narcissus pilu.
“Biarkan aku menjadi wajahmu.” Penelope mengiba.
Narcissus sejenak hening. Dia memandangi Penelope kemudian terkesiap dengan wajahnya yang buruk.
“Tidak mungkin! Wajahmu menjadi wajahku? Oh, kau sungguh membutuhkan cermin untuk melihat kenyataannya.”
Penelope menunduk dan berkata dengan suara parau, “Aku akan mengubah wajahku untukmu.”
Itulah awal dari serangkaian prosedur operasi plastik paling fenomenal sekaligus paling menyakitkan di abad itu. Tulang-tulang wajah Penelope dipatah-patahkan untuk dipahat ulang agar mendapatkan kontur wajah mirip Narcissus. Daging tubuhnya diiris-iris dan dipindahkan untuk mengisi dan membentuk kelopak mata, hidung, bibir seperti milik Narcissus. Singkat kata, Penelope dihancurkan agar bisa diciptakan kembali.
Siang dan malam terasa bagai siksaan neraka oleh Penelope. Nyeri yang tak bisa diatasi oleh obat mana pun. “Narcissus, datanglah kepadaku! Hanya senyumanmu yang mampu membawa pergi semua sakit yang kurasakan,” serunya.
“Apa yang kau lakukan? Kau malah jadi jauh lebih buruk dari pertama aku melihatmu.” Narcissus mengernyit ngeri melihat wajah Penelope yang dililit perban.
“Sebentar lagi, kekasihku, sebentar lagi aku berubah. Aku kepompong yang tengah berjuang menumbuhkan sayap. Tunggulah, kekasihku. Aku akan sejelita kupu-kupu sama sepertimu.” Penelope merayu. Sesungguhnya dialah yang butuh rayuan karena dia pasiennya.Tetapi sudah jamak bagi orang yang mencintai untuk berusaha lebih keras daripada yang dicintai.
“Aduh, berhentilah menyakiti dirimu dan beri saja aku cermin. Wajahku, oh, wajahku, biarkan aku melihatnya sekali saja.” Narcissus meratap sambil memegangi wajahnya dan berlalu begitu saja.
[Ratu buruk rupa dalam istana tanpa cermin
Raungannya terdengar sampai pelosok negeri
Menggetarkan laut
Memecahkan tangis bayi-bayi
Tutup telinga kalian rapat-rapat
Buka mata kalian lebar-lebar
Tak perlu mendengar tetap terus melihat
Sesuatu yang indah akan muncul dari keburukan
Perhatikan baik-baik
Sang ratu berganti wajah]
“Penelope sekarang bangkrut,” ujar seorang laki-laki bergigi kuning ketika kumpul-kumpul bersama kawanannya sambil menikmati makan siang dengan sambal terong dan secuil ikan asin di sebuah warung nasi sederhana.
“Ya, tepat seperti itulah yang kudengar saat aku hendak menyetorkan uang sewa kapal yang ternyata sudah bukan lagi milik Penelope,” timpal salah satu temannya.
“Ckckck, berani sekali kalian bergunjing tentang Penelope? Sudah lupakah kalian, bahwa hanya dengan satu jentikan jari saja, Penelope pun bisa membuat kalian bangkrut?” Seseorang bermata juling menyahut.
“Alah! Justru karena sekarang perempuan itu sudah tidak lagi berkuasa, makanya bisa kita bicara sebebas ini tentangnya. Dia sudah bukan lagi Penelope yang dulu. Dia sekarang bangkrut, krut, krut, krut!”
“Serius kau? Bukannya dia sekarang jadi cantik?”
“Nah, nah, nah, dengar sendiri dirimu bicara! Barusan kau tegur kami semua untuk tidak bergunjing, sekarang malah ganti kau yang semangat sekali. Iya, betul, memang Penelope sekarang sudah jadi cantik. Body-nya … wuih! Gitar Spanyol!”
“Kalau Penelope sudah cantik memangnya mau kau apakan? Mau kau nikahi?”
“Apa? Menikahi perawan tua itu? Kalau dulu dia masih kaya raya, sih, aku mau. Tapi, sekarang?”
“Lagakmu! Dia habis-habisan begitu itu, ya, karena Narcissus. Sudah seperti orang kena pelet. Semua dia berikan kepada Narcissus.”
Si gigi kuning mendadak memelankan suaranya dan seringai yang sedari tadi menghiasi wajahnya berubah menjadi gurat-gurat keseriusan. “Kalian ingat yang terjadi pada Echo? Yang tersisa darinya hanya suara setelah mencintai Narcissus sedemikian rupa.”
Suara denting piring beradu sendok yang melatar belakangi percakapan mereka tiba-tiba berubah senyap. Orang-orang menghela napas panjang, menggeleng-geleng prihatin. Siapa pun yang mencintai Narcissus akan terkena tulahnya, termasuk Penelope.
Selagi orang-orang bergosip, tak jauh dari sana, masih di kota yang sama, Penelope yang sudah menjadi cantik tetapi miskin mendatangi Narcissus. Laki-laki tampan itu telah menemukan kolamnya sendiri, tempat dia bisa leluasa memandangi bayangan wajahnya tanpa terganggu siapa pun. Sejak orang-orang tahu apa yang terjadi kepada Penelope, mereka enggan mendekati Narcissus.
“Dunia orang tampan terlalu sulit untuk kita pahami. Enak dipandang, tapi sebenarnya penuh penderitaan. Sudah-sudah, tak ada yang bisa kita lakukan. Sudah takdirnya terikat dengan bayangan dirinya sendiri,” ujar walikota kepada warganya saat mereka membahas keberadaan Narcissus di balai kota.
Penelope sendiri, sudah terlanjur cinta, habis-habisan. Tidak ada lagi yang dimilikinya selain wajah baru dan perasaan cintanya yang meluap-luap kepada Narcissus. Penelope pun merangkak ke dekat kaki Narcissus yang teguh melongok kolam. “Kekasihku, pandangi aku. Sekarang wajahku serupa denganmu. Tidakkah kau lihat ada dirimu pada diriku?”
Narcissus berpaling. Mata sayunya menelusuri setiap jengkal wajah baru Penelope. “Aku melihat diriku ada di mana-mana, di setiap mata para gadis, di dalam kepala mereka, di setiap angan dan doa. Yang kalian puja bukan diriku, tetapi keindahanku. Tidak, tidak ada diriku padamu. Sedikit pun tidak.” Narcissus kemudian kembali memandangi kolam dan tersenyum. “Sudahkah kau lihat bagaimana kolam mengembalikan bayangan wajahmu? Yang kau lihat tidak nyata. Cinta sejatimu ada di balik setiap cermin, ada di dalam setiap kolam.” Setelah berkata demikian, Narcissus menceburkan diri masuk ke dalam kolam.
Penelope menjerit. Dia terlambat mencegah Narcissus. “Kekasihku, apa yang harus kulakukan tanpamu?” Penelope menangis tersedu-sedu di pinggir kolam. Setelah sekian lama kemudian, air matanya kering dan barulah dia menyadari ada sesuatu di permukaan kolam yang sedang menatapnya balik: wajah Narcissus.
Banten, Juli 2021
Ika Marutha kelahiran tahun 1982, lulusan Fakultas Kedokteran UNS angkatan 2000 yang lebih memilih untuk menekuni dunia literasi. Beberapa cerpennya sudah dicetak di berbagai antologi bersama penulis-penulis lain.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata