Kita dan Kepalsuan yang Dipertahankan

Kita dan Kepalsuan yang Dipertahankan

Writer’s block adalah keadaan di mana seorang penulis tidak dapat menuangkan segala idenya ke dalam tulisan. Setidaknya itulah yang aku baca di beberapa artikel.

Entah bagaimana aku menanggapi ini. Jujur saja, dalam keadaan tertentu aku sering merasa di mana menulis terasa begitu sulit, lantas membuatku lebih memilih untuk bersibuk ria dengan kegiatan lain atau mungkin merangkai mimpi. Berbaring di kasurku yang nyaman.

Seseorang pernah bertanya padaku bagaimana caranya menulis dalam keadaan demikian—writer’s block. Untuk ukuran orang yang malas sepertiku bisa saja aku memberikan saran agar dia tidak usah menulis. Itu akan sulit dan bertambah sulit saat kita memaksakan diri. Tapi nyatanya tidak demikian, karena seseorang lain pernah mengatakan untuk menulis setiap hari; agar kemampuan menulis bisa terasah dengan sendirinya—seberapa pun hasil yang didapat. Setidaknya ia berkata bahwa aku bisa menulis apa saja.

Tapi saat ini aku sedang tidak ingin menulis, karena apa? Yup, ini karena ulah si writer’s block. Lucunya itu menjadi alasan paling kuat bagiku untuk tetap menulis, mengingat rasa malas hanya akan membuatku berhenti menulis lebih lama lagi.

“Dalam hidup, terkadang sesuatu harus melalui proses pemaksaan agar kita terbiasa,” kata-kata yang menyebalkan, tapi masuk akal. Dan karenanya aku memilih untuk menulis.

Tidak! Aku hanya akan sedikit bercerita.

Saat itu, di mana kepura-puraan terasa sangat melelahkan, aku berpikir untuk lari dari banyaknya tugas yang menumpuk. Menikmati waktu hanya tentang “aku dan malas”. Sampai seseorang datang, merebahkan kepalanya di bahuku.

“Ah, bersandar seperti ini rasanya menyenangkan,” ucapnya.

Aku tersenyum simpul, membiarkannya dengan segala gundah yang—sebenarnya terlihat jelas—bersarang di pikiran kolotnya itu.

“Biarkan saja mereka mencariku. Aku sedang tak ingin berurusan dengan puisi,” katanya sambil menatap langit.

Aku tertawa kecil. Memerhatikannya yang tengah sibuk menghitung bintang. Berpura-pura untuk—tetap—terlihat tenang. Aneh memang, untuknya yang begitu menyukai puisi, ia memilih lari dan bersembunyi—dari puisi. Lantas bersantai-santai hanya dengan menatap angkasa raya.

Dan kalau boleh jujur, aku sudah menangkap makna lain dari setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hanya saja aku lebih suka untuk diam, bersikap tak mengerti apa pun. Lagi pula nanti jika dia ingin, maka dia akan bercerita. Lantas untuk kemudian dia mulai berbicara satu-dua patah kata yang tak aku mengerti, membuat sebuah garis besar. Jenuh.

Iya, dia—termasuk juga aku—jenuh pada sebuah rutinitas yang—terkadang—memaksa kami untuk berada di dalamnya, setiap hari. Bersikap bodoh di depan banyak orang dengan berpura-pura menjadi orang lain. Aneh? tentu saja! Toh, buat apa seseorang berakting di depan orang lain? Apa mereka akan memberikan tepuk tangan padamu? Atau mungkin memberikan penghargaan?

Tidak!

Kau tahu kalau berpura-pura itu tidaklah menyenangkan. Itu terasa sangat berat. Aku tidak suka, dan aku ingin berhenti menjadi bodoh. Setidaknya begitulah yang sering kukatakan. Lantas aku tak paham saat semua orang terus hidup dalam kepalsuan, mengubur diri mereka dalam-dalam? Berlomba untuk menunjukkan sisi lain dari diri mereka.

Dan besok lusa, orang-orang masih berada dalam kepalsuannya. Katanya, mereka hanya beradaptasi, menyesuaikan diri di setiap ruang lingkup yang berbeda. Ah, aku tahu rasanya menjadi seperti ini. Aku sering melakukannya, dulu. Dan itu membosankan.

Bisa saja kau berubah menjadi lebih baik setelahnya—berpura-pura untuk menjadi orang baik. Tapi bagaimana jika kepura-puraan tersebut hanya akan membuatmu tertekan, merasa tidak nyaman; frustrasi, kalut, memberi tekanan pada diri sendiri.

Hai! Itu sudah tidak sehat lagi namanya.

Hentikan, atau kau akan terluka!

Apa itu terdengar seperti sebuah ancaman?

Tidak. Aku tidak sedang mengancam. Aku hanya sekedar memberikan masukan. Apa salahnya itu?

Kita bisa saja menyesuaikan diri dengan orang lain, belajar untuk mengerti, pun begitu bersikap—agar—tidak egois. Tapi apa hanya kita yang perlu melakukannya? Apa kita mau terus menerus hidup dalam aturan; yang dikendalikan orang lain?

Ayolah, orang lain juga perlu belajar. Mereka perlu mengerti dan menyesuaikan diri atas kita. Bukankah lebih menyenangkan saat orang lain mengenalmu dengan apa adanya dirimu? Jika kau terus berpura-pura, maka siapa yang mereka lihat saat sedang bersamamu?

Berhentilah menipu diri sendiri agar terlihat baik di depan semua orang. Bukankah kau sering membaca sebuah tulisan; Jangan menjelaskan tentang dirimu pada siapa pun. Karena orang-orang yang menyukaimu tidak membutuhkan itu, dan orang yang membencimu tidak percaya itu. (Ali bin Abi Thalib).

Berhentilah berpura-pura dan bersikap bodoh. Mungkin benar kalau manusia akan mengerti hidup ketika mereka bisa jujur dan menipu diri mereka di saat yang bersamaan. Hidup memang selalu begitu, butuh keseimbangan. Tapi bagaimana jika kita hanya hidup dengan menjalankan atau menerapkan salah satunya saja?

Hidup itu sederhana. Semua orang punya hak untuk berekspresi, pun melakukan banyak hal—selagi masih dalam batas yang wajar. Tidak ada yang dapat melarang kita untuk melakukan semua itu. Pun kita juga tidak bisa melarang siapa pun untuk menjadi diri mereka sendiri.

Jika kau bersedih, maka menangislah!

Jika kau bahagia, maka tertawalah!

Jika kau kesal, maka marahlah!

Jika kau ingin bersikap gila, maka gilalah. Upst … maksudku bersikap gilalah! Hehe….

Dan nanti, saat sesuatu dirasa begitu berat dan menyesakkan, jangan memaksakan diri untuk berada di dalamnya. Pergi dan carilah hal-hal yang kau sukai. Lakukan banyak hal yang membuatmu—mampu—menemukan jati diri. Karena hidup bukan hanya tentang bagaimana kau menjadi berguna untuk orang lain, tapi juga untuk dirimu sendiri. (*)

20 Februari 2018

Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan

Leave a Reply