Mimpi Hanim
Oleh: Ummu Ayyubi
Dengan gugup Hanim menatap seraut wajah tampan yang mendekatinya. Ia tidak bisa bergerak, sepasang lengan kukuh itu menguncinya pada dinding kelas. Tatapan matanya sangat lembut, sehingga dada gadis jelang tujuh belas tahun itu berdentum.
“Riki … jangan, tolong,” bisik Hanim lemah, kedua tangannya terkepal di samping tubuhnya. Hanim tak mengerti mengapa ia tak mampu bergerak, kemudian lari dari tempat itu. Atau, paling tidak ia berteriak meminta tolong. Namun, ia begitu tak bertenaga.
“Tenanglah, aku tak akan menyakitimu,” balas cowok atletis itu lembut.
Hanim gemetar. Ia berpaling mencoba menjauh saat hidung bangir Riki tinggal beberapa senti dari wajahnya. Napas cowok itu menyapu pipinya.
Ya Allah, tolong! jeritnya dalam hati.
“Hanim .., hei! Hanim, bangun!
Hanim merasa tubuhnya diguncang keras. Saat membuka mata, ia mendapati kakak satu-satunya tengah memandangnya khawatir. Ia mengusap wajahnya dan beristigfar.
“Mimpi buruk?” tanya Salsa sang kakak.
Hanim mengangguk, keringat dingin membasahi kening dan lehernya. Itu sudah yang ketiga kalinya, dia mimpi hal yang sama.
“Dikejar genderuwo, atau kolor ijo?” Salsa duduk di tepi tempat tidur, memasang wajah ingin tahu. “Karena yang pasti bukan dikejar Jungkook,” tambahnya dengan wajah yakin.
Sebuah guling melayang ke arah Salsa, tetapi ia mampu berkelit dan berlari keluar. Hanim tersenyum mendengarnya ucapan sang kakak tadi. Ia membandingkan Riki dengan genderuwo yang ada di film horor, sungguh lucu. Namun, bila dibandingkan dengan Jungkook, dia lebih memilih ….
Wajah Hanim memerah saat menyadari jawabannya. Seraut wajah teduh membayang di pelupuk matanya.
“Makanya, kalau mau ashar jangan tidur. Jadinya mimpi buruk, ‘kan? Didatangi setan, deh.” Kakaknya mulai mengomel, wajahnya menyembul di daun pintu yang terbuka. “Cepetan, ambil wudhu terus sholat. Mandinya nanti saja, keburu waktunya habis. Sudah tau, ‘kan, tanduk setannya bentar lagi mau nongol. Trus kamu mau–”
“Iyaa,” potong Hanim setengah berteriak, lalu bergegas ke kamar mandi dengan bibir mengerucut.
***
Hanim mengetuk meja kantin berulang-ulang, suara tak-tok-nya membuat Naya dan Dinda, sahabatnya, mengernyit.
Di lapangan basket yang terletak dua puluh meter dari kantin, terdengar riuh suara anak-anak yang memberikan dukungan pada tim tuan rumah. Hari ini tidak ada pelajaran, karena ada tim tamu yang bertanding dengan tim basket sekolah dan mereka diharapkan untuk mendukung. Akan tetapi, Hanim tak tertarik jadi penonton, ia ingin menceritakan mimpinya semalamke pada dua sahabatnya. Ia tahu, Naya sebal dengan kelakuannya yang telah menyeret gadis berparas mungil itu dari kerumunan penonton.
“Niim, ngapain, sih. Aku mau nonton basket. Lagi seru, tuh,” protes Naya.
Hanim tak menggubris, tangannya mencekal Naya, membuat gadis berkerudung itu berjalan tersaruk-saruk. Sementara Dinda si tomboi mengekor.
Mimpi tadi malam masih mengganggu pikiran Hanim. Bagaimana bisa ia memimpikan Riki? Riki bukanlah teman sekelasnya, meski cowok itu termasuk salah satu yang populer di sekolah itu, SMA Permata. Ia memang atlet basket yang tampan, idola cewek-cewek. Namun, Hanim lebih mengagumi Noval yang juara satu olimpiade Matematika atau ketua kerohanian Islam Osis yang berwajah teduh, Azhar. Oh, tentu saja otak yang encer lebih menyenangkan untuk diperhatikan daripada wajah yang tampan, bukan? Jadi, dari mana asal mimpi itu?
Hanim menggelengkan kepalanya. Ia dan Riki tak pernah sekali pun saling sapa, apalagi bicara. Hanim mengembuskan napas hingga pipinya menggelembung. Lalu, sebuah tendangan di kaki, membuat Hanim tersadar.
“Apaan sih, dari tadi bibirmu mencong-mencong gak jelas,” sungut Naya. “Katanya mau curhat.”
“Makan dulu mi pangsitnya, nanti aku cerita.” Hanim menuding tiga mangkuk putih yang baru diletakkan Dinda. Si tomboi itu selalu sigap bila berkaitan dengan makanan.
“Trims, Din.” Hanim mengeser semangkuk lebih dekat.
“It’s okay, yang penting kamu nanti yang bayar.” Gadis dengan rambut pendek itu menyahut santai.
Hanim meringis. ” Deal.” Sambil makan, ia pun menceritakan mimpinya.
“Kamu naksir banget, ya, Nim? Sampai terbawa mimpi.” Naya menatapnya kasihan, saat Hanim menyelesaikan ceritanya.
Hanim mendelik. “Enak saja! Aku, sih, lebih suka sama–” Ia memelankan suaranya karena segerombolan cowok mulai masuk ke kantin dengan suara ribut.
“Azhar,” desis Dinda dan Naya menyambung kalimat Hanim yang terputus. Keduanya terkikik.
Wajah Hanim memerah, dan itu membuatnya tersenyum malu. Begitulah, tak ada rahasia di antara mereka bertiga. Persahabatan sejak SMP hingga saat itu, membuat mereka layaknya saudara.
“Anggap saja bunga mimpi, Nim,” kata Dinda enteng. “Gak usah diambil pikir.”
“Gak usah dipikirkan,” ralat Naya.
Dinda mengusap rambutnya, ” Ah, ya itu maksudnya.”
“Tapi, ini sudah yang ketiga kalinya,” kata Hanim pelan.
“Bisa jadi mimpi itu akan datang lagi,” tukas Dinda, badannya dimajukan agar suaranya cukup didengar mereka bertiga. Meja sebelah sudah terisi cowok-cowok ribut yang baru datang.
“Semakin kamu memikirkannya, mungkin akan semakin sering muncul,” tambah Naya, ikut berbisik. “Jadi, abaikan saja.”
Hanim terdiam, meresapkan nasihat sahabatnya. Tangannya mulai mengetuk meja, membuat Naya gemas dengan kebiasaan buruknya yang satu itu.
“Oke, nasehat diterima,” kata Hanim sambil bangkit menuju Mbak Ida, kasir kantin.
Ddi meja seberang sana, sepasang mata seorang cowok menatapnya lekat. (*)
Surabaya, 16 Nopember 2021
Ummu Ayyubi. Seorang ibu rumah tangga yang suka membaca dan ingin belajar menulis.
Editor: Dyah Diputri
Pict Sourch: https://pixabay.com/id/illustrations/bulan-sinar-bulan-malam-4919501/