Hijrah Cinta

Hijrah Cinta

Hijrah Cinta
Oleh : Indira Syah

Kutatap lekat gadis berjilbab lebar itu. Jarak kami hanya sekitar tiga meter. Ia tengah menyapu halaman depan kios yang kami tempati. Ya, keseharianku menjaga warnet. Sedangkan ia, baru seminggu ini berjualan di kios sebelah. Ia menjual bermacam kue, makanan ringan, dan minuman.

Kios yang kami tempati ini berada di depan stasiun, dekat dengan kampus. Dari pagi hingga petang ramai orang berlalu-lalang. Tidak sedikit mahasiswa yang datang bermain game online di warnetku selepas jam kuliah.

Seperti biasa, tiap pagi aku membeli hot cappucino demi melihat wajah cantik gadis bermata bulat itu dari dekat.

“Assalamu’alaikum, Linda.”

“Wa’alaikumussalam … Deri?”

“Biasa, ya, hot cappucino satu.” Tanpa menjawab, ia langsung membuatkan pesananku.

Aku puas memandang wajah cantiknya dari dekat. Melihat gerak-geriknya mulai dari mengambil cangkir, menuangkan bubuk kopi dan air, hingga cangkir itu sudah berpindah ke tanganku.

Linda meletakkan cangkir di meja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tatapannya masih sama, tampak sekali ia masih marah atas peristiwa kemarin.

“Kamu masih marah, ya? Aku kan udah minta maaf.”

Linda diam seribu bahasa. Ia masih asyik beres-beres, sesekali ekor matanya melirik ke arahku. Kemudian ia mengambil speaker bluetooth, kemudian menyalakannya. Lantunan ayat suci menggema di ruangan empat kali lima meter ini. Seketika ada denyar dalam dada. Inilah yang membuatku betah berlama-lama di sini, tanpa ia sadari.

Lamunanku buyar seketika, saat seseorang menepuk bahuku.

“Woiii, serius banget sih. Ada orang mau rental, nih!” Ali, teman kuliahku datang bersama kedua temannya.

Aku terkejut dan jadi salah tingkah. Namun, Linda sama sekali tidak menoleh.

“Linda, kopinya aku bawa, ya!” Sambil membawa secangkir kopi, kutinggalkan kios Linda.

“Der, gue perhatiin lo akhir-akhir ini beda, deh.”

“Perasaan lo aja kali.”

“Ah, udahlah. Oya, gue penasaran sama si Linda itu.”

“Penasaran apanya?” Aku sedang fokus dengan laptop di depanku.

“Penasaran, apa bisa dia luluh dengan rayuan maut lo, ha-ha.” Ali tertawa mengejekku.

“Lo lihat aja nanti. Gue yakin, Linda bakalan tersentuh dengan kesungguhan gue.”

“Jangan kepedean dulu lo. Kalau kenyataan nggak berpihak, bakalan sakit hati, cuy, perih padahal nggak berdarah, ha-ha.” Lagi, Ali tertawa.

“Udah sana, katanya mau ngerjain tugas.”

“Etdah, santuy, Bro. Ha-ha.”

Ali mulai sibuk di depan komputer. Dari enam komputer yang kusewakan, empat di antaranya sedang digunakan. Ali, kedua temannya dan satu lagi anak sekolah yang sedang main game online.

Aku jadi teringat kata-kata Linda. Kalau ada anak sekolah main game online, sebaiknya dibatasi, jangan sampai lebih dari satu jam. Orangtua si anak pasti khawatir kalau anaknya lebih banyak menghabiskan waktu di warnet. Ya, aku paham dengan pemikiran Linda, tak ada salahnya kucoba sekarang.

“De, kamu udah sejam lebih main game. Mulai hari ini, main game online dibatasi waktunya hanya satu jam, oke.” Aku menghampiri anak SMP itu dan menjelaskannya.

“Oh, gitu, ya, Bang. Oke deh.” Setelah menyelesaikan permainannya, anak itu segera beranjak ke mejaku dan membayar uang sewa.

Ada kelegaan di dalam hati, entahlah. Semua perkataan atau bisa dibilang nasihat dari Linda begitu banyak. Benar kata Ali, sejak aku mengenal Linda, banyak hal yang berubah tanpa kusadari. Gitar yang selalu kubawa, mulai jarang kumainkan. Aku lebih senang mendengarkan lantunan ayat suci dibanding lagu favoritku.

Kuberanikan diri mengantarkan cangkir bekas kopi, tak peduli meski ia masih marah. Ah, sial. Kiosnya lagi ramai pelanggan. Aku terpaksa meletakkan cangkir di meja tanpa bertatap langsung dengan Linda.

“Linda, ini uangnya di meja, ya!” Aku menaruh uang di dekat cangkir tadi.

“Oke,” sahut Linda tanpa menoleh, ia sedang membuat roti bakar.

Dengan langkah gontai, aku kembali ke kios. Ah … kenapa sih aku? Bisa sampai seperti ini mengejar gadis yang jelas-jelas sudah menolak secara tidak langsung. Ya, Linda memang tak pernah bilang kalau ia menolakku. Ketika aku memintanya untuk pendekatan, ia hanya bilang, “Kita berteman saja.”

Baiklah, aku kirim pesan lewat ponsel saja.

[Linda, tolong maafin aku, ya.]

[Aku tahu kamu masih marah, tapi tolong, dong, jangan bersikap seperti itu.]

Linda marah karena aku berani menyentuhnya. Aku menarik tangannya, saat ia pergi begitu saja ketika aku masih bicara. Padahal tanganku hanya menyentuh baju yang ia kenakan, tidak sampai menyentuh kulitnya. Wanita terkadang aneh, hal sepele saja diperbesar.

Azan Zuhur berkumandang, entah kenapa aku merasa terpanggil. Aku titip kios pada Ali sebentar. Sepertinya Ali heran dengan sikapku, terlihat dari sorot matanya.

“Tumben lo, Der. Kesambet malaikat di mana lo jadi alim begini,” cerocos Ali yang masih sibuk dengan komputer di depannya.

Aku hanya menjawabnya dengan senyuman. Aku sendiri heran dengan perubahan ini. Linda pernah bilang, azan itu panggilan Allah. Kalau kita dipanggil, ya saat itu juga harus datang menghampiri, kan? Ah … sial! Lagi-lagi Linda.

***

Sebulan berlalu, sejak hari itu Linda hanya sesekali datang ke kios. Ada orang lain yang menggantikannya. Pesanku pun jarang sekali dibalas, hanya beberapa yang dirasa perlu. Linda bilang, ia sudah tidak marah. Bahkan, ia meminta maaf dengan sikapnya waktu itu.

Hari-hariku terasa hampa tanpa melihat wajah cantiknya. Benar kata Dilan, rindu itu memang berat. Namun, rasa rindu ini membuatku semakin dekat dengan-Nya. Salat tepat waktu tak pernah kutinggalkan. Kutuangkan rasa rinduku lewat lantunan zikir. Namanya selalu kusebut dalam bait doa.

Tiga bulan berlalu. Aku sudah pasrah, meski dalam sujudku masih terus berharap bisa bertemu dengannya. Seperti pesan terakhir yang ia kirimkan. Jodoh itu cerminan diri kita, maka dari itu teruslah berbenah diri. Orang baik pasti berjodoh dengan yang baik, begitu juga sebaliknya. Sejak saat itu, aku jarang menghubunginya.

Pagi ini begitu cerah. Penuh semangat aku berangkat ke kios. Aku mendengar suara yang begitu kurindukan ketika aku tengah mengelap meja.

“Assalamu’alaikum, Deri.”

Sontak aku menoleh. Sialnya, tanpa aba-aba jantungku berdegup lebih kencang. Sepersekian detik aku terdiam memandang Linda, wanita yang sejak lama kurindukan. Lalu aku tersadar, begitu melihat sesuatu ditangannya.

“Wa’alaikumussalam, Linda, apa kabar?”

“Alhamdulillah baik. Aku datang ke sini mau kasih ini.” Ia memberikan sebuah undangan, tertulis di bagian depan, Wahyu & Linda.

Seketika aku merasa ada sesuatu yang berat menimpaku. Dadaku sesak, rasanya tidak keruan.

“Jangan sampai nggak datang, ya!”

Aku hanya mengangguk. Mataku mulai terasa panas, jangan sampai aku menangis di depan Linda.

“Ya udah, aku langsung pamit, ya. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

Aku masih menatap Linda sampai ia menghilang dari pandangan. Air mata pun menetes perlahan bersama undangan yang jatuh terlepas dari tangan. Aku segera mengusap air mata sialan ini. Bodoh sekali aku menangisinya.(*)

Depok, 19 November 2021

Indira Syah, seorang wanita berdarah Sunda-Betawi. Ia pencinta kucing dan penyuka nasi goreng. Penulis novel ‘Jodoh Sang Penulis’ dan beberapa antologi ini menyukai dunia menulis sejak SMP. Namun, baru menggelutinya sejak akhir 2019 lalu. Dengan menulis, ia berharap dapat menebar kebaikan.

Editor : Rinanda Tesniana

Gambar : https://pin.it/7nta5q8

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply