Suara yang Berdengung
Oleh : Fei Ling
Mata wanita itu menyipit. Kamar seukuran 4×4 itu hanya diterangi oleh lampu lima watt. Seharusnya pencahayaan ruangan itu tidaklah terang, tetapi bagi Retno, lampu itu terasa menyilaukan.
“Bekap mulutnya!” suara itu terdengar lagi di telinga Retno. “Kamu gagal jadi ibu. Lihat! Dia menangis! Itu semua karena perlakuan burukmu!”
“Ayo! Tunggu apa lagi? Kamu bisa mengakhiri semua ini. Kamu enggak perlu susah memikirkan suamimu. Bayimu tidak layak mendapat ibu sepertimu!”
Teriakan-teriakan itu kembali terdengar di telinga Retno. Dia melihat ada gunting kecil di meja. Dengan tangan gemetar, Retno meraih benda itu.
“Retno, anakmu menangis, kok, kamu diam saja? Piye, toh, Nduk? Dadi ibu kuwi ojo males. Tangi isuk. Bu Bidan datang arep ngajari kowe carane memandikan bayi. Sudah dua bulan, kok, masih belum bisa ngrumat anaknya sendiri,” suara omelan Bu Nuri, ibu mertua Retno. “Setelah bayimu mandi, kamu juga harus mandi supaya bersih,” lanjutnya lagi. Tangan sang ibu pun menyalakan lampu utama kamar supaya menjadi lebih terang dari sebelumnya.
Setelah itu Bu Nuri menyilakan Bu Sri masuk untuk melakukan perawatan kepada Nila, bayi kecil yang menangis dari tadi. Bu Sri segera menggendong dan menimang bayi itu agar tangisnya mereda.
“Retno, susui bayimu dulu. Baru kita mandikan bersama-sama. Sudah kamu siap—“ perkataan Bu Sri terhenti.
Bu Sri terheran melihat Retno menunduk dan menangis tanpa sebab. Wanita itu mendekat, mencari tahu apa yang terjadi.
“Bu, bagaimana caranya menjadi seorang ibu yang baik dan benar?” Tiba-tiba pertanyaan itu terucap dari mulut Retno.
Desa Krimbung bukanlah desa yang penduduknya maju. Sebaliknya, warga dusun itu masih kolot, apalagi yang berkaitan dengan dunia medis dan masih percaya dengan yang namanya dukun. Dulu, kedatangan Bu Sri ditolak mentah-mentah oleh mereka. Alasannya, di desa itu sudah ada dukun bayi. Setahun kemudian, Mak Nipah–dukun bayi– itu meninggal dan tidak ada penggantinya, barulah mereka terpaksa meminta bantuan Bu Sri jika ada yang hendak melahirkan.
Dua bulan lalu, tidur lelap Bu Sri malam itu harus terganggu akibat suara gedoran. Wanita berusia hampir lima puluh tahun itu, mau tidak mau harus bangun. Perasaan takut menjalari hatinya. Dia berpikir siapa yang mengetuk pintu rumahnya dengan keras. Sebelum bertanya siapa yang datang, dia terlebih dulu membawa pentungan yang ada di sebelah kamarnya untuk berjaga-jaga semisal itu pencuri. Hidup sebatang kara membuat Bu Sri waspada. Beberapa waktu lalu, warga di kampung sebelah, mengalami kemalingan. Tidak ingin peristiwa yang sama menimpanya, Bu Sri menyiapkan senjata di sebelah ranjangnya. Setibanya di ruang tamu, dia mengintip jendelanya untuk melihat siapa yang datang.
“Lho, bukankah itu Si Yitno? Kenapa dia datang larut malam begini?” tanyanya dalam hati.
“Bu! Bu Sri!” seru tamu yang tak diundang itu.
Karena Bu Sri mengenal laki-laki tersebut, maka dia segera membukakan pintu. “Ada apa, Yit?”
“To-to-tolong, Bu. Sepertinya Kakak saya hendak melahirkan!” Pemuda kurus ceking itu berkata gagap saking paniknya.
“Hah? Retno melahirkan? Bayinya belum cukup umur!”
“i-iya, Bu. Tolong Ibu segera ke sana!”
Tanpa berdebat lagi, Bu Sri segera menyiapkan peralatan medisnya. Sebagai seorang bidan, dia harus siap sedia kala saat ada orang yang membutuhkan tenaganya untuk membantu persalinan. Sudah hampir sepuluh tahun dia bertugas di Desa Krimbung.
Bu Sri ingat bahwa kehamilan Retno baru berusia 32 minggu. Itu artinya, usia janin belum cukup untuk dilahirkan. Sepanjang perjalanan, dia pun memendam berbagai pertanyaan. Apa yang terjadi sehingga Retno bisa mengalami kontraksi.
Yitno dan Bu Sri pun tiba di rumah Retno. Terlihat beberapa laki-laki berkumpul di ruang tamu, sedangkan ibu-ibunya berkumpul di depan pintu salah satu ruangan. Bu Sri berpikir mungkin itulah kamar Retno. Dia pun langsung menuju ke sana. Dugaannya benar. Di ranjang itu Retno tergolek lemah dengan darah di sekitar area selakangannya.
“Nyuwun sewu, Bu. Ini kenapa bisa begini?” tanya Bu Sri kepada orang-orang yang ada di kamar itu.
“Anu … Bu Bidan … Tadi Retno jatuh dan dia merasa ada air dan darah yang keluar. Lalu, dia mengalami kesakitan. Apa dia mau lahiran, ya, Bu?”
“Njenengan sinten?”
“Saya ibunya, Bu.” Ibu itu menjawab pertanyaan dari Bu Sri.
“Di mana suaminya?”
“Suaminya masih dalam perjalanan pulang, Bu. ‘Kan kerjanya di luar kota.” Bu Sri mengangguk mendengar jawaban singkat dari ibunya Retno.
Segera saja Bu Sri mengusir orang yang berkerumun di dalam kamar, lalu dia pun meminta disediakan air hangat. Setelah memeriksa keadaan Retno dan bunyi detak jantung janin, Bu Sri memutuskan bahwa memang bayi itu harus dilahirkan. Tidak lupa dia menyuruh Yitno mencari mobil untuk berjaga-jaga jika mereka harus ke rumah sakit yang terdekat di sana.
Dua jam lamanya, Retno merasakan sakit seolah-olah dua puluh tulangnya dipatahkan secara bersamaan. Bu Sri tidak henti menyemangati calon ibu muda itu melahirkan bayinya. Rupanya kerja sama mereka berhasil. Tak lama kemudian, suara tangisan bayi terdengar nyaring membelah malam. Bu Sri menarik napas lega. Setelah membersihkan bayi dan ibunya, bidan itu kemudian memanggil ayah dari bayi tersebut, tetapi nihil. Suami Retno ternyata belum datang. Karena merasa urusannya sudah selesai, bidan itu pun pamit pulang. Sekilas Bu Sri sempat melihat ke arah Retno. Terlihat raut wajah sedih dari ibu baru itu. Bu Sri pun merasa ada yang salah dari keluarga kecil yang baru saja ditemuinya. Namun, firasat itu terabaikan. Bagi Bu Sri, keadaan keluarga pasien bukanlah urusannya.
“Bagaimana, Bu?” Pertanyaan yang bernada putus asa dari Retno, menyadarkan Bu Sri dari lamunannya.
Bayi kecil diletakkan pelan-pelan di ranjang oleh Bu Sri sebelum dia menjawab. Retno pun mendapat pelukan dari wanita yang sudah lama malang melintang di dunia persalinan. Batin Bu Sri mengatakan bahwa ada yang tidak beres di kehidupan pasiennya saat itu. Dia hanya mengelus punggung Retno yang makin menangis. Dengan sabar, Bu Sri menunggu Retno bercerita. Ternyata harapannya sia-sia. Tangis Retno berhenti dan berganti dengan senyuman, bahkan tertawa seakan-akan dia tidak pernah bersedih.
Langsung saja kening Bu Sri mengernyit. Kecurigaan merayap di benak bidan itu dan hatinya bertanya-tanya, Apakah Retno mengalami fase yang ditakutkannya selama ini. Ingatannya kembali ke masa sebelum dia bertugas di Desa Krimbung. Nina, sepupunya, berlaku sama persis yang dialami Retno tadi. Beruntung keluarganya cepat tanggap, terlebih suami dan mertua Nina. Mereka membawa Nina ke psikiater. Alhasil tidak sampai enam bulan, Nina sudah kembali normal dan bisa menerima statusnya sebagai seorang ibu.
Setelah memandikan bayi dan mengajari Retno, Bu Sri pamit pulang. Sebelum itu, dia sempat menemui ibu mertua Retno untuk menyampaikan apa yang dilihatnya tadi.
“Halah, Bu Bidan. Retno itu manja. Dikit-dikit nangis. Minta diperhatikan. Lha, wong, saya anak lima aja bisa sendiri, kok. Pantesan aja anak saya, Si Wardi lebih sering di rumah istri sirinya.”
***
Desa kecil itu gempar karena adanya penemuan jenazah bayi. Tersangkanya adalah Retno. Polisi pun membawa Retno ke penjara sembari menunggu kasusnya disidik. Bu Sri yang mendengar kabar itu, segera menyusul ke kantor polisi. Hati nurani Bu Sri mengisyaratkan agar segera menemui Retno. Setibanya di sana, dia hanya diperbolehkan menjenguk Retno dari balik terali besi. Wajah wanita muda itu kosong, bagaikan tanpa jiwa.
“Bu, saya sudah menjadi ibu yang baik. Nurul harus kembali ke surga yang kata orang, tempat terindah tanpa dosa.”
Bu Sri hanya menatap Retno iba.
Waktu pun berlalu. Desa Krimbung merupakan tempat yang kecil. Tidak pernah ada secuil kejadian yang lepas dari gunjingan mulut warganya. Kasus Retno termasuk peristiwa yang luar biasa mencengangkan. Dari kabar yang tersiar, setelah melahirkan, sifat Retno berubah. Tadinya dia sosok yang riang. Setelah punya bayi, Retno menjadi sering marah-marah, menangis, dan tiba-tiba dia bisa tersenyum tanpa beban. Keluarganya menganggap Retno hanya mencari perhatian saja. Hal yang paling parah, Wardi mengatakan bahwa Retno tidak waras.
Retno kesepian. Batinnya merasa gagal dan tidak berguna saat menjadi ibu. Selain itu, dia juga menganggap dirinya bersalah karena telah melahirkan seorang bayi ke dalam dunia yang jahat ini. Saat penyidikan dilakukan, Retno mengaku mendapat bisikan bahwa dia harus mengembalikan anaknya ke surga.
Hasil bedah mayat menunjukkan bahwa bayi itu mendapat 39 luka akibat benda tumpul di badan kecilnya terutama area wajah dan mulut. Salah satu penyebab paling fatal karena cekikan yang kuat di lehernya.(*)
Surabaya, 15 November 2021
Fei Ling selalu menganggap PPD bukan hal sepele. Dia selalu menangis dalam hati jika ada peristiwa yang menimpa anak kecil, terlebih bayi. Ide cerpen ini muncul saat membaca sebuah kasus pembunuhan bayi yang dilakukan oleh ibu kandungnya satu tahun lalu di Jawa Timur.
Editor : Uzwah Anna
Gambar : https://pin.it/5CaFnsE
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata