Tatap Muka Unik Anak-anak Bukit
Oleh : Lilis Setiowati
Pagi ini tak seperti pagi-pagi sebelumnya. Sebelum berangkat ke kantor, kulihat handphone dan group WhatsApp ketiga anakku sudah ratusan notifikasi. Hal itu menandakan ada banyak tugas yang harus diselesaikan hari ini. Iya, sudah setahun ini sekolah berlangsung 50% saja dari jumlah siswa yang berangkat dan secara bergantian masuk, anak yang tidak terjadwal masuk sekolah maka belajar dari rumah secara daring (dalam jaringan) karena pandemi ini. Tetapi, aku harus tetap bekerja. Dilema. Aku putuskan untuk menyalin tugas yang ada di handphone ke komputer agar anak-anak bisa mengerjakan sendiri sampai sore nanti aku koreksi sebentar.
“Mas Banu, tugas Mas Banu dan adik sudah ibu salin di komputer, ya…. Jangan lupa dikerjakan dan adik dibantu,” kataku kepada si sulung.
“Nggih,” jawabnya singkat.
Aku berangkat kerja seperti biasa menggunakan motor kesayangan, meskipun pagi ini hujan deras mengguyur bumi. Aku bergegas memakai jas hujan dan sandal jepit karena waktu sudah menunjukkan pukul 06.50 WIB. Tak lupa aku berpamitan ke suami dan mencium tangannya. Kebetulan ia juga sedang daring dalam tugas belajarnya di UNSOED. Kunyalakan motor dan siap melaju. Tiba-tiba kudengar celoteh anak kecil memanggil.
“Ibu… jangan lupa berdoa!” seru Ammar, bocah laki-laki berumur lima tahun itu berdiri di depan pintu sembari tersenyum ceria.
Lalu kakaknya, Azhar menyusul, “Ibu… hati-hati di jalan, ya…!” serunya. Sementara di belakangnya terlihat si sulung dengan senyum datar dan Bibi Suti yang menjaga anak-anak di rumah. Aku pun berangkat dengan penuh semangat.
***
“Assalamu’alaikum, Bu Guru,” sapa Gita dengan senyum semringah pagi-pagi sambil berjalan menuju ruang kelas 4. Gadis kecil berambut panjang dari desa Jalatunda. Rumahnya berada di perbukitan yang terletak di ujung selatan Kecamatan Mandiraja, Kabupeten Banjarnegara, tepatnya hampir berbatasan dengan kabupaten Kebumen.
Gita, panggilan akrabnya. Ia adalah anak semata wayang dari seorang ayah bernama Susilo dan ibu bernama Ratih. Meskipun anak semata wayang, Gita tidak tumbuh menjadi anak yang manja. Ia sosok yang displin dan mandiri. Tanpa lelah ia selalu berjalan kaki berangkat ke sekolah, meskipun letak rumahnya paling jauh dibandingkan dengan teman-temannya. Perbukitan yang dipenuhi pohon jati yang ia lewati menuju sekolah selalu menjadi vitamin yang baik karena udara masih terasa sejuk. Kicau burung yang bertengger di pepohonan juga menambah keceriaan waktu pagi.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah…,” jawabku kemudian masuk ke ruang kantor sebentar untuk meletakkan tas berisi laptop. Tak lama aku duduk di kantor, lalu mengambil termometer elektrik dan daftar pengukur suhu. Pembelajaran tatap muka terbatas mengharuskan cek suhu setiap anak. Semua siswa yang masuk ke sekolah harus mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, kemudian guru menanyakan kondisi kesehatan setiap siswa dan keluarga di rumah. Semua dilakukan agar terhindar dari virus covid-19.
Setelah selesai diukur suhunya, semua anak pun memasuki ruang kelas dengan tertib. Semua anak duduk di bangku masing-masing dan menjaga jarak dengan jarak 1,5 meter antar bangku ke bangku lain. Kelas juga sudah disemprot disinfektan agar kelas steril dan terjaga dari paparan virus.
Wildan sebagai ketua kelas kemudian menyiapkan kelas untuk berdoa sebelum memulai pelajaran. Semua hikmat berdoa. Aku pun membuka pelajaran hari ini dengan senyuman. Karena hanya 2 jam berada di kelas, aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini untuk melakukan pembelajaran yang tak menyenangkan untuk anak-anak di kelasku.
“Selamat pagi semuanya. Apa kabar hari ini?” tanyaku secara klasikal.
“Baik, Bu…” jawab anak-anak kelas 4 kompak.
“Alhamdulillah, hari ini semua sehat. Sekarang bu guru akan menayangkan tayangan bagaimana virus corona 2019 bisa menular. Perhatikan baik-baik, ya anak-anak,” perintahku.
Semua siswa kelas 4 pun menyimak tayangan yang aku tampilkan melalui LCD proyektor. Semua mengamati bagaimana virus dapat menular dan bagaimana cara mencegah agar kita tetap sehat dan tidak tertular.
“Bu, berarti setiap kali kita keluar rumah harus selalu memakai masker dan mencuci tangan, ya?” tanya Gita.
“Betul…,” jawabku. “Apakah semua punya persediaan masker di rumah untuk seluruh anggota keluarga?” tanyaku kemudian. Semua menjawab: punya….
Namun berbeda dengan Gita. Ia hanya diam.
“Kenapa, Git…?”
“Gapapa Bu,” jawabnya singkat.
“Katakan pada buguru, ada apa?”
“Aku cuma punya masker dua. Kalau yang satu kotor aku cuci aku pake yang satunya lagi. Ibu di rumah sedang sakit tapi tidak memakai masker, karena ayah di Jakarta juga sedang sakit dan belum mengirim uang. Ayah belum boleh pulang oleh juragan karena khawatir terkena virus.” Dengan mata berlinang Gita mengatakan itu.
“Semoga ibu dan ayah cepat sembuh ya, Git.” Aku tak tahan meneteskan air mata. Lalu kuberikan sebungkus masker untuk Gita, berharap dia kuat merawat ibunya yang sedang sakit di rumah.
“Baik, anak-anak kita lanjutkan pelajaran kali ini. Yuk, kita menulis puisi bertema corona dan mimpi atau harapan kita. Puisi yang terbaik akan bu guru beri hadiah.”
“Wahhh, asyiik….” Wildan yang selalu aktif menjawab girang lalu buru-buru menulis. Tak kalah Gita dan teman-temannya pun menulis dalam selembar kertas yang kemudian mereka hias agar terlihat indah.
Waktu begitu cepat berlalu. Anak-anak pun selesai menulis puisi.
Sehat Bumiku, Sehat Orangtuaku
Bumiku terluka
Bumiku sakit
Bumiku kembali lah ceria
Ya Allah, mengapa corona harus ada di bumi?
Kuatkan aku menghadapi virus
Hilangkan virus ini dari bumi ini, ya Allah
Ibu, sehat lah
Ayah, pulang lah
Aku rindu
Anakmu, Gita
Puisi Gita pun dibacakan di kelas, semua terdiam mendengarkan Gita membaca puisi tersebut. Begitu pun aku. Aku berikan hadiah berupa buku diary untuknya, aku yakin ia punya banyak mimpi dan angan. Aku ingin ia tuliskan dan nantinya bisa dijadikan buku kumpulan puisi untuk Gita.[]
Lilis Setyowati, ibu dari tiga anak ini tinggal di Banjarnegara. Sehari-hari mengajar di Sekolah Dasar. Karyanya antara lain buku puisi Melangitkan Segala Asa dan Cinta (Goresan Pena, 2020), buku cerita fabel berjudul Persahabatan Bundun dan Cuko (Gorean Pena, 2021). Antologi cerita fabel: 100+ Fabel Motivasi (Goresan Pena,2021)
Editor : Uzwah Anna
Gambar : https://pin.it/28krF03
Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulus tetap di Loker Kat