Saat Hujan

Saat Hujan

“Remaja?

“Siapa itu remaja?”

Remaja adalah kita. Jiwa-jiwa muda yang membara dalam hidup penuh warna.  Kaum yang bersiap dan berusaha menantang dunia. Kita berekspresi. Kita bereksplorasi di atas dunia yang kita tinggali. Sekadar mencari jati diri, hingga menemukan kebahagiaan hakiki.

“Seindah itukah menjadi remaja?”

Tentu saja. Kita juga pernah muda, ingat? Ah, mungkin waktu bergulir begitu cepat hingga engkau begitu cepat lupa. Banyak sekali kenangan indah yang terukir kala itu. Tak akan kumaafkan bila kau masih tak ingat setelah kuceritakan kisah ini.

“Ceritakan padaku!”

Akhirnya kau berhenti bertanya dan mulai meminta. Tetapi maaf, aku tidak bisa mengatakannya terlalu keras. Hujan sekarang ini seperti mencegahku melakukannya. Kau tahu maksudku, kan?

Kau dan aku adalah sahabat karib. Dulu, sekarang, dan selamanya. Satu yang mengawali kisah ini adalah sebuah kalimat. Biar kutulis di tanah supaya kau bisa dengan jelas membacanya:

Saat hujan, engkaulah yang menawarkan payung untukku.

Itu hari pertama kita bersekolah di SMA dan sudah hujan saja. Sebal sekali rasanya, terlebih aku benci hujan. Aktivitas apa pun rasanya terhambat dan sulit sekali untuk merasa bebas. Sendiri aku di bawah naungan atap teras. Namun, kau datang dengan tergopoh-gopoh dari dalam kelas. Kau diam, aku pun diam. Aku tak begitu peduli sampai akhirnya kau buka suara.

“Eh … anu, rumah kamu di mana ya? Kebetulan aku bawa payung. Jadi kalau mau pulang bareng sama aku aja, hehehe,” ujarmu dengan wajah tanpa dosa. Ekspresi paling polos yang pernah kusaksikan ketika itu.

“Rumahku di Kampung Baru.”

Dengan segera kau menggamit tanganku tanda senang karena ternyata rumah kita berdekatan. Pipimu sampai merona merah saking gembiranya. Aku sempat ragu, tapi kau terlihat cukup meyakinkan. Paling tidak aku tak merasa akan diculik seseorang yang bahkan aku belum tahu namanya.

Lantas berjalanlah kita. Sepayung berdua.

Amboi, romantis benar. Maksudku, jika salah satu dari kita adalah laki-laki. Dari situ, aku sudah menduga hubungan ini akan berlanjut menuju jenjang selanjutnya: forum gosip antargadis. Dan dugaanku benar.

Kita baru bertemu dan kau sudah membuatku tersenyum sepanjang waktu. Perangaimu yang bersahaja seolah memberi warna baru pada hidupku yang monokrom. Hari-hari indah sebagai remaja kita lalui bersama. Seperti rambut dan ketombenya, kita selalu berdua ke mana-mana. Kau hobi menulis, aku gemar membaca. Kau suka berangan, aku cinta berandai.

Senang rasanya ketika kita bisa cocok dengan amat cepat. Indah rasanya ketika sadar kita saling memiliki satu sama lain.

Tak ada gading yang tak retak. Begitu juga dengan hubungan kita. Sebenarnya hanya masalah klasik, terlalu sepele malah. Namun, bagaimanapun juga kita tetaplah remaja biasa, terlebih gadis yang masih hendak menjadi wanita. Ya, apa lagi kalau bukan cinta? Ketika hujan pula.

Sekali lagi, izinkan aku menuliskannya di atas tanah:

Saat hujan, kita jatuh hati pada pria yang sama.

Tak usah lagi kuceritakan seperti apa seseorang yang selalu kita klaim satu sama lain sepanjang semester itu. Kau juga sudah pasti lupa walau kau berjanji tak akan melupakannya. Dia bahkan terlalu sempurna untuk ukuran seorang manusia. Tinggi, putih, tampan, atletis, sebutkan semua kriteria pria idaman para gadis. Segala puja dan puji pun kurasa tak akan cukup untuk melukiskannya.

Kita selalu bersaing mendapatkan hatinya. Tetapi, hal konyol yang terjadi justru sebaliknya. Dengar, kita malah selalu bekerja sama dan bahu membahu demi satu tujuan. Entah ada niat terselubung dalam hatimu, hanya Tuhan yang tahu.

Seperti hari itu. November benar-benar basah. Kau melihat begitu banyak kesempatan di bulan penuh hujan ini, sedangkan aku hanya bisa meringkuk di balik selimut nan hangat. Aku terlanjur nyaman dengan posisiku sampai kau memperingatkanku sesuatu.

“Bangunlah wahai pemalas. Sesungguhnya makhluk pujaan kita berdua tengah berjalan sendiri dalam rangkulan gerimis di depan—“

“Mana? Mana?” Aku langsung bangkit dengan semangat membara, bahkan sebelum kau selesai berbicara. Mataku langsung tertuju pada sosok dalam balutan jaket denim kebiruan  yang basah terkena gerimis.

“Aahhh!!”

Kita menjerit keras melawan tempias gerimis, tetapi langsung terdiam saat wajah indahnya berpaling ke arah kita. Malu, salah tingkah, apa pun nama perasaan itu. Jangan ditanya seberapa merah wajah kita sesaat kemudian. Ya ampun, apa yang telah kita lakukan?

Aku pun masih menahan malu ketika mengingat kembali kenangan absurd itu. Biarlah, toh aku bisa ada di sini, di titik ini, karena ia pula. Selagi aku masih melihat masa lalu sebagai sebuah pelajaran, tentulah aku tak akan terjebak di kubangan yang sama.

Mari kita sudahi saja. Ah, sepertinya aku sudah terlalu lama berada di sini. Saatnya aku pulang, meski kenyataannya banyak yang masih ingin kukenang. Terlalu banyak, Sayang.

Puluhan tahun sudah terlewati. Fase demi fase kehidupan pun telah kita jalani. Namun, memori atas masa remaja dalam ingatanku tetap menjadi satu yang paling kugemari. Seandainya saja waktu bisa mengulang, akan kuberikan segalanya demi bisa kembali menjadi remaja. Hanya berandai. Tidak lebih.

Aku beranjak pergi dari tanahmu yang masih merah. Pemakaman sepi sekali saat hujan merekah seperti ini.

Selamat tinggal, Sayang. Kita berbincang lagi di lain waktu.(*)

Seorang penulis amatir dan penikmat seni bernama Muhammad Da’i Kuncoro. Tinggal di Medan, umurnya 16 tahun. Saat ini pelajar di MAN 2 Model Medan dan sibuk mencari jati dirinya di berbagai semesta. Hobi menonton film dan diskusi terbuka. E-mail :  muhammaddai_k@ymail.com Kontak melalui nomor 085833386119.

Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu ke-3 Februari.

Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:

Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan

 

Leave a Reply