Buanglah Sampah pada Tempatnya

Buanglah Sampah pada Tempatnya

Buanglah Sampah pada Tempatnya

Oleh: Wulan Putri Kusumah

 

Citra berjalan seperti sedang latihan baris berbaris. Dengan wajah ditekuk, dia keluar dari kedai kopi langganannya. Dia terus berusaha meredam emosi yang bergejolak agar tidak meluapkannya di sembarang tempat. Napasnya tidak beraturan, hasil olahraga jantung yang dipaksakan. Lewat sudah materi yoga yang selalu dipraktikkannya setiap pagi. 

Ingin rasanya dia mencakar wajah Randi bersama perempuan yang sedang bersandar mesra di pelukan kekasihnya itu. Pesan batal pertemuan yang dikirim kekasihnya masih hangat, baru saja dibaca sebelum memesan kopi kegemarannya. Alih-alih ada pekerjaan kantor yang tidak dapat ditinggalkan, ternyata tugas kantornya itu adalah bermesraan dengan perempuan lain.

Dia berjalan seperti setrikaan, mondar-mandir mengontrol rasa amarah yang berkecamuk dalam hati. 

“Maaf, tidak sengaja.” Citra meminta maaf. Merasa bersalah setelah menabrak seseorang.

“Tidak apa-apa,” ucap Bisma.

Citra menatap orang yang ditabraknya. Bisma, entah kebetulan atau memang hadir di waktu yang pas bertemu dengan Citra. 

“Kamu baik-baik saja ‘kan?” Bisma bertanya dan menatap tajam perempuan di hadapannya.

“Kenapa selalu bertemu kamu di saat seperti ini, Mas Bisma?”

Bisma tersenyum dan selalu terlihat manis. Namun hingga saat itu, Citra masih bertahan menganggapnya kakak. Tidak pernah lebih dari itu, meski perhatian dan tingkah laku laki-laki di hadapannya mencerminkan perasaannya.

“Mungkin aku ditakdirkan menjadi dewa penolong kamu,” jawab Bisma masih dengan senyum yang bisa membuat perempuan mana pun bertekuk lutut.

Pria baik hati itu menggenggam jemari Citra dan mengajaknya kembali ke kedai. Butuh waktu untuk meyakinkan adik sahabatnya. Bisma sudah paham sekali dengan sifat Citra yang sedikit keras. 

“Masih butuh waktu?”

Citra menatap pria berjanggut tipis yang masih menunggu jawabannya. Bisma sangat tampan dengan kemeja biru muda dibalut jas berwarna lebih tua. 

Bisma merupakan sahabat Aldi, kakak Citra satu-satunya. Mereka sudah berteman sejak sekolah dasar, jadi dia sudah hafal dengan sikap Citra yang selalu menghindar jika ada masalah, bukan menyelesaikannya.

“Aku masih menunggu jawaban kamu, cantik.” 

Citra masih diam. Satu menit kemudian, dia menceritakan apa yang baru saja dilihatnya. Bagaimana Randi dan perempuan itu berpelukan dengan mesra, bercengkerama seakan dunia milik berdua. 

Hubungan Citra dengan Randi sudah hampir tiga tahun. Bukan sekali dua kali kekasihnya kedapatan sedang bersama perempuan lain. Kesempatan kedua, ketiga, bahkan kesempatan entah yang ke berapa kali sudah dia berikan, hasilnya sama. Tidak pernah berubah. Tuman

Citra kesal. Dia tidak pernah tega jika Randi sudah meminta maaf. Selalu ada alasan yang masuk akal yang membuatnya luluh. 

Stop memikirkan apa kata orang lain. Mereka tidak peduli. Sekarang yang harus dipikirkan adalah sampai kapan kamu akan terus seperti ini. Kamu pantas bahagia.” Bisma dengan sabar menjelaskan pada perempuan keras kepala yang masih bingung memutuskan langkah yang akan diambil.

“Aku siap.”

Bisma tersenyum. Jika Citra sudah percaya diri seperti itu, pasti akan ada tontonan menarik untuk beberapa menit ke depan. 

Citra menatap Bisma dan laki-laki itu membalas tatapannya dengan tulus, seperti biasa. Senyuman Bisma selalu membuatnya tenang, seakan memberinya kekuatan tambahan. Dengan percaya diri, gadis itu mengangguk, memberi kode pada lelaki yang berada di hadapannya.

Mereka berdua masuk ke kedai, berjalan berdampingan. Bisma memilih meja tidak jauh dari Randi. Pria itu masih memeluk perempuan yang mirip dengan Citra. Memiliki tubuh yang tidak terlalu tinggi, wajah blasteran, dan sedikit manja. Jika disandingkan, keduanya seperti saudara. Yang membedakan, adik sahabatnya tidak pernah mau bermesraan di depan orang banyak.   

Citra dapat melihat kekasihnya. Jarang sekali dia melihat Randi dapat tertawa lepas seperti itu. Dia mulai mengingat apa kesalahannya sehingga lelakinya berkhianat. 

“Ikuti kata hati,” pinta Bisma.

Citra duduk berhadapan dengan Bisma. Mengambil kertas dan pulpen dalam tas, lalu membuat catatan kelebihan dan kekurangan Randi. Dijabarkan kembali satu persatu, meski Bisma sudah mengetahui semuanya.

Selama ini, Bisma yang menjadi tempat sampah untuk semua kisah Citra dan Randi. Selesai  mengeluarkan keluh kesahnya, Bisma melontarkan ucapan yang sama. Menyuruh Citra untuk mengikuti apa kata hatinya.

Citra menatap sahabat kakaknya tanpa berkedip. Bisma memiliki perasaan lebih kepadanya sudah sejak lama. Dia selalu ada di saat sedih dan bahagia.

Perhatian, ketulusan, dan kasih sayang yang ditunjukkan sahabat kakaknya, selalu dianggap perasaan seorang kakak terhadap adik. Oleh sebab itu, Citra menerima cinta Randi, untuk menepis rasa yang bergelenyar aneh ketika bersama Bisma.

Tiba-tiba saja Citra berdiri, memberikan senyum paling indah kepada Bisma. Melangkah menuju meja nomor lima. Mengambil dua gelas es kopi susu yang belum tersentuh dan langsung mengguyur kepala kekasihnya. 

Randi yang menunduk, langsung berdiri. Tingginya sejajar dengan Citra, lebih sepuluh senti. Lelaki yang masih berstatus kekasihnya terdiam menatap pacarnya yang tersenyum manis tanpa emosi, sedangkan perempuan berkacamata yang duduk di sebelahnya rewel setengah mati karena sebagian tubuhnya basah dan lengket.

“Hari ini, aku yang memutuskan. Kita putus, Randi sayang,” ucap Citra sambil tersenyum.

Bisma sudah berdiri menyambut kedatangan perempuan yang dicintainya. Dia tersenyum seperti biasa. Keputusan Citra sudah bulat. Dia tidak akan memberikan kesempatan untuk ke sekian kalinya lagi kepada Randi. Cukup sudah selalu percaya dan termakan janji-janji manis. 

“Bagaimana perasaan kamu?” tanya Bisma ketika berada di taman depan kedai.

Citra hanya tersenyum. Dia mengambil air mineral dari tangan Bisma dan meminumnya hingga habis. “Terima kasih.”

“Jujur, kamu baik-baik saja?” tanya Bisma, setelah melihat siaran langsung berakhirnya kisah cinta Citra dan Randi.

“Buanglah sampah pada tempatnya,” ucap Diana.

“Maksudnya?”

“Aku sudah membuang sampah pada tempatnya. Sekali sampah tetap sampah, bodoh tiga tahun ini selalu termakan janji manis. Terima kasih untuk selalu ada di saat susah. Aku menyayangimu, Mas.”

Bisma geming, masih mencerna apa yang baru saja diucapkan oleh Citra. Tiba-tiba dia tersenyum dan menatap Citra yang menunduk.

“Penantianku berakhir?” tanya Bisma. 

Citra menunduk malu, menganggukkan kepalanya. Bisma masih tidak percaya penantiannya telah menemui ujung. Akhir perjuangan yang dinantikan. (*)

 

Bulan Arimbi adalah nama pena Wulan Putri Kusumah, penulis asal Kota Hujan. Penikmat senja, hujan, dan aroma kopi. Menulis, bagi Wulan adalah refleksi dari pikiran ‘nakal’ yang selalu memenuhi nalarnya. Suatu terapi terbaik untuk tetap waras menikmati ragam kisah perjalanan hidup yang tidak pernah berhenti. Dapat dihubungi di Instagram: @wulanpkusumah, E-mail: bulanarimbi.ba@gmail.com

 

Editor: Imas Hanifah N

Gambar: Pixabay

 

Grup FB KCLK

Halaman FB kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply