Hikayat Ibuk

Hikayat Ibuk

Hikayat Ibuk

Oleh: Wardah T.

 

“Surga anak ada pada ibunya, tetapi Ibuk ndak pantas jadi surgamu.” Akhirnya suara Ibuk pecah setelah dua jam perjalanan dari Pamekasan ke salah satu hotel dekat Stasiun Gubeng Surabaya.

Ibuk duduk di kursi dekat jendela saat aku meletakkan ponsel di meja. Mengundangku duduk bersama di pasangan kursi putih itu.

“Maafkan Ibuk, Le,” tuturnya di antara suara geligis. Tangan keriputnya menggenggam tanganku di meja. “Ibuk ndak bisa meneruskan keinginanmu meminang Yasmin.”

Sebenarnya kontradiksi ini sudah aku duga sejak Ibuk memintaku memutar balik arah mobil sewaan yang kami kendarai tepat di pintu gerbang Pesantren Darul Ilmi. Namun, aku masih berharap Ibuk mengajakku ke tempat makan, karena belum sarapan sejak turun dari kereta alih-alih meminta cari hotel untuk bermalam. Demikian pun, aku masih optimis tentang Ibuk yang mungkin kelelahan karena jarak tempuh 4 jam Stasiun Balapan–Gubeng. Semua dugaan itu dipecahkan oleh kalimatnya barusan.

“Kamu boleh marah sama Ibuk, Le.”

Setiap pasangan selalu punya hambatan. Tak mungkin ada hubungan mulus seperti yang kujalani dengan Yasmin sejak tiga bulan lalu. Pertemanan Facebook selama lima tahun akhirnya mengakrabkan kami pada awal Juni dan mencapai kesepakatan menikah akhir bulan nanti.

“Mana bisa Ibuk mengizinkan Abi marah sebelum tahu duduk perkaranya? Abi yakin Ibuk bisa menjelaskan lebih dulu.” Perasaanku tidak setenang kalimat yang kusampaikan kepada orang tua tunggalku barusan. Percayalah, marah itu telah menggelegar di dada ketika mengingat keinginan menikahi Yasmin nyaris gagal diraih. Bagaimana aku harus menjalani sisa-sisa waktu bila dengannya tak menyatu?

Namun, lagi-lagi wanita yang menghabiskan sebagian besar usianya untuk aku seorang, menangis sembari menggigit bibir bawahnya. Dari sanalah aku menduga, ada rahasia menyakitkan yang mungkin dipendamnya selama ini.

“Ada apa, Buk?” Aku beralih ke belakang kursi yang meribanya. Kuraih bahu yang masih diguncang sesenggukan itu. “Ceritalah!”

Butuh beberapa jenak untuk melihatnya tenang dan berani menoleh ke arahku dengan mata penuh kasih sayang, bukan pandangan penuh luka.

“Dulu, ada seorang laki-laki menjadi dosen di Surabaya, ngontrak di Sidoarjo. Laki-laki itu bercerita tentang riwayat hidupnya yang menyakitkan. Dinikahkan dengan anak gurunya yang hafizah, tetapi sang laki-laki tidak mencintainya.” Aku menjadi pendengar sambil memijat pundak Ibuk yang pandangannya fokus pada jendela.

“Laki-laki yang terjebak dalam pernikahan itu menjalani hari-harinya penuh harap cinta akan bersemi selama dua tahun. Sayangnya, Gusti Pangeran belum meridai meski sudah dikaruniai seorang anak. Laki-laki itu kemudian memilih pergi. Di perantauanlah dia menemukan pujaan hati.”

Aku belum bisa menarik benang merah antara cerita Ibuk dan alasannya menolak Yasmin. Meski begitu, aku masih mencermati ceritanya dari kata ke kata, dari kalimat ke kalimat. Tentang laki-laki yang pergi dari rumahnya untuk mencari kesenangan, lalu bertemu dengan seorang perempuan yang berhasil memikatnya. Poligami akhirnya terlintas.

Kepada orang tuanya sang laki-laki meminta izin, agar diperbolehkan menikahi perempuan yang menurutnya bisa memberi ketenangan batin. Namun, restu itu tak mencapai mufakat, membuat sang laki-laki nekat. Menikahi perempuan itu tanpa sepengetahuan keluarganya.

“Orang mana laki-laki itu, Buk?”

“Orang Madura. Konon, orang Madura selain keras, juga menampik malu. Ada slogan ‘lebih baik putih tulang daripada putih mata’. Perbuatan laki-laki itu dianggap membuat keluarganya malu.” Cerita Ibuk makin seru. 

“Kenapa malu? Bukankah poligami itu sah-sah saja?”

“Malu karena dianggap tabu. Akhirnya, si laki-laki dilarang membocorkan soal pernikahan keduanya baik ke tetangga maupun keluarga istri pertamanya meski dia tahu. Dan dituntut adil dalam menjalaninya. Laki-laki itu menyanggupi. Soal adil, sudah dia pelajari dari gurunya yang juga mempraktikkan poligami.

“Sayangnya, adil yang dimaksud keluarganya adalah apa-apa mengutamakan istri pertama. Biarkan istri keduanya menderita. Itu risiko menjadi orang ketiga.”

Terlalu kejam. Pantas dalam konversasi rencana pernikahan yang kubicarakan dengan Yasmin lewat telepon, dia menyebut salah satu syaratnya tidak boleh mendua. Katanya, dia punya trauma sendiri terhadap poligami. Padahal, setahuku Abi dan uminya tidak pernah disela perempuan lain. Karena itu, Yasmin ingin menceritakannya di malam pertama nanti. Malam yang kami ingin dihabiskan dengan berbincang-bincang.

“Suatu hari istri pertama laki-laki itu hamil, tiga bulan menyusul istri keduanya. Di bulan ketujuh kehamilan istri pertamanya, keluarga sang laki-laki memaksanya pulang untuk mendampingi. Sedangkan, istri keduanya tengah hamil 4 bulan. Karena ingin memenangkan hati keluarganya, sang laki-laki membiarkan pujaan hatinya melewati masa-masa kehamilan sendiri.”

“Susah ya, Buk, kalau poligami?” Tangan Ibuk meraih tanganku yang masih masyuk di pundaknya. Seperti memberi kode agar aku duduk menghadapnya. Di sana aku menemukan luka menganga yang tak pernah Ibuk tampakkan kepadaku selama ini.

“Abimanyu. Kenapa Ibuk memberimu nama itu?” tanyanya yang kujawab dengan menggeleng lemah. Sebab, bukan perkara namaku yang butuh diurai, melainkan hubunganku dengan Yasmin yang tiba-tiba tidak diinginkan. “Dari lakon wayang yang diadaptasi dari cerita rakyat Cindelaras, Abimanyu diasingkan di hutan bersama ibunya. Sedang Arjuna menjalani hidup bahagia dengan Dewi Juwitaningrat. Seperti itulah kamu, Le. Maafkan Ibuk, merahasiakan tentang bapakmu yang masih hidup.”

Barulah kurasa semburan panas neraka. Bukan angin surga yang kerap kutemukan di balik suara Ibuk. Doktrin bahwa aku dilahirkan dalam keadaan yatim sudah mendarah daging sampai beberapa detik lalu. Kenapa harus ada kenyataan lain?

“Bapakmu pulang di usia kamu 4 bulan dalam kandungan karena tuntutan keluarganya. Dua bulan kemudian dia berkabar, lewat surat dengan penuturan yang menyakitkan. ‘Untung aku pulang, Dek. Di sini melahirkan anak laki-laki. Maafkan aku ya, mungkin beberapa bulan ke depan tidak ke Sidoarjo dulu’. Di situ Ibuk tahu, ternyata bapakmu menikah lagi bukan karena hati, tetapi obsesi. Obsesi mempunyai anak laki-laki, karena istri pertamanya melahirkan seorang putri dua tahun sebelum itu. Sampai Ibuk melahirkan, bapakmu ndak datang.”

Aku tahu, cerita Ibuk sejak tadi adalah riwayatnya selama ini. Riwayat yang dia simpan sendiri. Pantas kisah itu seperti menguliti senyum yang selalu menenangkan itu.

“Lewat pesawat telepon dia bertanya Ibuk melahirkan anak laki-laki atau perempuan. Ibuk katakan saja anak perempuan, dan dia malah berkata, ‘Syukurlah aku tak menukar waktu kebersamaanku dengan kacong untuk mendampingimu yang melahirkan anak perempuan’. Ibuk ndak sanggup, Le. Di situ Ibuk bilang, ‘Anakmu mati, Mas. Saya akan pulang ke Solo setelah keluar rumah sakit.’

Ambruk sudah kesatriaanku sebagai Abimanyu. Luruh dengan air mata yang berguguran. Aku merasakan sakit itu. Aku kecewa dengan Bapak. Kecewa sekali. Kalaupun ada kesempatan bertemu, aku pastikan tidak terjadi.

“Jangan menikah dengan Yasmin, Le. Sebab abi Yasmin adalah bapakmu.”

Inilah godam malaikat Munkar-Nakir di alam barzah yang disadur ke bumi. Menghantamku pada kenyataan telak yang tak dapat ditawar dengan apa pun. Yasmin denganku bersaudara. (*)

 

Wardah T. Pernah menulis dua novel. Ranjang Sebelah dan Single Kedua. Dapat dihubungi melalui email: wardah.selalucantik@gmail.com, Facebook: Wardah Toyibah, Instagram: wardahfull.

 

Editor: Imas Hanifah N

Gambar: Pixabay

 

Grup FB KCLK

Halaman FB kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply