Waking Up the Devil (30 Cerpen Pilihan TL-18)

Waking Up the Devil (30 Cerpen Pilihan TL-18)

Waking Up the Devil

Oleh: Sinta Franciska

30 Cerpen Pilihan Tantangan Lokit 18

 

Arion melangkah gontai, meninggalkan titik-titik air dari rambut serta tubuhnya yang masih basah dan hanya berbalut jubah mandi cokelat muda. Sama seperti malam-malam sepi yang harus dilaluinya dalam perih, dia langsung menuju ke dapur, ke rak anggur yang malam itu hanya menyisakan sebotol wiski untuknya. Padahal, Arion merasa belum terlalu lama sejak terakhir kali dia mengisi penuh rak anggur tersebut.

Setelah mengambil botol berisi cairan beralkohol keemasan itu dari raknya, dengan tangan kanan, Arion menarik terbuka salah satu laci yang terletak di deretan paling bawah. Sebuah seloki kaca berukir sebening kristal dikeluarkannya dari sana. Lalu, ditendangnya laci itu hingga tertutup dan menimbulkan bunyi berdebum yang cukup keras.

Arion berjalan ke ruang tengah. Dia mengempaskan tubuh di sofa yang terletak tepat di sebelah jendela besar yang memisahkannya dengan kebun bunga milik istrinya, Minara. Kebun itu masih terlihat cantik dan magis oleh pancaran cahaya kekuningan dari lampu taman yang dahulu diminta Minara untuk dipasang di sana. Namun, keindahan itu tidak lagi berarti apa-apa untuk Arion. Bukan lagi tangan istrinya yang menjaga dan merawat kebun itu.

Setelah meletakkan botol wiski dan seloki di atas meja di hadapannya, Arion meraih ponsel lama miliknya yang selalu dia letakkan di meja yang sama. Hanya satu yang dia cari di sana. Sebuah rekaman suara saat mimpi terburuknya menjelma menjadi kenyataan.

“Halo. Sudah berapa kali kubilang jangan menghubungiku lagi. Hubungan kita sudah berakhir, Irina!”

Begitu rekaman itu mulai diputar, suara Arion keluar dari pengeras suara pada ponsel yang dipegangnya. Entah mengapa saat kejadian itu, dia bisa lupa mematikan aplikasi rekaman panggilan telepon, padahal biasanya dia selalu berhati-hati jika berurusan dengan segala sesuatu yang menyangkut Irina.

“Tebak aku di mana sekarang?”

Saat suara Irina terdengar, dengan kasar Arion melemparkan benda kotak tipis hitam itu kembali ke atas meja.

“Aku di rumahmu!”

Ada kegirangan dalam suara Irina. Alunan nada bicara seperti gadis-gadis remaja yang manja itu, dahulu sempat membuat Arion begitu tertarik. Namun, nada suara dan perkataan Irina hari itu justru membuat jantung Arion mencelos.

“Kau di rumahku? Jangan main-main, Irina!”

Tanpa sadar Arion mendengkus mendengar teriakannya sendiri. Diraihnya botol wiski yang dia bawa dari dapur. Tanpa susah payah Arion berhasil membuka penutup botolnya. Dia lalu menuangkan minuman keras itu ke dalam seloki. Dengan sekali tenggak, cairan beralkohol itu sudah berpindah ke dalam dirinya.

“Kau tidak percaya? Coba saja kau dengar suara istrimu tercinta ini.”

Terdengar kekehan Irina, disusul kemudian suara yang sangat dikenal Arion. Suara Minara.

“Arion! Tolong aku!”

Tangan Arion gemetar saat suara Minara lirih terdengar. Jantungnya mulai bertalu-talu begitu Minara mengerang, pertanda ada rasa sakit yang harus ditanggung oleh wanita yang dicintainya itu.

Meski sudah mendengar rekaman itu berulang kali, Arion masih merasa begitu merana membayangkan betapa takut dan menderitanya Mirana pada hari nahas itu. Ada rasa bersalah dan kehilangan yang tidak pernah selangkah pun pergi meninggalkan Arion.

“Irina! Kau jangan macam-macam!”

Arion masih terus mengutuk ketidakhadirannya di saat Minara dalam bahaya. Mendengar suaranya sendiri yang hanya bisa menjerit bak orang kesetanan tanpa bisa berbuat apa-apa, membuat hatinya begitu pedih.

Saat peristiwa itu terjadi, Arion berada hampir dua ribu kilometer jauhnya dari rumah. Entah bagaimana Irina bisa tahu dan menggunakan kesempatan itu untuk datang ke sana. Jelas-jelas dia sudah memutus semua komunikasi dengan wanita itu.

“Kau sudah percaya?”

“Arion! Arion! Tolong aku!”

“Untuk apa kau panggil Arion? Justru dia yang membuatmu harus mengalami semua ini, Minara!”

Sambil mendengarkan rekaman panggilan telepon itu, Arion berkali-kali menuang dan menenggak wiski di tangannya. Perpaduan keduanya terasa bagai candu baginya. Seolah-olah rasa sakit, kebencian, dan dendam yang tercipta dalam dirinya setiap kali rekaman suara itu diputar adalah motor penggerak yang membuatnya tetap hidup.

“Irina! Jangan lakukan apa pun padanya atau aku akan telepon polisi!”

“Coba saja. Kalau kau matikan telepon ini atau kudengar ada suara sirene polisi di luar sana, akan langsung kubunuh dia!”

“Arion! Aku tidak mau mati!”

Setiap kali sudah tiba pada bagian ini, Arion hampir selalu refleks melemparkan seloki dalam genggamannya ke sudut ruangan. Arion tidak lagi bisa menghitung berapa banyak seloki yang berakhir di sana, karena keesokan hari saat wanita setengah baya dan tunarungu yang dia pekerjakan untuk membersihkan rumahnya datang, serpihan kaca yang berhamburan itu akan hilang tak bersisa.

“Jangan sakiti dia, Irina! Kumohon!”

“Seperti itukah caramu memohon, Arion? Aku memohon lebih memelas dari itu agar kau tidak meninggalkanku. Tapi apa? Kau tetap pergi!”

Suara Irina berubah. Dia lalu mulai terisak. Dengan terbata-bata dia melanjutkan perkataannya.

“Padahal aku tidak pernah minta kau menjadi milikku. Aku hanya ingin kau membagi sedikit saja waktumu untukku. Dua tahun aku menuruti semua aturan yang kau buat dalam hubungan kita. Pernah kau dengar aku mengeluh? Salahku di mana, Arion?”

Arion menutup wajah dengan kedua tangannya, lalu mulai mengacak-acak rambutnya. Kemarahan menggelegak di dalam dirinya. Kemarahan yang tidak hanya tertuju kepada Irina, tetapi juga kepada dirinya sendiri.

Seharusnya dia tidak pernah menghubungi wanita itu. Seharusnya dia biarkan Irina berlalu usai pertemuan tidak disengaja mereka setelah hampir sepuluh tahun terpisah. Seharusnya dia mengelak saat getaran rasa yang sempat hilang di antara mereka kembali menyapa hatinya. Andai semua itu bisa dilakukannya, mungkin Minara masih ada di sisinya.

“Irina, dengar! Kau tidak salah. Aku yang salah. Aku minta maaf. Kita akan bicarakan ini nanti, Sayang. Kita akan perbaiki semuanya.”

Arion kembali menenggak wiski yang tersisa langsung dari botolnya. Dia masih bertanya-tanya, apakah Minara sempat mendengar perkataannya itu? Namun, Arion bersumpah demi apa pun di dunia ini, yang diucapkannya saat itu hanya untuk keselamatan Minara, tidak lebih. Dia tidak benar-benar ingin melanjutkan perselingkuhannya dengan Irina.

Rekaman lalu memutar suara lengkingan tawa Irina yang begitu mengerikan. Tawa yang tetap membuat bulu kuduk Arion meremang saat mendengarnya. Arion masih tidak percaya, dari sekian banyak wanita yang dia temui di luaran sana, takdir justru membuat jalannya bersinggungan dengan jalan milik monster berwujud seorang Irina.

“Tidak ada yang bisa kau perbaiki, Arion. Aku sudah terlanjur kecewa.”

“Jadi, apa yang kau inginkan, Irina? Aku akan lakukan apa pun asal kau tidak menyakiti Minara.”

“Kau tidak perlu melakukan apa-apa lagi, Arion. Kau tidak akan bisa menyelamatkannya.”

“Tidak! Jangan, Irina! Kumohon, jangan lakukan itu.”

“Akan kubuat kau mengingatku seumur hidupmu, Arion. Dengan caraku sendiri!”

Rekaman itu selesai di sana. Namun, tidak dengan pikiran Arion. Di kepalanya terus berputar bayangan Minara yang sudah tidak bernyawa dengan kulit pucat seputih pualam dan luka-luka menganga yang nyaris ada di sekujur tubuhnya. Arion seperti melihat sebuah maneken rusak yang sengaja diletakkan dalam ruang penyimpanan mayat di rumah sakit.

Irina benar-benar melampiaskan seluruh kemarahan dan kegilaannya kepada Minara dengan begitu brutal. Menurut dokter forensik, ada sebanyak dua puluh empat luka tusukan pada tubuh Minara, yang paling mematikan adalah tiga tikaman yang mengarah langsung ke leher.

Saat mengetahui banyaknya luka Minara, Arion tersentak. Dia tahu pasti alasan Irina berhenti di hujaman yang kedua puluh empat. Angka itu spesial untuk Arion dan Irina karena keduanya lahir pada tanggal tersebut, hanya saja di bulan yang berbeda.

Dengan penuh perhitungan, Irina sengaja melakukan itu untuk membuat tidak lagi ada hari ulang tahun bahagia untuk Arion tanpa mengingat rasa sakit yang harus dialami Minara di akhir hidupnya. Secara otomatis juga, kenangan yang menghantuinya itu akan mengingatkannya kepada Irina.

Menyadarai bahwa tujuan Irina untuk membuatnya terus mengingat wanita itu tercapai, kemarahan Arion mencapai puncaknya. Setelah menenggak habis sisa wiskinya, botol kosong itu berakhir menjadi kepingan di tempat yang sama dengan seloki sebelumnya.

Bersamaan dengan bunyi kaca yang pecah berserakan, bel pintu rumah Arion berbunyi, mengalunkan sebagian melodi dari lagu kesukaan Minara. Arion beranjak. Dia merasa seperti melayang. Wiski yang diminumnya mulai bereaksi. Terhuyung-huyung dia berjalan untuk membuka pintu.

Tanpa dipersilakan, ketiga orang sahabat lelakinya melangkah masuk. Seperti sudah mengenal rumah Arion dengan baik, mereka langsung berjalan menuju ke salah satu pintu yang selalu terkunci dari luar.

“Malam ini, kami mau meminjam mainanmu lagi,” ujar salah satu dari ketiganya. Dia langsung memutar kunci pintu yang akan membawanya ke ruang bawah tanah rumah Arion.

“Kau masih ingat syaratnya?” tanya Arion.

“Tentu saja! Jangan membuatnya sekarat apalagi membunuhnya. Hanya kau yang boleh melakukannya. Benar, bukan?” sahut seorang lainnya.

Arion tidak menjawab. Dia melirik sekilas lalu kembali duduk di sofa yang tadi ditinggalkannya.

“Aku sampai bosan mendengarnya,” gerutu lelaki terakhir.

“Jangan lupa, buat dia berteriak sekeras-kerasnya!” pesan Arion sebelum ketiganya menghilang ke balik pintu itu.

Hanya beberapa menit, terdengar samar suara teriakan seorang wanita, teriakan Irina, penuh kesakitan dan penderitaan. Arion tidak pernah ingin tahu apa yang ketiganya lakukan kepada tawanannya di bawah sana. Luka-luka di tubuh Irina yang nanti dilihatnya sendiri akan menjelaskan semuanya.

“Malam ini biar mereka yang menghukummu,” gumam Arion. Seulas senyum terukir di bibir Arion.

Jika ketiga sahabatnya tadi tidak datang, Arion sendiri yang akan turun ke sana dan menyiksa wanita itu. Tidak ada pembalasan yang lebih melegakan untuk Arion selain mendengar Irina menjerit kesakitan dan meminta pengampunan darinya.

“Arion! Tolong aku!”

Terdengar lagi teriakan samar yang memanggil namanya, meminta pertolongannya, tetapi Arion tidak pernah peduli. Memang itu yang dia harapkan. Makin keras teriakan itu, makin reda kemarahannya. Bahkan ada sedikit penghiburan yang datang menyelusup ke relung hatinya.

Bagi Arion, itulah hukuman yang paling pantas. Penjara tidak akan menegakkan keadilan dengan seadil-adilnya. Irina mungkin akan dikurung seumur hidupnya di sana, tetapi dia tidak akan merasakan kesakitan seperti yang sudah diperbuatnya kepada Minara. Arion tahu dirinya tidak akan puas. Untuk itulah dia memutuskan menghukum sendiri wanita itu.

Arion menyandarkan kepala dan memejamkan matanya. Dinikmatinya teriakan merana Irina yang masih sesekali terdengar dari bawah sana. Dia akan membuat wanita itu merasa tak ubahnya boneka yang hina dan tidak berharga.

Irina pernah menjadi malaikat pencabut nyawa bagi Minara, sementara Arion akan membuat dirinya menjadi iblis bagi wanita itu. Iblis yang akan membuat hidup Irina seperti di neraka, hingga akhirnya andai mereka terlahir kembali, Irina akan memohon agar dia tidak pernah dipertemukan dengan Arion.

“Arion! Arion! Tolong aku!”

“Untuk apa kau panggil aku? Justru aku yang membuatmu harus mengalami semua ini, Irina!”(*)

Pangkalpinang, 17 Oktober 2021

Sinta Franciska, mendengarkan kisah-kisah kriminal dari youtuber Indonesia masih menjadi salah satu kegiatan wajib baginya di waktu senggang. Tidak heran bila dia merasa tertantang saat tantangan ini dilemparkan oleh Komunitas Lokit. Naskah ini adalah cerpen bertema kriminal pertama yang ditulisnya.

Komentar juri, Imas Hanifah

Kenapa cerpen ini menjadi salah satu cerpen yang terpilih?

Salah satunya karena cara bertutur penulis yang begitu mengalir. Bagaimana penulis dengan mulus menceritakan satu demi satu peristiwa di masa lalu tokoh utama, serta bagaimana penulis menggambarkan rasa sakit yang tokoh utama rasakan.

Beberapa adegan di dalam cerpen ini pun, yang terlihat simpel, salah satunya seperti seloki yang dilemparkan, menambah kuat penggambaran betapa kesalnya tokoh utama.

Selain itu, karya Cesilia Franciska ini mampu memberikan ending yang terasa sangat “kriminal”. Tokoh utama tidak melapor ke polisi, melainkan menyiksa sendiri orang yang dibencinya dengan cara yang lebih kejam.

 

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply