Maling Kotak Amal dan Anjing Bark
Oleh: Diah Estu Asih
30 Karya Pilihan Tantangan Lokit-18
Wak Cipto menempati rumah paling pinggir di Desa Cangkrak, berdekatan dengan sawah dan sepetak kebun singkong. Tiang-tiang rumahnya dari kayu yang sudah keropos dan kerap kali mengeluarkan butiran-butiran berwarna kuning. Dindingnya dari bambu-bambu yang dibilah tipis kemudian dianyam. Atapnya dari genting semen dan sudah banyak yang pecah sehingga ketika hujan turun, air membasahi lantai tanah di rumahnya. Ia tinggal bertiga saja di rumah reot itu: ia, istrinya, dan seekor anjing yang diberi nama Bark.
Bertahun-tahun lalu, Wak Cipto menemukan Bark terkapar di pinggir sawah setelah hujan badai menerjang desa itu. Setiap kali hujan seperti itu datang, Wak Cipto mengkhawatirkan rumahnya akan roboh. Waktu itu ia bersyukur karena Tuhan memberikan kekuatan lebih pada rumahnya sehingga ia masih selamat setelah hujan reda. Istrinya segera membersihkan lantai yang digenangi air sampai semata kaki. Perabot-perabot yang terendam segera diangkat ke tempat yang lebih tinggi. Wak Cipto keluar, meneliti keadaan sekeliling rumahnya yang sudah berantakan.
Ia melihat padi-padi di sawah banyak yang rebah, sebagian besar terendam air. Singkong milik tetangganya juga tak mampu lagi berdiri tegak. Beberapa pohon besar roboh menutupi jalan, sebagian hampir roboh, dan beberapa menimpa pohon yang lain.
Untung tak ada yang menimpa rumahku, batinnya begitu lega. Namun, ia tetap harus menyingkirkan kayu-kayu dan sampah-sampah yang terbawa arus air dan angin di sekitar rumahnya. Wak Cipto mengumpulkan semuanya di belakang rumah. Esok, ketika matahari membuat sampah-sampah itu kering, ia akan membakarnya sampai menyisakan abu hitam saja. Di tengah kegiatan itulah Wak Cipto mendengar suara ngik-ngik-ngik dari seekor anjing cokelat. Ia buru-buru menghampirinya, lalu memeriksa kondisinya. Anjing itu sudah tak mampu berdiri, tetapi ketika Wak Cipto memberinya nasi, anjing itu mau menjilat.
“Rawatlah, anggap anak sendiri,” kata istrinya sambil lalu.
“Aku ingin punya anak, tetapi bukan anjing,” balas Wak Cipto. Ia mengusap kepala anjing yang basah itu tanpa perasaan sayang, kemudian meninggalkannya dengan sepiring nasi sisa yang terkena percikan air.
Istrinya berkata tegas, “Anggap dia peliharaan.”
“Mau berbagi jatah nasi dengan seekor anjing sekarat?”
“Anjing itu punya rezekinya sendiri.” Istrinya mengelus tubuh anjing yang basah itu dengan rasa kasihan. “Kuberi nama dia Bark. Aku pernah membaca nama anjing seperti itu, tapi lupa di mana tepatnya.”
Akhirnya, Wak Cipto membiarkan anjing itu tumbuh di rumahnya. Anjing yang malang, bisiknya pada sang istri setiap kali melihat anjing itu hanya makan nasi dan sayur. Tidak ada daging untuk ia berikan kepada sang anjing. Kadang-kadang, anjing itu menangkap tikus di sawah, membuat pemilik sawah murka karena padinya rusak tertimpa tubuh sang anjing. Beberapa kali selama Bark hidup di rumah itu, tubuhnya tiba-tiba terkapar lemas dan muntah-muntah. Rupanya pemilik sawah memberikan racun kepada tikus dan Bark memakannya.
Wak Cipto tak berusaha keras untuk menyembuhkan Bark, begitu pun istrinya. Ia hanya memberi Bark air minum dan sepiring nasi dicampur kuah sayur bayam, maka beberapa hari kemudian Bark akan sehat lagi. Untuk beberapa saat, Bark tidak akan mencari tikus di sawah. Pemilik sawah pun mengeluhkan padinya habis termakan tikus. Lalu tak lama Bark akan menangkap tikus di sawah dan memakannya, pemilik sawah pun mengeluh padinya rusak atas ulah Bark.
Waktu yang Wak Cipto dan istrinya lalui bersama Bark semakin panjang. Lama-lama ia betul-betul menganggap Bark anaknya sendiri. Sering kali sebelum tidur, ia berpesan pada Bark. “Tangkap tikus dengan hati-hati, jangan merusak padi orang.”
Bark membalasnya dengan suara ngik-ngik-ngik yang khas.
***
Anjing itu terus menatapku. Lidahnya terjulur, telinganya menegak. Saat aku melangkah sedikit saja, matanya langsung mengikuti gerakanku dan mulutnya terbuka seperti akan menggonggong. Aku mulai resah, takut kalau ia menggonggong dan membangunkan pemiliknya. Kuusahakan melangkah tanpa suara, tetapi ia tetap menatapku. Aku tak punya daging atau makanan anjing, aku tak punya apa-apa untuk diberikan kepadanya.
Akhirnya, aku memilih duduk di pinggir rumah reot itu. Anjing itu tetap menatapku seperti musuh.
“Jangan khawatir,” ucapku padanya. “Aku tak akan mencuri di rumah ini.”
Lagi pula, aku tahu rumah ini tidak punya apa-apa untuk dicuri. Maling mana pun bisa masuk dengan mudah. Pintunya hanya dicekal kayu kecil yang sekali dorong akan lepas. Gedek rumahnya juga bisa dihancurkan dengan mudah. Namun, tak ada maling yang melakukannya karena semua maling tahu, pemilik rumah ini adalah Wak Cipto dan istrinya—si paling miskin di Desa Cangkrak.
“Makan apa kau selama hidup di sini?” Aku bertanya pada anjing itu dengan suara pelan. Ia mulai sedikit tenang, perlahan duduk tak jauh dariku. “Pergilah yang jauh, curi ayam beberapa orang kaya. Kau akan makan enak. Kalau mau bawa ayam itu pulang dan majikanmu akan makan enak juga.”
Aku tak berniat memberi tahunya. Memangnya anjing bisa mengerti bahasa manusia? Kayaknya tidak. Aku bilang begitu hanya untuk pelampiasan kekesalan. Aku sama miskinnya dengan Wak Cipto, tinggal di desa sebelah. Nasib miskin seperti kami akan semakin miskin dan tertindas, sementara yang kaya akan semakin kaya dan berkuasa. Untuk bertahan hidup, aku harus mencuri. Hasil curianku akan membuat anak-anakku tersenyum senang karena bisa makan nasi campur tempe.
Melihat anjing itu diam, aku berdiri lagi. Anjing itu mengamati gerakanku. Lalu aku berjalan sambil memberinya kode dengan tangan agar tetap tenang. Aku mulai panik lagi saat anjing itu juga berdiri dan mengikutiku berjalan. Lalu aku berhenti, dan dia berhenti. Aku melangkah, dan dia juga melangkah.
“Mau ikut denganku, kawan?” tanyaku tak yakin. “Kubagi dua hasilnya denganmu. Kita curi uang saja malam ini.”
Aku mencoba mencari jawaban dengan melangkah perlahan, lalu saat melihat anjing itu mengikutiku, kuputuskan menyimpulkan sendiri bahwa ia ingin ikut maling. Baguslah, aku jadi punya teman maling sekarang, meski ia hanya seekor anjing.
Aku berjalan di kebun-kebun belakang rumah warga. Ada yang masih menyalakan televisi, ada yang masih ngobrol, ada pengantin baru yang masih bercinta, tetapi sebagian besar rumah hening menandakan pemiliknya sudah tertidur. Akan sulit mencuri uang milik warga. Aku tidak tahu di mana mereka menyembunyikan uangnya. Mungkin di bawah tumpukan bantal, di bawah tumpukan baju, atau di balik kutang-kutang para wanita. Aku memikirkannya dengan cermat. Di tengah Desa Cangkrak, ada masjid besar yang rutin dijadikan tempat Jum’atan. Di sana ada kotak amal yang diamankan dengan dua gembok: besar dan kecil. Membobol gembok bukan masalah besar untuk maling-maling berpengalaman sepertiku. Aku hanya butuh satu kunci utama, maka kotak amal itu akan terbuka. Masalahnya hanya bagaimana jika di dalam masjid itu ada yang sedang mengaji atau salat malam.
Tiba-tiba anjing di belakangku berbunyi ngik-ngik-ngik agak keras. Aku menoleh padanya.“Mau coba denganku?” tanyaku tak yakin.
Anjing itu tiba-tiba meloncat dan berlari mendahuluiku, menuju masjid Desa Cangkrak. Ia berhenti di pinggir masjid seolah mengerti insting seorang maling. Suasana terlihat sepi. Aku mengintip, ada dua lelaki tertidur di atas sajadah.
“Jangan bersuara, anjing,” bisikku, “jangan bangunkan mereka dengan suaramu. Tahan napasmu demi uang itu.” Aku menunjuk kotak amal yang ada di dekat pintu masjid.
Perlahan, aku dan anjing itu menjadi sekutu yang hebat. Dia memasuki masjid tanpa suara ngik-ngik-nya. Luar biasa keren, aku baru tahu anjing bisa menurut seperti dia. Lalu kukeluarkan kunci, pertama kubuka gembok kecil, lalu gembok besar. Begitu mudah dibobol. Namun tiba-tiba anjing itu bersuara, berisik sekali. Aku buru-buru mengambil uang di dalam kotak dan memasukkan semua ke dalam sarung.
“Maling! Maling!”
Aku meloncat melewati pembatas, menuju kegelapan.
Dor! Dor!
Anjing itu menggonggong keras berkali-kali sebelum suaranya hilang sama sekali.
Aku menuju kebun-kebun yang memiliki semak-semak rimbun, lalu menyeberangi sungai, melewati sawah, lalu ketika sampai di rumah, aku membuka pintu pelan-pelan agar anak-anakku yang masih tidur tak sampai terbangun.
“Aku selalu cemas setiap malam.” Istriku berujar pelan, nada suaranya sarat akan rasa sedih yang dalam. “Pulang saja ke rumah orangtuaku, kita hidup normal di sana.”
“Di sini kita juga hidup normal. Maling juga pekerjaan.”
“Pekerjaan merugikan orang lain maksudmu?”
“Mereka yang menahan rezeki kita tetap di kantongnya, aku hanya merebut paksa.”
***
Air mata Wak Cipto dan istrinya tak menunggu lama untuk jatuh begitu melihat Bark telah tewas. Warna merah bekas darah Bark yang mulai mengering, menodai kain yang digunakan untuk membungkus anjing itu. Apa salah Bark sampai-sampai ia harus tewas mengenaskan begitu, Wak Cipto bertanya-tanya. Apakah Bark telah merusak padi karena menangkap tikus?
“Kami membunuhnya, Wak.” Kata-kata lelaki yang memakai sarung dan baju koko itu terdengar lantang. “Karena dia berani maling.”
“Maling apa?” tanya Wak Cipto kebingungan. Apakah menangkap tikus juga dikatakan maling?
“Maling kotak amal. Bukankah Wak yang meninggalkannya di dalam masjid tadi malam? Kami tidak berhasil menembak malingnya, tapi kami berhasil menembak anjingnya.” Lalu, setelah menjeda beberapa lama, lelaki bersarung itu melanjutkan. “Malingnya sudah tentu pemilik anjing ini.”
Hati Wak Cipto dan istrinya semakin teriris mendengar itu. “Kami tidur semalaman,” katanya begitu yakin, tetapi warga yang berbondong ke rumahnya mengantarkan Bark pagi ini tak percaya. “Aku bahkan tak tahu Bark pergi tadi malam.”
“Tidak ada maling yang mengaku, Wak.”
“Jadi apa yang akan kalian lakukan?”
“Menghabisi maling.”
Wak Cipto langsung berdiri di depan istrinya. Tubuhnya yang telah ringkih itu agak gemetar, air matanya semakin deras berjatuhan. Ia menganggap Bark anaknya, sehingga ketika Bark mati, ia merasa gagal merawatnya. Bark telah menjadi maling, batinnya bergemuruh marah dan terluka.
“Tapi kami harus menemukan bukti dulu, Wak.” Lelaki bersarung itu menambahkan dengan cepat, “Uang kotak amal telah dicuri oleh maling.”
“Periksalah ke dalam rumahku.”
Lelaki bersarung itu meminta beberapa orang memasuki rumah Wak Cipto. Selama beberapa waktu, mereka keluar membawa uang yang dikareti. “Kami menemukannya,” katanya dengan kemarahan. “Kami menemukannya di dekat gedek bolong, Ustaz.”
Mengetahui itu, Wak Cipto dan istrinya menangis tersedu-sedu. Senapan diarahkan ke tubuh Wak Cipto, lalu terdengar suara letusan keras. Peluru meluncur dengan cepat mengenai dadanya, darahnya muncrat, lalu tubuhnya terjatuh ke tanah. Suara terakhir yang ia dengar adalah teriakan istrinya dibarengi dengan suara letusan senapan—lagi.
***
“Aku punya janji dengan seekor anjing. Dia yang membantuku maling malam ini. Biarkan aku bagi dua uangnya.”
“Kamu memberikan uang ke anjing?”
“Anjing itu maling untuk keluarganya. Pergilah ke stasiun dulu dengan anak-anak, aku tak mau meninggalkan desa ini dengan sepeser hutang pun, meski kepada anjing.”
Aku segera berlari melewati kebun-kebun dan semak-semak, lalu sampai di tempat Wak Cipto. Uang bagian anjing itu kuletakkan di dalam rumah Wak Cipto melalui celah gedek yang bolong. Lalu aku segera kembali menyusul istriku ke stasiun. Kami akan tinggal bersama mertuaku.
Lampung, 20 Oktober 2021
Diah Estu Asih, disapa Diah, menyukai sastra sejak bergabung dengan LokerKata. Saat ini kesibukannya adalah kuliah dan bekerja.
Komentar juri, Inu Yana:
Bagian pembuka cerita ini memang terasa agak lamban, tetapi tidak membosankan karena Diah menulisnya dengan rapi dan mengalir. Dari pembuka tersebut juga kita jadi tahu bagaimana awal mula kedekatan antara Wak Cipto dan Bark terjalin.
Di sini Diah pintar memilih nama untuk tokoh anjingnya, Bark, karena anjing ini memiliki kulit yang berwarna cokelat—seperti kulit pohon—dan (sudah pasti) menyalak.
Ada sisi jenaka dari cerpen ini, yaitu ketika Bark menangkap tikus di sawah, petani mengeluhkan padinya rusak oleh ulah Bark. Namun, saat Bark tidak menangkap tikus, mereka mengeluh lagi padinya banyak dimakan tikus. Ini seperti sebuah sindiran kepada manusia yang kerap kali protes—bahkan kepada Tuhan sekalipun, tentang musim. Saat musim hujan mengeluh karena cucian tak kunjung kering, saat musim kemarau mereka mengeluh tak punya air.
Kemudian pada bagian ending, merupakan sebuah ironi, di mana niat baik si maling ternyata menjadi sebuah kecerobohan yang malah membuat Wak Cipto dan istrinya celaka. Dan di bagian ending ini, dramanya dapat banget.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata