Air Mata Pengantin
Oleh: Arya Kusuma Mayangkara
30 Karya Pilihan Tantangan Lokit-18
Seharusnya hari ini menjadi hari yang paling bahagia dalam hidupku. Menjadi ratu sehari setelah dipinang oleh kekasih hati adalah impian semua gadis sepertiku. Namun, impianku musnah ketika tuntutan bakti seorang anak kepada orang tua membelenggu kedua kakiku.
Tusuk konde warna emas bermata berlian pemberian Om Burhan disematkan Bu Asih pada sanggul rambutku. Roncean melati pemanis sanggul tidak bisa kucium wanginya karena hidungku buntu akibat terlalu banyak menangis. Celak mata ini, berulang kali luntur oleh tetesan air mata yang mengalir di pipiku yang ranum.
Sebentar lagi aku akan dinikahi oleh Om Burhan, lelaki tua beristri dua yang telah membuat ayahku terlilit utang. Ayahku begitu tega menyerahkanku sebagai ganti pelunasan utang yang bunganya makin berlipat dan tak mampu dia bayar. Semua benda berharga milik Ayah sudah terjual untuk membayar bunga utang kepada Om Burhan. Tinggal aku satu-satunya harta berharganya yang belum dijual.
“Jangan menangis terus, Ningsih,” ujar Bu Asih, perias pengantin terkenal di kotaku.
“Aku ingin mati saja, Bu,” isakku lirih.
“Sabar, Neng. Kehidupanmu akan terjamin jika menikah dengan Pak Burhan.”
“Tapi aku tidak mencintainya, Bu.”
“Cinta akan tumbuh seiring waktu, jika kamu sudah resmi menjadi istrinya nanti.”
Bu Asih memulas lipstik berwarna merah darah ke bibirku.
“Ah! Cantiknya pengantinku hari ini!” ujar Bu Asih sambil memasang bunga mawar di sanggulku.
Aku memandang bayangan diriku di dalam cermin. Banyak orang memuji kecantikanku yang menurun dari Ibu. Katanya aku mirip sekali dengan Ibu ketika beliau masih muda. Namun, hari ini aku berharap petir menyambar wajahku menjadi buruk rupa. Biar Om Burhan tak jadi menikahiku.
***
Akad nikah berlangsung lancar. Om Burhan mengucapkan kalimat kabul dalam satu tarikan napas tanpa cela. Tentu saja dia hafal karena sudah dua kali menikah. Ayah memandangku dengan tatapan bersalah. Aku terus menangis di pelaminan, membenci keputusan Ayah. Ibu pun larut dalam kesedihan karena tak bisa berbuat apa-apa untuk menolongku.
Setelah bersalaman dengan para tamu, menjelang maghrib aku pamit kepada Om Burhan untuk mandi dan berganti pakaian. Sepanjang acara, dia menggenggam erat tanganku, membisikkan kata-kata rayuan mesum yang membuat telingaku merasa risih.
Aku hendak melepas kancing kebaya ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan di jendela kamarku. Gegas aku membukanya untuk melihat siapa yang berdiri di depan jendela.
“Kang Yana? Mau apa kemari?” Mataku terbelalak melihat kekasihku. Rasa haru terpancar dari tatapan kami berdua.
“Ayo lari bersamaku, Ningsih! Cepat! Sebelum ketahuan orang-orang!” ajaknya sambil menarik lenganku.
“Ta-tapi ba-bagaimana nasib Ayah nanti, Kang? Om Burhan pasti marah kepadanya,” jawabku ragu-ragu.
“Tidak ada lelaki lain yang boleh memilikimu selain aku!” tegasnya. Tersimpan amarah dalam nada suaranya.
Kang Yana membantuku melompat dari jendela. Cahaya lampu yang redup di samping rumah membantu kami mengendap-ngendap menyusuri semak tanaman luntas. Kami berdua melarikan diri mengendarai motor yang Kang Yana sembunyikan di hutan belakang rumahku.
***
Kami sampai di sebuah gubuk dekat danau di sebuah desa. Kang Yana mengajakku beristirahat sejenak karena gerimis tiba-tiba turun, suara petir bergemuruh menyambar di langit, kilat sesekali berkelebat menerangi suasana gelap akibat derasnya hujan. Aku meringkuk memeluk lutut karena takut sekaligus kedinginan.
Melihatku ketakutan, Kang Yana memelukku erat. Awalnya aku merasa nyaman dan terlindungi olehnya. Tak lama kemudian dia mulai menyentuhku dengan beringas.
“Jangan, Kang!” Aku meronta, menahan tubuhnya, dan mencoba melawan.
“Kamu cantik sekali hari ini, Ningsih.”
Kang Yana terus memaksakan dirinya kepadaku. Tubuhku tak berdaya melawan kekuatan tubuhnya yang atletis. Suara petir menggelegar mengiringi hilangnya sesuatu yang selama ini sangat kujaga. Teriakanku tak jua membuat dirinya merasa iba.
Aku menangis tersedu-sedu meratapi nasib sambil menyeka tubuh kotorku di tengah hujan dengan air danau. Rasanya aku ingin menenggelamkan diri ke tengahnya. Tak kusangka Kang Yana tega melakukan itu di saat aku merasa bahagia karena mengira dia datang untuk menyelamatkanku dari cengkeraman Om Burhan.
“Hujan sudah reda, berkemaslah. Kita pergi dari sini,” ujar Kang Yana sembari menyulut sebatang rokok. Sikapnya begitu tenang dan menyebalkan, seolah tidak terjadi apa-apa di antara kami.
“Mau ke mana kita, Kang?”
“Jangan banyak tanya, nanti kamu akan tahu juga.”
“Aku mohon antarkan aku ke rumah Bi Entin, saudara sepupu ibuku. Aku ingin tinggal di sana sementara waktu.”
“Kamu ikut aku saja dulu, Ningsih. Akan kuantar kamu ke sana nanti,” bujuknya.
Aku menurut, mengikuti langkahnya karena sudah tak mungkin pulang kembali ke rumah. Om Burhan akan menghajarku jika mengetahui keadaanku saat ini. Aku duduk melamun di boncengan motor Kang Yana sepanjang jalan, bertanya-tanya, ke mana nasib akan membawaku kali ini.
***
Kami berdua tiba di depan gerbang sebuah rumah mewah berlantai tiga. Kulihat ada banyak penjaga berpakaian hitam di teras rumah. Mobil-mobil mewah terparkir rapi di halaman depan rumah yang luas. Seorang satpam membuka pintu gerbang dan menyilakan kami masuk.
“Sudah lama kau tak kemari, Yan!” ujar lelaki bertubuh besar dengan tato di sekujur lengannya.
“Mami Mayang ada, Bang?” tanya Kang Yana.
“Masuklah, beliau sudah menunggumu sedari tadi,” jawab penjaga bertato.
“Rumah siapa ini, Kang?” tanyaku heran. Sepertinya Kang Yana sudah sering datang ke tempat ini.
“Diam, Ningsih! Jangan berisik! Ayo masuk!”
Kang Yana menggandeng tanganku masuk ke dalam rumah. Udara sejuk dari pendingin ruangan menyambut kami saat melangkah masuk. Ruang tamunya cukup luas. Lebih luas dari petak rumahku. Lampu gantung besar terbuat dari kristal menerangi seluruh ruangan. Sofa empuk berwarna hitam berbahan kulit tertata rapi dengan furnitur mahal lainnya. Wangi dupa menguar dari sudut ruangan. Membuatku merinding dan perasaanku mulai tak enak.
“Halo, Sayang!” seru seorang wanita paruh baya sambil menuruni tangga. Dia memakai kebaya merah terang dengan jarit sogan prada. Tangannya sibuk mengibaskan kipas bulu berwarna merah.
“Apa kabar, Mami?” Kang Yana mencium pipi kanan wanita itu. Tampak mereka cukup akrab dan sudah lama saling mengenal.
“Hmm, baik. Kamu bawa barang baru?” tanya Mami Mayang sambil memandangku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Iya, bagaimana menurut Mami?”
“Cantik juga! Masih perawan?”
“Tidak, Mi, tapi ini betul-betul bagus barangnya. Pasti jadi primadona di tempat ini.”
“Pasti sudah kau cicipi! Dasar nakal!” Mami Mayang menepuk kepala Kang Yana dengan kipasnya.
Kang Yana terkekeh sambil menggaruk kepalanya. “Maaf, Mi. Aku khilaf!”
“Dasar gombal!” Mami Mayang mencibirkan bibirnya. “Bonny! Ambilkan amplop di atas meja!” seru Mami Mayang kepada seseorang. Lalu Mami Mayang memberikan sebuah amplop cokelat tebal kepada Kang Yana.
Kang Yana tersenyum girang lalu mencium amplop itu. “Terima kasih, Mami Kesayangan!”
Tubuhku gemetar karena marah, ternyata Kang Yana menjualku ke Mami Mayang.
“Apa maksudnya ini, Kang? Kamu menjualku?” Mataku menatap tajam ke arahnya.
“Baik-baik kamu di sini ya, Ningsih. Kapan-kapan aku akan menjengukmu. Selamat tinggal.” Kang Yana mencium pipiku dan melangkah pergi.
Aku berlari mengejar Kang Yana dan menarik tangannya. “Aku mohon bawa aku pergi, Kang! Jangan tinggalkan aku sendirian di sini!”
“Bawa dia ke lantai atas!” perintah Mami Mayang kepada pengawalnya.
Dua pengawal Mami Mayang mencekal kedua lenganku, menyeret tubuhku naik ke lantai dua. Aku meronta-ronta dan meraung, memohon untuk dilepaskan. Namun semuanya sia-sia.
***
Sudah tiga bulan aku tinggal di rumah bordil Mami Mayang. Ucapan Kang Yana menjadi kenyataan. Aku menjadi primadona baru di rumah ini. Setiap hari ada saja lelaki kaya yang memesan jasaku. Aku menjadi anak kesayangan Mami Mayang. Pundi-pundi uangnya bertambah banyak sejak kedatanganku di tempat ini.
Malam ini aku berdandan cantik sembari menunggu kedatangan tamu di kamar sebuah hotel mewah langganan Mami Mayang. Tubuhku sebenarnya sangat letih, kesehatanku semakin menurun sejak terkena infeksi pada alat kelaminku. Akan tetapi Mami Mayang tak perduli. Dia membawaku berobat ke dokter dengan pengawalan ketat. Namun, dia tak mau memberiku izin untuk beristirahat. Aku harus tetap bekerja melayani pelanggan meski tubuhku lemah karena sakit.
Aku memandang bayangan wanita muda berwajah pucat di dalam cermin. Bayangan wajahku terlihat menderita meski ditutupi oleh make up tebal. Perjalanan hidupku begitu menyedihkan, sehingga kadang aku bertanya, di manakah Tuhan berada? Mengapa Dia tidak datang untuk menyelamatkanku?
Sanggul rambutku terlihat anggun dengan tusuk konde warna emas dan bunga mawar merah. Beberapa pelanggan suka jika melihatku mengenakan kebaya dan kain panjang. Aku cantik seperti putri keraton, begitu puji mereka.
Seseorang muncul dari balik pintu. Aku terkesiap ketika menyadari siapa yang datang. Senyumnya membuatku muak. Dendamku kepadanya semakin hari semakin menggunung. Aku menanti saat yang tepat untuk membuat perhitungan dengannya.
“Apa kabar, Sayang? Kamu semakin cantik saja, Ningsih!” Kang Yana tercengang memandangku. Tatapannya seperti binatang buas yang sedang kelaparan.
“Aku pikir kamu sudah mati, Kang!” jawabku ketus.
Kang Yana tergelak, lalu mencium kepalaku. “Orang jahat umurnya panjang, Ningsih.”
Dia menuntunku ke peraduan. Kami duduk bersanding di tepi ranjang, saling berbincang bak sepasang kekasih yang saling melepas rindu. Tangannya mulai bergerak liar dengan napas memburu.
Meski merasa jijik dengan sentuhannya, aku berpura-pura menikmatinya. Aku tak mau pengawal-pengawal Mami Mayang mengurungku lagi di gudang karena lalai dalam melayani pelanggan.
“Kamu sangat memesona, dan semakin lihai sekarang, Ningsih.” Mata Kang Yana terbelalak melihat pemandangan indah yang kuberikan kepadanya.
Kami bergerak berirama bak pasangan legendaris Roro Mendut dan Pranacitra. Saat Kang Yana memejamkan mata, larut dalam buaian kenikmatan surga terlarang yang dia ciptakan, dengan sekuat tenaga aku menghunjamkan tusuk konde ke lehernya. Darah muncrat seketika membasahi sarung bantal putih saat ujung tusuk konde itu merobek urat nadi di lehernya. Kang Yana menjerit kesakitan, sementara aku mengunci pinggangnya dengan kedua lututku.
Tusuk konde itu yang menjadi saksi penderitaanku di gubuk tepi danau tiga bulan yang lalu. Ketika manusia serakah yang menyamar menjadi kekasihku, tega merenggut milikku yang paling berharga. Aku selalu mengasah tusuk konde itu setiap hari, agar ujungnya semakin runcing, dan siap kugunakan sebagai senjata di saat yang tepat.
Aku tersenyum puas melihatnya meraung kesakitan. Tak ada belas kasihan untuk seorang pengkhianat. Kang Yana menggelepar sekarat, lalu mati di bawah tubuhku, tepat ketika para pengawal Mami Mayang merangsek masuk ke dalam kamar.
Tak lama kemudian polisi datang ke hotel, dan memborgol tanganku. Aku pasrah, meski nanti aku akan menghabiskan sisa umurku di penjara. Setidaknya aku bisa bebas dari penjara Mami Mayang.(*)
Surabaya, 20 Oktober 2021
Arya Kusuma Mayangkara, nama pena seorang nakes yang sedang menyamar menjadi penulis. Lahir dan dibesarkan di Kota Surabaya hampir setengah abad yang lalu. Kegemarannya membaca buku membuat bapak dua anak ini tertarik untuk menulis naskah dalam bentuk cerita pendek di sela-sela kesibukan profesinya sebagai nakes.
Pria yang suka menebar tawa di setiap postingan Facebook-nya ini menjadikan menulis sebagai sarana menjaga kewarasan dan mencegah kepikunan.
Komentar juri, Lutfi Rosidah:
Kekuatan cerpen ini terdapat pada feel yang dibangun oleh penulisnya: pembaca bisa merasakan sakit hati dan dendam atas perlakuan Kang Yana pada si tokoh–Ningsih. Sebuah penyesalan atas langkahnya yang sia-sia, yang bahkan menjerumuskannya ke lembah nista.
Setelah perasaan geram itu dibangun, pembaca diajak ikut membalas dendam, melampiasakan kekesalannya pada si tokoh antagonis. Kalau bisa teriak, mungkin pembaca bakal bilang, “Kapok!” bersama-sama.
Dan penulis penutup cerpen ini dengan pas, wajar dan berterima.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata