Luka

Luka

Luka
Oleh: Ketut Eka Kanatam

 

 

“Kenapa wajah Ibu begitu tegang? Tenang, Bu, semua akan baik-baik saja.”

Genggaman tangannya membuatku mengangguk sambil membalas senyumannya. Anakku semakin dewasa sejak tertimpa masalah. Kini, dia yang menenangkanku, mengambil alih tugasku sebagai ibu.

“Terima kasih, Nak. Ibu tidak apa-apa, hanya sedikit tegang saja.”

Lastri melepas kaca mata hitamnya. Wajahnya terlihat pucat dengan mata sembab. Sorot matanya memancarkan kekhawatiran yang sama seperti yang kurasakan. Namun dia berusaha menutupinya dengan senyuman.

Sejak kecil dia selalu menghiburku. Aku kerap kesulitan mengatakan apa yang ada di dalam hati. Lastri sering tiba-tiba saja menghampiri dan memelukku dengan erat. Biasanya, dia akan melakukan hal-hal yang konyol sehingga aku tersenyum melihat tingkahnya.

Ketukan palu yang terdengar begitu keras di telinga membuatku kembali menegakkan badan dan menatap ke depan. Akhirnya keputusan untuk Lastri sudah final. Hakim memberi keputusan secara resmi bahwa dia sah bercerai dengan suaminya.

“Kamu tidak apa-apa, kan, Nak?”

Begitu para hakim meninggalkan ruangan, aku kembali fokus kepada dirinya. Aku perhatikan wajahnya, ingin tahu bagaimana perasaannya.

“Ya, Bu, tidak apa-apa. Akhirnya statusku jelas sekarang!”

Ekspresi leganya membuatku yakin kalau dia mengatakan yang sebenarnya.

Aku memeluk bahunya saat kami keluar dari ruang persidangan tersebut. Aku terus melindungi Lastri dari serbuan wartawan. Mereka berebut ingin mewawancarai anakku. Bagi mereka, keputusannya untuk bercerai dari seorang artis merupakan berita yang sensasional.

Untunglah pengacara yang disewa oleh mantan suaminya bisa dengan sigap mengatasi situasi. Kami membiarkan mereka yang membuat keterangan tentang status anakku dengan artis tersebut.

Kami bergegas masuk ke mobil dan meninggalkan gedung itu secepatnya.

Sepanjang perjalanan menuju apartemennya, kami sama-sama terdiam. Aku membiarkan anakku merenung sepanjang perjalanan. Aku mengerti apa yang dirasakannya. Dia baru saja melewati satu babak tersulit dalam hidupnya. Tidak ada kata penghiburan yang bisa aku berikan untuk saat ini.

“Ibu pulang saja! Aku tidak apa-apa, kok.”

Begitu mobil berhenti, dia langsung mengatakan hal itu sambil tersenyum. Dia berusaha mengusirku dari rumahnya.

“Ibu temani kamu malam ini.” Tak kuhiraukan penolakannya. Aku bergegas turun mendahuluinya.

“Bagaimana dengan Bapak, Bu?”

Pertanyaan yang dilontarkan dengan khawatir membuatku menghela napas panjang.

“Tidak apa-apa, Nak. Sudah ada suster yang merawat dia.”

Akhirnya Lastri mengangguk mendengar jawabanku. Aku memegang tangannya yang terasa dingin. Kuantar Lastri menuju kamarnya untuk beristirahat.

“Tunggu sebentar, ya, Nak. Ibu akan masak untuk kamu.”

Tanganku dipegang olehnya, “Tidak usah, Bu. Aku tidak lapar. Aku hanya ingin tidur saja saat ini.”

Kuurungkan niat untuk meninggalkannya. Lastri bangkit dari kasur dan segera memelukku dengan erat. Raut wajahnya begitu sedih. Kepalanya yang menempel erat di perutku, kuelus dengan lembut.

“Menangislah, Nak. Jangan ditahan lagi,” pintaku dengan lirih. Meskipun dia yang meminta pernikahan segera diakhiri, aku sangat yakin kalau anakku juga menyimpan momen indah dengan suaminya. Dia berhak mengenang semua kenangan indah tersebut.

Aku mulai merasakan perutku basah karena Lastri menangis tersedu-sedu.

“Maafkan aku, Bu. Aku telah gagal mempertahankan perkawinan ini ….”

Ucapannya yang dikatakan dengan tersendat-sendat seperti itu telah membuatku ikut menitikkan air mata. Kegagalan yang kini dialami oleh anakku adalah kegagalanku juga. Aku berperan dalam semua kemelut yang menimpanya.

“Ibu yang meminta maaf padamu, Nak. Ibu tidak bisa menjadi contoh yang baik untukmu.”

Aku mengatakan hal itu dengan rasa bersalah. Akulah yang salah. Anakku telah mencontoh diriku.

Selama ini, rumah tanggaku juga tidak dalam keadaan baik-baik saja. Aku selalu menahan diri setiap dilecehkan oleh Mas Burhan. Dia sanggup menghina diriku baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan.

Aku tidak berdaya melawan dirinya. Setiap dia mengkritik dengan kata-kata yang menyakitkan, aku tak pernah membantahnya.

Orangtuaku telah mewanti-wanti agar aku selalu mematuhi suami. Dia merupakan menantu idaman bagi orangtuaku. Dengan pekerjaan mapan sebagai dosen dan latar belakang keluarganya yang terpandang, membuat kedua orangtuaku sangat bangga memiliki dirinya sebagai menantu.

Awalnya, aku pun merasa bangga dipersunting olehnya. Aku yang hanya mengandalkan kepintaran agar bisa mendapat beasiswa kuliah, akhirnya dilamar oleh dosen sendiri.

Meskipun aku tidak bisa menyelesaikan kuliah karena mengandung Lastri, kedua orangtuaku tidak mempermasalahkannya. Mas Burhan telah memenuhi kewajiban sebagai menantu yang baik.

Hal itu juga yang membuatku tidak pernah menganggap perbedaan kami sebagai masalah. Aku selalu menuruti segala ucapannya. Dia pemimpin keluarga, maka aku patuhi semua tanpa syarat. Sayang, sikapku lama kelamaan semakin tidak memuaskan dirinya. Dia selalu menemukan kesalahanku. Dia menuntut kesempurnaan, membuatku kesulitan memenuhinya. Semakin lama dia semakin terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya terhadap kelemahanku.

Dia mengkritikku karena dianggap tidak becus masak, tidak sempurna mengurus rumah tangga. Tak hanya itu, dia juga sering mengeluh setelah aku melayaninya kebutuhan biologisnya.

Tidak ada tempat untukku mengadukan semua perlakuannya. Siapa yang mau percaya apa yang aku alami di dalam rumah jika dia terlihat begitu sempurna di mata semua orang? Tidak ada! Mereka sering mengatakan kalau aku beruntung mendampingi dirinya.

Aku harus menelan semua kepahitan yang dia berikan. Aku hanya bisa menangis diam-diam di dalam kamar mandi jika rasa sesak di dada sudah tidak bisa tertahan lagi.

“Apakah salah jika aku ingin bahagia, Bu, dengan melepaskan diri dari dirinya?”

Ucapan Lastri kembali menyadarkanku dari lamunan panjang. Dia mendongak, menatapku dengan pipi basah.

“Tidak, Nak! Tidak ada yang salah. Kamu sudah benar dengan mengambil keputusan seperti ini.”

Aku hanya bisa mengatakan hal itu sambil mengusap air matanya dengan selembut mungkin.

“Ibu selalu mendukungmu, Nak. Jika dengan bercerai kamu merasa bahagia, maka Ibu tidak akan meragukan keputusanmu. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan Ibu juga, Nak.”

Aku mengatakan dengan sungguh-sungguh. Entah sudah berapa kali aku ingin berpisah dengan Mas Burhan, namun selalu kuurungkan karena mengingat Lastri.

Mas Burhan membuatku selalu terlihat buruk dalam melayaninya. Namun, dia bisa bersikap sangat baik kepada anak kami.

Dia bangga dengan putri tunggal kami. Suamiku memenuhi semua kebutuhan Lastri. Dia semakin menunjukkan kasih sayangnya ketika melihat tumbuh kembang Lastri yang begitu pesat. Dia terlihat bangga Lastri menjadi penerusnya.

Setiap saat dia mengatakan harapannya kepada anak kami. Dia mengatakan kalau Lastri sangat cerdas, dia bisa menjadi seorang ilmuan dengan kecerdasannya itu.

Aku bahagia mendengar pujiannya. Aku merasa lega, dia memperlakukan Lastri dengan sangat baik.

Namun, badai mulai menghampiri anakku. Harapannya yang begitu melambung tinggi itu tiba-tiba saja harus terhempas ketika Lastri mengaku telah hamil oleh pacarnya padahal dia baru tamat SMA.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Mas Burhan melakukan kekerasan pada Lastri. Dia menampar dan memukulinya tanpa ampun. Semua kata-kata kasar keluar dari mulutnya. Kata-kata merendahkan yang biasanya hanya dia lontarkan untukku, kini semua itu dihamburkan di depan anakku.

“Kamu itu persis ibumu! Aku poles seperti apa pun, tetap saja tidak bisa berkilau. Kalian sudah membuat aku terlihat begitu hina di depan semua orang!”

Ucapannya bukan hanya menyakitiku, tetapi juga menyakiti anakku.

“Apa kamu bilang, Mas? Dia persis aku? Apa kamu sudah lupa? Dulu aku hamil bukan karena memang niat menggoda kamu. Kamulah yang telah memaksa aku! Kamu bilang, demi nilai dan kelulusan, kamu merengut kehormatanku. Siapa yang hina di sini? Aku atau kamu?”

Malam itu, untuk pertama kalinya aku melawan makiannya. Sebuah tamparan mendarat di pipiku sebagai ganjarannya.

Tidak ada air mata keluar dari mataku saat memegang pipi yang terasa perih. Aku semakin sengit menatapnya. Apa yang selama ini dilakukannya jauh lebih menyakitkan dari pada tamparan itu.

“Aku akan buat perhitungan dengan laki-laki itu!”

Dia pergi untuk mencari laki-laki yang telah menghamili Lastri. Kedudukan Mas Burhan sebagai dosen mampu membuat keluarga laki-laki itu bertekuk lutut

Anakku memulai kehidupan rumah tangga mirip denganku. Selama dia menjalani kehidupan berumah tangga, aku selalu mencoba meyakinkan diri kalau dia menjalani takdirnya dengan gembira. Dia hamil karena keinginannya sendiri dan semua itu atas dasar sukarela dan cinta.

Anakku hamil dalam keadaan saling mencintai dengan pasangannya. Berbeda dengan diriku yang tersudutkan oleh keadaan. Aku hamil karena kehormatanku direnggut.

Sejak Lastri menikah, ada perubahan pada diri Mas Burhan. Dia semakin terang-terangan menunjukkan kalau dirinya sudah tidak puas dengan pelayananku di kasur.

Dia mulai menebar pesona di depan mahasiswi. Mereka yang mau menghalalkan segala cara demi selembar ijazah dan gelar di belakang nama.

Aku sibuk menata hati, sehingga lupa memperhatikan kehidupan anakku. Begitu dia datang sambil menangis di pangkuanku sambil mengatakan ingin bercerai, baru aku tersadar kalau selama ini dia tidak baik-baik saja menjalani kehidupan rumah tangganya.

“Aku tahu, Ibu juga tidak bahagia hidup dengan Bapak. Bapak sering menghina Ibu di hadapan semua orang. Mentang-mentang Bapak punya sederet gelar, sedangkan Ibu sudah drop out dan hanya jadi Ibu rumah tangga.”

Kali ini, ucapan Lastri yang dikatakan dengan nada penuh amarah telah membuatku tertegun. Ternyata, dia tahu keadaanku yang sebenarnya. Sia-sia saja selama ini aku menutupinya.

“Kenapa tidak minta cerai saja dari Bapak, Bu?”

Pertanyaan anakku hanya sanggup kubalas dengan gelengan. Haruskah ibumu ini katakan kepadamu, Nak, bahwa sudah beberapa kali aku ingin mengakhiri kehidupan rumah tangga yang sudah membuat hatiku mati rasa. Namun, semua itu tidak bisa kulakukan.

Ada kebahagiaan kedua orangtuaku dipertaruhkan dalam perkawinanku. Ada kebutuhan kedua adikku yang harus aku penuhi. Semua itu tidak bisa membuat aku bebas mengambil keputusan untuk berpisah begitu saja dengannya.

“Ibu berbeda dengan kamu, Nak. Ibu akui, sikap bapakmu sangat keterlaluan. Namun, Ibu merasa sangat yakin kalau suatu saat bapakmu akan berubah.”

Akhirnya Mas Burhan memang berubah. Dia menjadi bergantung kepadaku setelah mengalami penyakit kelamin. Penyakit yang membuat dirinya tidak berdaya dan mulai menggerogoti kepercayaan dirinya sebagai laki-laki perkasa dalam segala bidang.

“Suamiku tidak akan berubah, Bu. Sudah berkali-kali dia mengatakan berhenti. Namun, terus mengulangi kesalahan yang sama. Lebih baik aku melepaskan diri darinya sebelum Ani menjadi tumbal dari keegoisannya.”

Lastri menyebut nama cucuku dengan sorot mata penuh tekad. Aku hanya bisa mengangguk menyetujui ucapannya. Jerat narkoba telah membuat suami Lastri semakin jauh, tidak lagi bisa kami raih. Dia begitu sering berpesta dengan rekan-rekannya. Dia juga sering melampiaskan fantasinya ketika mabuk pada Lastri. Tubuh anakku penuh luka memar akibat perbuatannya. Dia akan semakin bernafsu saat melihat anakku menjerit kesakitan. Hal yang paling menyakitkanku dari semua penderitaan Lastri adalah sikap keluarga besanku. Mereka tahu, tetapi menutup mata. Semua boroknya selalu ditutupi oleh kedua orangtuanya dengan uang. Berapa kali anakku sudah dalam perawatan psikiater atas derita batinnya itu.

Aku tidak bisa diam saja melihat kelakuannya. Aku tahan disiksa oleh suami, tetapi tidak akan rela anakku disiksa seperti itu.

Aku menyuruh orang untuk memata-matai menantu. Setelah bukti cukup di tangan, aku ancam besan dengan bukti-bukti tersebut. Jika mereka tetap dengan sikapnya, aku akan hancurkan kariernya.

Akhirnya, mereka mau melepaskan cengkeramannya pada anakku. Aku lakukan tanpa sepengetahuan Lastri. Aku hanya terus menasihati dia agar berani mengambil keputusan demi menyelamatkan anaknya.

“Aku tidak bisa pemaaf seperti Ibu. Aku dendam pada Mas Pras. Dia telah merusak diriku, Bu!”

Aku hanya bisa menatap matanya saat dia mengatakan hal itu.

“Semua sudah berakhir, Nak. Jangan kamu pikirkan dia lagi.”

Perlahan kembali aku membujuknya agar segera istirahat. Begitu dia menurut, aku segera menutup pintu kamarnya dengan rapat.

Aku berdiri di pintu kamarnya, merenungi semua yang telah terjadi.

Aku tidak persis seperti yang diduga Lastri. Aku telah melakukan sesuatu pada Mas Burhan. Tidak lagi dia kulayani dengan sepenuh hati. Kutelan saja makiannya saat mengatakan aku frigid. Aku tidak peduli saat dia mencari kepuasan dengan wanita sembarang yang akhirnya memberi dia penyakit yang kini dideritanya.(*)

Bali, 14 Oktober 2021

Ketut Eka Kanatam, penyuka warna ungu. Guru TK yang ingin tulisannya dibaca oleh semua anak didiknya.

Editor : Rinanda Tesniana

Gambar : https://pin.it/4TrHcHJ 

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply