La Vie Es Belle, Gheishara!

La Vie Es Belle, Gheishara!

La Vie Es Belle, Gheishara!
Oleh : Gloria Pitaloka

 

Paris, 12 Juli 1789.

Cuaca panas di ibukota membuat keringatku menetes hingga membasahi tubuh setelah selesai latihan terakhir untuk pertunjukan tari baroque di perhelatan besar kaum bangsawan negeri, di Teater Boulevard pekan ini.

Selesai latihan, pelayan bangsawan Madam Darcy de Coigny—Lucille—mendatangiku, membawa roti dari majikannya.

Setelah mengucapkan terima kasih atas kemurahan Madam, aku menerima roti itu dengan senang hati. Bagiku, saat situasi seperti ini, di mana seluruh rakyat kecil sedang kelaparan, mendapatkan hadiah roti adalah anugerah dari Tuhan.

Perlahan aku mengunyah roti ini sambil membayangkan perjuangan Papa–Jean de Saville—ketika menanam gandum. Kemudian menggilingnya jadi tepung. Dan Mama dengan tangannya yang kasar mengolah tepung menjadi roti. Ironisnya, ketika sudah menjadi roti, belum tentu mereka bisa menikmati. Pajak yang mahal, hasil bumi yang selalu dirampas, belum lagi gagal panen musiman yang membuat kami para petani dan rakyat kelas bawah harus kelaparan sepanjang musim dan berutang pajak serta makanan.

Mataku berkaca-kaca. Ini adalah makanan terenak yang pernah kucicipi dari tepung gandum terbaik, bukan tepung yang keras dan hitam lengket.

***

Hari Pertunjukkan.

Hening. Sekelilingku terasa menggelap. Aku seperti berada dalam ruang kosong yang terang. Hanya cahaya yang fokus menerangiku. Udara malam yang mendadak terasa hangat seakan membantuku untuk tetap meliuk dan bergerak seperti batang-batang gandum kering tertiup angin kencang, bergerak teratur, meliuk, dan terbang terbawa angin. Aku adalah satu bintang paling cerah di langit dan hanya satu bulan untukku. Sisanya gelap.

Hanya ada Geishara.

Ruangan yang tadinya sunyi, mendadak dipenuhi gemuruh tepuk tangan. Dan musik latar pentas tarian baroque mendadak terdengar seiring kuakhiri tarian. Bahkan, sekeliling gedung teater ini, tampak terang benderang dan para bangsawan memenuhi lantai-lantai di gedung teater ini.

Tarian baroque adalah kesukaan para bangsawan. Dalam hal ini aku berterimakasih pada Raja karena berkatnya seni mencapai masa keemasan. Ia sangat menghargai seni dan penampilan. Istana Versailles dibangun untuk kami para seniman, meski tujuannya untuk kesenangan kaum bangsawan.

Di dalam ruangan berdinding keemasan perlambang kemegahan raja itu, kami mementaskan banyak tarian, pesta-pesta dansa, dan jamuan-jamuan dengan roti lembut, selai dan mentega, serta anggur dan wine terbaik. Namun ironisnya, di luar sana rakyat mengais sisa makanan, mereka kelaparan.

Di ruang ganti, aku menyingkirkan pakaian tari dan menggantinya dengan gaun serta tatanan rambut yang lebih simpel.

“Aimee, selamat, performa yang luar biasa.” Sesosok tubuh muncul dari balik tirai. Ia, Frankeistein, manajerku, pemusik latar, satu-satunya yang selalu memanggilku Aimee, hanya ia seorang. Kata cinta tak pernah terucapkan dari mulutnya hingga detik ini, walaupun sekian lama aku menunggunya. Raut wajahnya terbingkai rahang kukuh. Berbanding terbalik dengan perlakuannya yang sangat lembut. Mataku tertumbuk pada sebuket mawar dihiasi pita sutra yang sangat besar. Ah, hatiku berdesir. Mungkinkah kata itu akan terucap saat ini? Kata orang, bunga adalah lambang ungkapan cinta.

“Berkatmu juga, Frank.”

“Untukmu,” katanya menyodorkan buket itu.

Aku tersenyum dengan hati yang terasa melambung. Perempuan mana yang tak akan luluh dengan semua keromantisan lelaki, terlebih yang memiliki sorot mata lembut seperti Frank.

“Darimu?” Sengaja aku menghidu aroma bunga merah itu dalam-dalam. Harumnya menyegarkan tubuhku dan membuat anganku melambung.

“Bukan.” Meskipun aku tahu itu, tetap saja terasa dihempaskan dari ketinggian. Tanpa sadar aku memegang dadaku. Saat kuangkat wajah, tatapan mata kami bertemu.

“Dari penggemarmu.”

Aku bergeming. Merasa kecewa kemudian aku menunduk, berusaha mengamati bunga itu. Kuraba setiap kuntumnya dan menemukan selembar kartu, “datanglah ke ruanganku. Aku menunggumu.” Ketika mengangkat wajahku, Frank, lelaki itu menatap lekat.

“Ini kesempatanmu,” ujarnya. Mendengar ucapannya, aku kembali sadar apa yang harus kulakukan. Namun, melihat wajah sendunya, hatiku ragu. Pikiranku berkecamuk. Haruskah? Bagaimana jika … ah, rasanya mendadak gelisah.

“Aku pastikan selalu mengawal dan menjaga keselamatanmu, Aimee.” Ia menjura, menekukkan satu lututnya dan mengulurkan telapak tangannya. Aku melangkah dengan bahagia, kami seperti sepasang pengantin hendak menuju altar.

Ajudan Tuan Phillippe de Benoit, sang pengundang, menyambut kami di lantai atas.

“Silakan, Nona Gheishara de Franch. Tuan sudah menunggu.”

Namun, ketika kami berdua melangkah, ia menghentikan kami.

“Maaf, Tuan Frankestein, hanya Nona Gheishara yang boleh masuk.” Frank menatapku, dengan sorot mata penuh kekhawatiran. Aku mengangguk.

Aku akan baik-baik saja, Frank, aku memberi isyarat dengan sorot mata. Meski terlihat enggan, Frank akhirnya membiarkanku pergi tanpa dirinya.

“Mari, Nona.”

Aku mengikutinya. Gedung ini memiliki banyak ruangan berpintu. Setibanya di depan sebuah ruangan dengan pintu tertutup, ajudan itu berhenti dan mengetuk pintu dengan hati-hati.

“Tuan, Nona Gheishara sudah tiba!”

Gugup aku menunggu pintu terbuka. Aku menghela dan mengembuskan napas dalam-dalam. Lalu melangkah dengan teratur. Bagaimana tidak gugup, yang akan aku temui adalah salah seorang pejabat terkaya di kota ini. Pejabat pajak yang menguasai banyak uang. Saat rakyat merasa terbebani oleh pajak, ia justru bergelimang harta. Berkat dirinya, aku bisa memiliki kehidupan yang mewah, hampir setara dengan para putri dan nyonya bangsawan.

“Belle … Gheishara,” sambutnya sambil memuji dan mencium tanganku yang terbungkus sarung tangan. Meski muak, aku melempar senyum manis dan bersikap seronok. Semua demi dana untuk pergerakan rakyat, dan juga kelancaran misi kami jika aku mampu merebut hatinya. Ia pejabat yang memiliki banyak koneksi.

Tanpa ragu pejabat pajak itu menarik tubuhku sehingga aku membentur dadanya.

Tidak! Harga diriku terasa terlukai! Tubuhku mendadak gemetar dan mulutku ingin memakinya.

“Tunggu!” Aku menahannya sambil mencoba bersikap tenang.

“Mengapa, Belle?”

“Tuan Benoit, kita baru saja bertemu, jangan terburu-buru,” pintaku.

Sepertinya, ia tak suka menerima penolakan dariku. Namun, ia tetap bersikap aristokrat.

“Oh, ya. Aku hampir melupakan itu, Sayang.” Tangannya menyelusup ke saku jasnya. Sebuah kotak merah yang segera disodorkan padaku. Aku berdecak kagum ketika kotak itu terbuka. Sebuah kalung mutiara yang berkilauan. Indah.

Tangannya meraih kalung dan memakaikan di leherku. “Ini mutiara air laut terbaik.”

Dapat kurasakan embusan napasnya kala ia menyibak rambutku. Aku tahu ia sengaja melakukannya.

“Kamu cantik sekali malam ini, Gheishara.” Tangannya kembali bergerak menjelajah.

Ketukan pintu menyelamatkanku. Aku segera membenahi pakaian. Namun, bangsawan ini malah menarikku ke belakang rak kayu. Menyuruhku bersembunyi. Sementara ia menemui tamunya yang tak kukenali. Mereka berbicara dengan sangat pelan. Meski aku sudah merapat ke dinding rak, pembicaraan mereka tetap tak dapat kutangkap. Namun, lirih kudengar kata penyerangan Bastille, gudang mesiu, dan pindah.

Tak lama setelah tamu itu keluar, aku pun keluar. Benoit tampak sedang termenung.

“Ada masalah, Tuan Benoit?”

“Tidak ada, Belle,” gelengnya. Namun, wajahnya menyiratkan sebaliknya.

“Datanglah pada pesta dansa nanti di rumahku. Kita akan berdansa, Belle. Gute Nacht, Gheishara.”

Aku bernapas lega. Saat aku keluar, Frank menyambutku dengan raut terlihat lega.

***

Kediaman Madam Darcy de Coigny.

Aku datang terlambat menghadiri undangan pertemuan dan Madam menyambutku ramah dengan senyum hangat. “Selamat Malam Geishara, Sayang. Kamu sungguh cantik, dan selamat atas pertunjukkan yang hebat. Aku mendengar berita tentangmu.” Ia perempuan yang tidak terlihat menua. Madam terlihat tetap berpenampilan elegan dengan gaun sangat indah.

Tepat ketika aku hendak menjawab Madam, mataku menangkap sesosok yang berdiri tak jauh kami. Mata kami berserobok. Ia, Abello, kakak yang sangat kurindukan.

“Terima kasih, Madam. Anda sungguh jauh lebih cantik dan menarik. Di mata dan di hati kami,” balasku. Madam tersenyum dan mengangguk.

Dari pertemuan ini, aku mendengar kabar di Camille Desmoulins, di Palais Royale telah bergerak membakar massa dengan orasinya. Para pemimpin pergerakan telah mulai bergerak dengan berbagai lintas kekuatan bersama rakyat dan kami sepakat akan turut serta terjun langsung dalam aksi massa untuk memperjuangkan kepentingan rakyat negeri Perancis dari tirani Raja yang menyengsarakan.

***

Perancis, 14 Juli 1789

Seluruh massa di bawah pimpinan Third telah bersiap menghancurkan kekuasaan Louis XIV yang dianggap semena-mena terhadap rakyat kelas bawah dengan kebijakan menaikan pajak. Ironinya mereka berfoya-foya di saat keuangan negara sedang krisis.

Vive la Nations!” teriak para aktivis membakar semangat massa yang bersatu dari berbagai kalangan.

“Jangan pernah jauh dari dariku, Aimee!” teriak Frank.

Kami mulai menyerbu Las Invalides untuk menyerbu gudang mesiu. Namun sayang, wajah-wajah panik bermunculan ketika melihat gudang itu kosong.

Apa yang terjadi?

“Tak ada senjata!” teriak Abellano. Pikiranku bekerja dengan cepat.

Kepalaku menjengit ketika mengingat sesuatu, “Tunggu!” teriakku.

“Penjara Bastille! Semuanya dipindah ke Bastille!”

Tanpa menunggu lama, kami bergerak mengalihkan tujuan penyerbuan. Penjara Bastille!

Malam ini, aktivis dan rakyat, dibantu pasukan kerajaan yang membelot, bersatu menyerbu Bastille. Api membara di mana-mana seiring semangat yang menggelora. Asap tebal menyelimuti kota. Teriakan-teriakan menyayat hati memenuhi udara.

Namun, sebelum aku bergerak, seorang prajurit menghadangku. Seringainya tajam sembari memamerkan pedang ya’ut menghinggapiku.

Aku bahagia. Inilah jalanku.

“Hai prajurit tirani, aku datang!”

Tak kuhiraukan teriakan Frank memanggil namaku. Aku harus fokus. Pedang di tanganku telah siaga. Kuda-kuda kutancapkan. Hanya ada dua pilihan. Menyerang atau di serang!

Serbuuu!

Set! Tanganku tergores. Satu berhasil kulumpuhkan.

Sreet! Arrrgggh!

Punggungku terasa perih. Mataku berkunang-kunang. Keringat entah darah terasa menetes melewati alis dan jatuh di mataku. Kulihat sesosok prajurit siap menusukkan pedang ke arah jantungku.

Aku terhuyung.

Aku telah siap! Demi Perancisku, demi Papa, Abellano, Frank, Madam dan semua petani gandum. Aku siap bertemu Mama!

Crasssh!

Masih kudengar teriakkan Frank memanggilku.

“Tidaaak, Fraaank!” Susah payah aku merangkak pada Frank. Tubuhnya bersimbah darah. Wajah tampannya kusut masai. Aku mengangkat kepalanya, menyandsrkannya di dada.

“Frank, bertahanlah. Kamu harus kuat.”

“Gheishara ….” Wajah Frank terlihat menahan sakit. Tangannya berusaha menyentuh wajahku. Hatiku sangat takut kehilangan.

“Aimeeku … Alette de Seville, uhuk!” Ia memuntahkan darah.

“Tidak. Diamlah. Kak Abeello, Fraaank tolong!”

“Jangan menangis,” ujarnya.

“Aku, Aku ….”

Je t’ Aimee, Aletta … la vie es belle, Gheishara!”

Aku terpana.

Tubuh itu terkulai dengan senyum dan sorot penuh cinta begitu selesai mengatakannya.(*)

Subang, 6 Maret 2021

 

Catatan Kaki :
Catatane = Cantik
Gute Nacht = selamat malam digunakan untuk perpisahan.
La vies es Belle = hidup ini indah
Belle = cantik
Aimee = yang tersayang
J’t aimee =Aku cinta kamu
Alette de Seville = nama asli Geishara
Vive La Nations = hidup bangsa

 

Gloria Pitaloka, hanya seorang perempuan yang ingin bebas, penyuka lingkungan dan alam benas, penyuka tradisi.

Editor : Rinanda Tesniana

Gambar : https://pin.it/6mEYiw8

 

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply