Bidadari di Marrakesh

Bidadari di Marrakesh

Bidadari di Marrakesh
Oleh : Gloria Pitaloka

Pada langit jingga Marrakesh dan angin musim semi pegunungan Atlas kutitipkan rindu agar sampai ke Bidadariku.

***

Mataku memanas kala memandang sesosok perempuan tua dengan kerudung yang mulai pudar warnanya sedang termangu di halaman sebuah kasbah. Api membara membakar kayu di bawah tungku memanaskan tagine berisi air yang mendidih. Tak ada ayam juga sayuran dengan bumbu rempah dan taburan buah kurma muda, zaitun, daun mint, dan peterseli yang menguar aroma harum.

“Samir, kaukah itu? Akhirnya kau pulang, Nak. Makanlah, sudah Mama sediakan khobz di atas meja. Mama sudah kenyang.”

Mama bohong! Aku sudah melihatnya sedari tadi, Ma. Tangan keriputmu mengadon tepung gandum terakhir yang sudah tengik, lalu memanggangnya hingga menjadi sebuah roti kecil yang tak mungkin mengenyangkan dua orang. Bahkan, satu pun tidak. Tak ada isian pun olesan. Itu, roti dari tepung gandum terakhir.

Menyadari aku bergeming, perempuan tua itu meletakkan kembali teko keramik di atas meja kayu. Lalu ia mengangkat tangan seakan meraba udara di hadapannya.

“Kemarilah, Nak. Mama kangen. Ini roti kesukaanmu.”

Sudahlah, Mama. Cukup sandiwaranya. Aku sudah melihatnya. Aku semakin yakin harus melakukannya!

“Samir, Samiiirr!” Masih kudengar teriakan Mama memanggilku.

Bukan aku tak peduli. Sama sekali bukan begitu. Namun bagaimanapun juga, meski aku harus mengingkari janjiku sendiri, aku sudah bertekat: aku mesti melakukannya lagi. Demi Mama, seorang perempuan yang sama sekali tak ada pertalian darah denganku, tetapi beliau sudah menjadi penyelamat hidupku. Mama adalah orang yang menemukanku ketika nyawaku sudah berada diambang kematian karena kelaparan. Jemaa El Fnaa (alun-alun Marrakekesh) merupakan tempatku menggantungkan hidup selama ini. Dan sekarang aku akan pergi ke sana.

Aku tak bisa berdiam diri hanya dengan mengharapkan bantuan dari pemerintah dan tetangga yang terbatas pada makanan. Sebab aku butuh banyak uang untuk biaya berobat Mama, yang sakit-sakitan dan penglihatannya sudah mulai memudar. Juga, mesti mencicil utang, sebagai biaya pengobatanku di saat nyawaku nyaris lunas karena penyakit kronis di masa silam, saat pertama kali Mama menemukanku.

Langkahku yang setengah berlari terhenti kala melihat rona merah di ujung barat. Aku menatapi gedung-gedung lusuh dan lahan tandus di hadapanku. Sejauh mata memandang hanya merah dan gersang yang terlihat.

Samir bin Abdullaah namaku. Terlahir menjadi keturunan suku Berber, hidup sangat bahagia di lereng pegunungan Atlas di Taddarest, desa Idihr. Hingga tiba saatnya ketika seluruh keluargaku meninggal karena terserang sakit dan dehidrasi ketika gelombang panas bulan Juni menyerang kami. Membuatku akhirnya memutuskan untuk pergi ke pusat kota Marrakesh. Di alun-alun Jemaa El Fna itu aku bekerja sebagai kuli pemanggang roti. Sayang fisikku yang lemah karena baru pulih membuat majikanku memutuskan mengganti dengan yang lain. Tetapi ia masih berbaik hati dengan membayarkan gajiku sebulan penuh ditambah bonus.

Mama rela meminjam uang pada seorang rentenir, Baba Rasyid, demi menebus nyawaku yang kala itu nyaris tumpas karena penyakit. Semula, aku kagum pada lelaki tua itu. Karena namanya selalu mengingatkanku pada salah seorang pemimpin Islam: Al Rasyid yang adil. Tetapi ternyata Baba Rasyid tak semulia pemimpin yang kukagumi itu. Bukannya keadilan dan pengayoman yang ia berikan pada  Mama dan aku, melainkan justru pemerasan dari uang yang telah ia pinjamkan pada kami. Setiap kami telat bayar cicilan, maka akan semakin menumpuk pula bunga yang mesti kami lunasi. Parahnya, ia selalu menggunakan ayat-ayat Tuhan untuk semakin mencekik kami. Ia penikmat riba.

Mama bilang: riba itu tak ubahnya seperti menzinahi ibu kandungnya. Jika itu benar, maka Baba Rasyid lebih tepat kujuluki sebagai pemerkosa ibu kandung!

Sore itu, mau tak mau, bisa tak bisa, aku harus mendapatkan uang. Baba Rasyid sudah mengancamku: jika tidak membayar dua kali lipat lebih banyak, maka ia akan mengusir Mama dan aku dari rumah kami, satu-satunya tempat bernaung yang ditinggalkan oleh almarhum suami Mama.

Rona langit senja begitu indah. Semburat cahaya jingga menaungi Kota Merah. Sementara bola keemasan besar itu tampak perkasa, bersiap menuju peraduannya.

***

Mama dan aku tinggal di belakang pemukiman mewah Marrakesh. Sama halnya seperti kehidupan kami, dinding rumah kami, yang terbuat dari lempung, terjepit di antara benteng-benteng merah dan menara-menara yang menjulang mencakar langit.

Kalut, sudah tak kuhiraukan rasa lapar yang meremas perut. Beberapa hari terakhir aku hanya meredamnya dengan air dan beberapa biji kurma, hasil memungut di lorong-lorong gelap menuju pasar. Sepertinya para penjual kurma itu kurang teliti ketika mengikat plastik pembungkusnya. Sehingga ia tak sadar barang jualannya berceceran. Atau aku akan berusaha menenangkan raungan perut dengan mengais sisa-sisa makanan di tong sampah. Seingatku, terakhir kali aku makan roti adalah seminggu lalu. Entah kapan lagi aku akan menemukan khobz dengan kuah kari. Atau couscous dengan sayur dan daging yang lezat. Rasanya sudah cukup lama aku tak mencicipinya. Hingga aku nyaris lupa.

“Tak ada pekerjaan untuk lelaki tak bertenaga sepertimu! Rugi kami membayar jika mengangkat dan memanggang roti saja tak becus!” tolak Baba Hasan, pemilik kios roti terenak yang kerap menjadi tempat tujuan para pelancong, tempatku pernah bekerja paruh waktu. Untuk sekedar mendapatkan makan siang sebuah roti dan bekal makan malam untuk Mama.

Kerja mengadon dan memanggang roti membutuhkan tenaga kuat. Sementara fisikku lemah dan ringkih tak kuat jika harus berdiri lama dan bolak-balik memanggang roti.

Entah harus ke mana lagi aku mencari uang.

Ingatan dan semua hal yang berputar-putar di kepalaku, tiba-tiba pudar seiring ketidaksengajaanku menubruk seorang gadis yang sedang menawar kain cambaya khas Maroko berwarna merah dengan motif monokrom.

“Maaf,” kataku.

Gadis itu hanya mengangguk. Entah dia paham atau tidak. Karena kuucapkan dalam bahasa asli kami, bahasa Amazigh.

Aku pun berlalu dengan santai. Tangan kumasukkan ke saku Jellaba hingga telingaku mendengar teriakan, “pencuri!”

Dadaku berdetak kencang. Mataku menangkap seorang lelaki tengah berlari dikejar beberapa orang. Melihatnya, Refleks aku ikut berlari menyusuri gang sempit. Aku melewati banyak gerai yang menjual rempah-rempah yang baunya menyengat, piring antik, lampion, kain, permadani, dan kerajinan tangan.

Beberapa kali aku menubruk orang dalam kondisi ketakutan begini, meski lemah, mendadak tubuhku memiliki kekuatan. Aku merasa seperti seekor kambing yang diburu citah.

Sial!

Lariku malah membawa pada penjerat riba, Baba Rasyid. Ia menyambutku dengan seringai lebar.

“Kau tepat waktu, Samir. Telat satu detik, maka tidurlah di belakang benteng!” pongahnya.

Aku berdiri dengan ragu-ragu, antara memberikan atau mempertahankan.

“Kemarikan, Samir!” Wajah Baba Rasyid kesal. Namun, aku semakin erat menggenggam tas itu.

Baba Rasyid mukanya berubah memerah, ia semakin merangsek ke arahku. Aku melangkah mundur hingga kakiku terjajar ke belakang.

“Samir! Samiirr!” teriaknya.

Aku tak peduli meskipun ia marah. Tas ini harus kupertahankan. Ada rasa menyesal karena telah mengambilnya.

Aku berlari meninggalkannya. Jika besok atau kapan pun ia akan menemuiku bahkan mengusirku, aku tak peduli. Biar itu kupikirkan nanti. Lariku akhirnya terhenti di depan sebuah kedai makanan. Kulihat berapa dirham sisa gaji terakhir yang diberikan bos tadi dan hadiah dari rekan. Jika ini digabungkan dengan hasil curianku, rasanya lebih dari cukup untuk berbelanja.

Kuborong roti, kurma, zaitun, buah-buahan, susu, daging, dan gamis untuk Mama. Sudah terlalu lama pakaian yang dikenakannya tak diganti. Sangat rapuh. Bahkan jika kurang berhati-hati, kemungkinan besar akan mudah robek.

Ah, Mama pasti senang. Kubayangkan perempuan berhati malaikat itu akan tersenyum penuh syukur. Namun, bayangan itu menghilang ketika di ujung gang kulihat seorang perempuan yang sedang duduk terpuruk, diteriaki anak-anak.

“Hei, pergi! Dasar anak-anak nakal, pergi!” usirku.

Perempuan itu memakai penutup kepala yang sudah berantakan. Aku terpana. Wajahnya mungil, dengan bola mata bening. Ia terlihat sangat kelelahan.

Jangan pedulikan ia, jangan cari masalah! Ingat Mamamu di rumah, logikaku berkata demikian.

Namun, bayangan suara Mama menasehatiku, “Tolong ia Samir! Jadilah lelaki yang melindungi siapapun kaum yang lemah. Apalagi seorang perempuan.” Meski enggan mencari masalah dengan orang asing, tetapi terpaksa demi hati nurani yang terus berteriak, aku membawanya pulang ke rumah. Dia seorang musafir. Aku tak habis pikir dengan diriku sendir. Kenapa aku berbuat demikian pada aku orang asing? Apa mungkin karena kutahu bahwa, sangat berbahaya untuk seorang perempuan dengan kondisi semengenaskan itu sendirian saja, tanpa satu pun seorang pendamping. Harus kuakui, di tempat kami masih sangat rawan pelecehan dan kekerasan.

Di rumah Mama menyambut gembira ketika mengetahui aku datang dengan seorang gadis. Tak henti ia mengusap pipi gadis yang belum kuketahui namanya itu. Agar Mama tak cemas kukatakan itu adalah istriku yang kunikahi secara siri. Mama tak marah, malah sebaliknya, menyambut perempuan itu dengan sangat baik.

Maura Maulidia Habibah, berasal dari Indonesia, suatu negara di Asia Tenggara. Nama yang sangat indah. Maura, sangat mirip dengan Mauri penyebutan untuk suku Berber, bangsa Imazhigen, suku asli Afrika. Julukan ini diberikan oleh bangsa Romawi, salah satu bangsa yang pernah menjajah suku kami, selain Arab dan Prancis tentunya.

Maura bercerita tentang pekerjaannya sebagai vloger. Dia memiliki channel MauraTube yang menjadi sumber penghasilannya. Hingga di usia masih muda seperti sekarang ia bisa melancong ke berbagai negara. Meski ponselnya sudah hilang, tetapi Maura masih menyimpan kamera saku. Jadi ia masih bisa menyempatkan memotret dan mengabadikan kegiatan kami.

Menurutnya, ia tinggal di Hotel Riad yang berupa benteng megah dengan taman indah di bagian dalam. Wajahnya mengingatkanku pada Mama kandungku ketika beliau masih muda. Mama angkatku pun sangat menyukai dan menyayangi Maura. Ia seperti menemukan anak gadisnya yang telah lama hilang. Mereka sangat akrab.

Tuhan, apakah ia perempuan yang dikirim surga untuk kami?

Maura menemani Mama memasak. Meski Mama tak mampu melihat dengan jelas, tetapi ia memiliki keahlian memasak yang cepat. Soal rasa, tak perlu diragukan lagi. Mama kerap bercerita, semasa muda ia pernah menjadi salah satu juru masak di restoran di Marrakesh. Namun, beliau memilih pensiun dini ketika restoran memutuskan memperkerjakan anak-anak muda lulusan sekolah memasak.

Mereka tertawa dan mengobrol dengan gembira. Sorenya kami menikmati masakan tagine dengan gembira di bawah guyuran cahaya jingga yang menyelimuti kota. Dari atas atap kasbah kami, langit dan benteng-benteng terlihat sempurna: berwarna merah.

Hari ketiga Maura berada di rumahku, ia sudah bisa memasak kue di atas tagine dan menghidangkan roti sendiri tanpa dibantu Mama. Begitu kucicipi, rasanya sangat enak. Resep dari Mama benar-benar mampu ia serap dengan baik. Sejujurnya, aku baru bisa memasak dengan benar saat ini bersama Maura. Melihatnya memasak, tumbuh semangatku untuk belajar resep dari Mama dengan rajin.

Maura mengatakan roti dan tagine resep Mama sangat lezat. Ini paling lezat dari masakan yang pernah dia temui di seluruh Kota Merah.

“Sangat lezat, tagine dan khobznya. Kamu buka kedai saja di alun-alun, Samir,” Maura memberi saran.

Sesungguhnya aku sangat ingin. Namun kondisi Mama yang sudah tua dan aku yang tak punya modal membuatku hanya tersenyum. Mama hanya memuji Tuhan sambil berdoa agar kami diberi rezeki dari arah tak disangka-sangka agar bisa mewujudkan hidup kami lebih baik.

Maura, dia berjanji akan membantu kami.

Aku memandang langit malam bertabur bintang dan kelip lampu di kejauhan Marakesh dari atas atap rumahku.

Kami tertawa dan tersenyum. Ah, aku sangat bahagia, Tuhan.

***

Bimbang, aku menimbang-nimbang, apakah ponsel dan tas yang isinya banyak benda berharga ini akan kujual atau kukembalikan saja pada pemiliknya? Menurutku ponsel ini sangat mewah. Jika dijual harganya lumayan, bisa untuk modal membuka kedai. Dan aku bisa mengantarkan Maura pulang ke hotel.

“Pergilah jual ini,” Mama menyodorkan perhiasan kalung emas, satu-satunya mahar peninggalan dari almarhum suaminya. Ketika kutolak, Mama memegang erat jemariku seakan meyakinkan.

Perhiasan ini satu-satunya kenangan tentang suaminya. Ah, Mama, seandainya aku sukses akan kubelikan engkau perhiasan yang sangat banyak.

Tuhan, haruskah aku menjual kalungnya?

“Dia selalu di hati. Tidak ada kenangan yang lebih berharga dari pada berbuat baik. Kamu dan Maura membutuhkan uang itu. Insya Allah, akan diganti dengan yang lebih baik dan berkalilipat dari Allah. Percayalah, Samir. Baba pun akan mendapatkan pahala yang terus mengalir dari niat baik kita dan benda pemberiannya bermanfaat.”

Ucapan Mama berhasil meyakinkanku untuk menjualnya di kedai perhiasan. Semoga nanti, aku bisa mendapatkannya kembali.

Aku janji, akan kuberikan Maura kain Cabaya asli hasil tenunanku yang diolah dari serat kaktus dan pemerah alami bunga kaktus, di Idhirh. Aku harap, kenang-kenangan satu-satunya dari Mama kandungku, turut pula bermanfaat menerangi alam barzahnya.

Pulang dari toko emas, aku berlari secepat angin dengan hati dipenuhi rasa bahagia.

“Maura, Maura!” Panggilku.

Tak ada gadis manis itu di halaman dalam atau di dalam ruang tempat kami berkumpul ketika malam hari. Kamar tempat Maura tidur tertutup rapat. Mama pun tak terlihat batang hidungnya.

Kuputuskan istirahat dulu di kamar. Namun, begitu pintu kamar terbuka, aku terkejut. Di sana di dekat rak kayu tempat menyimpan peralatan, kulihat Maura sedang berdiri dengan memegang tas itu. Jantungku bergemuruh lebih cepat.

Maura menatapku tajam.

“Samir. Kamu tahu kan aku kehilangan tasku yang berisi dompet dan ponselku?”

Aku ingat semua itu ketika pertama kali kami bertemu. Maura terpuruk, tak ubahnya pengemis yang biasa kutemukan di sini.

Aku masih bergeming karena kebingungan.

“Lihatlah,” Maura memperlihatkan ponsel yang sudah ia aktifkan itu. Tampak di layarnya gambar seorang gadis yang membuatku sangat terkejut. Itu gambar Maura.

Jadi, selama ini …. Tuhan, takdir macam apakah ini?

Maura memainkan ponselnya. Matanya terbelalak menatapku.

“Ma-maafkan aku, Maura ….” Kutundukkan kepala, merasa tak punya muka di hadapannya.

Maura hanya bergeming. Melihatnya seperti itu, entah kenapa hatiku mendadak sakit. Sungguh takdir Tuhan begitu rumit. Sangat kebetulan gadis yang kucopet adalah Maura. Ketika itu aku tak mengenalinya karena ia menggunakan serban sebagai cadar. Lalu ketika aku bertemu dengannya yang tersesat, kelelahan, dan kelaparan, semua hijabnya sudah terlepas.

Mama pernah menasehati, “ketika masih memiliki Allah di hati. Kita tak akan mati dalam keadaan lapar. Namun, lebih banyak manusia mati dalam keadaan kenyang.”

Kupikir benar juga kata-kata Mama. Aku sering melihat banyak orang kaya bergelimang harta seperti Qarun hidupnya, tetapi mati dalam berkecukupan. Satu hal lagi, aku pernah hampir sekarat karena mal nutrisi, tetapi Tuhan kirimkan malaikat penolong untukku. Hingga aku diberi kesempatan kedua ini.

Terima kasih, Tuhan. Maaf, aku sering mengabaikan pertolongan dan karunia Mu.

“Ah, Mama, aku sungguh menyesal,” gumamku.

Kini, gadis bermata sipit yang binarnya seperti oase tertimpa cahaya fajar itu telah pergi. Kembali ke hotelnya. Atau mungkin sudah pulang ke negaranya. Membawa separuh jiwaku. Meninggalkan sejuta kenangan tentang betapa manisnya ia berceloteh.

Ah, entah kapan kita akan bertemu lagi, duhai gadis dari Indonesia, tanah surga dari timur yang selalu digambarkan dalam Al Qur’an.

Mama, Maura … aku janji, tak akan pernah mencuri lagi. Aku berharap suatu hari nanti, Bidadari dari Timur itu akan kembali ke Marrakesh.

Yaa Sahara ….
Padamu, kutitipkan rindu di belahan bumi mana pun ia berada. Seperti angin dari pegunungan Atlas yang membawa keharuman padang rumput, pasir, dan salju.(*)

Catatan Kaki
*Kasbah : rumah khas Maroko berbentuk benteng dengan halaman di dalam dan jendela menghadap ke dalam.
*Riad : Hotel/penginapan berbentuk rumah khas Maroko tetapi dilengkapi kebun dan taman air mancur/kolam
*Khobz : Roti tebal khas Maroko berbentuk bulat atau panjang terbuat dari gandum
*Couscousin : Nasi dengan sayuran dan daging dimasak menggunakan tagine
*Tagine : alat masak terbuat dari tanah liat dengan tutup berbentuk kerucut
*Mauri : julukan suku Berber dari bangsa Romawi.
*Amazigh : Suku Berber biasa menyebut *Imazhigen jamak : Amazigh (tunggal)
*Argan : Minyak untuk bumbu, kecantikan, dan pengobatan.

Gloria Pitaloka, seorang ibu pegiat lingkungan, pecinta budaya dan kearifan lokal. Menulis untuk menyampaikan pesan dan pemikiran.

Editor : Uzwah Anna

Gambar : https://pin.it/7kdid69

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply