Daun yang Tertiup Angin
Oleh: Leeyaa
Daun-daun kering itu tertiup angin kemarau yang dingin, berputar-putar, melayang seperti memamerkan tarian, dan kemudian mendarat di atas tanah. Saat itulah mereka tampak pasrah, tampak tak berdaya. Mungkin mereka bertanya, mengapa harus tercerabut dari induknya, mengapa mengikuti angin yang membawanya bertualang, dan ketika menyadari, mereka sudah terhempas di atas tanah dalam kebingungan.
Pagi yang membekukan itu ikut menyapaku. Dengan sweater tebal berleher tinggi dan celana kain longgar, aku mengamati daun-daun kering itu. Memikirkan nasib mereka selanjutnya, dan menyadari betapa beruntungnya aku memiliki sahabat seperti Bayu.
Ia teman terbaik yang pernah aku kenal. Kami bertemu pertama kali saat program penghijauan dari Mapala kampus sepuluh tahun lalu. Saat itu ia masih berpacaran dengan Ine, kakak tingkatku. Lalu, Ine meninggalkannya beberapa bulan kemudian. Dan sejak itu, Bayu tidak pernah terlihat bersama perempuan lagi.
Ketika anggota geng Mapala kami menentukan kehidupan mereka selepas lulus kuliah, aku dan Bayu tetap kompak. Bayu selalu jadi teman baik, pendengar yang setia, dan penghibur yang menenangkan. Dan saat aku terhempas karena ditinggal kekasih, Bayu tidak pernah pergi. Sejak pertama kali kami bertemu, hingga saat ini. Dialah yang menopangku, menemaniku, dan kemudian ia jugalah yang mengenalkanku pada Yoga—lelaki yang melamarku tiga minggu yang lalu.
Brio putih Bayu memasuki halaman dan berhenti tepat di depanku. Tanpa komando, aku langsung membuka pintu dan mengenyakkan pantat di sampingnya. Ia mengenakan kaus hitam turtle neck dan celana jeans. Rambutnya yang ikal tercukur rapi. Begitu juga dengan cambang yang menipis di dagunya.
“Tumben kamu seger banget. Abis ngapain semalam?” gurauku.
Bayu melepas kacamata hitamnya, lalu menatapku sambil menautkan alis. Wajahnya memang bersih, namun matanya cekung dan suram seperti berhari-hari tidak tidur. Bayu tidak menjawab apa-apa, dan langsung melajukan kendaraan ke jalanan.
“Sorry, ya, Yu, ngrepotin kamu. Yoga tiba-tiba ada acara kantor hari ini. Padahal seharusnya ini hari penting buat kami. Kamu nggak lagi sibuk, kan?” tanyaku memecah keheningan di antara kami. Aku tiba-tiba merasa tidak enak karena Bayu terus terdiam.
“Enggaklah. Aku, kan, libur hari ini. Yoga juga udah bilang semalam, kok. Lagian fitting baju yang ribet, kan, perempuan, kalau cowok gampang aja,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan.
“Iya, tapi—“
“Kamu udah sarapan? Kita ke Sop Pak Min, yuk!” Tanpa menunggu jawabanku, setir itu segera membelok memasuki halaman parkir restoran Pak Min.
Kami memesan menu favorit kami, sop ceker. Aku dan Bayu suka sekali menguliti ceker lalu menghisap-hisap ruas-ruas tulangnya. Kadang kami berlomba, ceker siapa yang paling bersih. Kali ini, aku melakukan hal yang sama, tapi Bayu tidak. Ia hanya menatapku tanpa banyak bicara. Tatapannya membuatku khawatir.
“Yu, kamu kenapa? Sakit? Kalo lagi nggak enak badan, kita tunda aja. Besok biar aku sama Yoga aja.”
Bayu menggeleng, lalu berusaha makan dengan gesture yang tampak tidak menikmatinya. Ada yang tidak wajar dengannya. Kupikir, mungkin ia sedang punya masalah. Mungkin masalah dengan pekerjaan, atau perempuan, atau ada yang mengganggu pikirannya, tapi ia belum mau berbicara, atau … entahlah. Aku hanya bisa menduga-duga. Tetapi, biasanya—tak akan lama—Bayu akan cerita. Ia paling tak tahan menyimpan kabar jika sudah bertemu aku. Biasanya begitu. Aku hanya perlu menunggu, mengikuti arus yang ia mainkan, seperti daun kering yang menunggu dibawa angin kemarau. Lalu pada waktunya, ia akan bercerita dengan sukarela.
“Dua minggu ini kamu sulit banget dihubungi. Kata Yoga, kamu juga jarang di rumah. Sibuk?” Aku tetap berusaha mengajaknya ngobrol karena keheningan yang tercipta membuatku merasa aneh.
Ia menggeleng. “Iya, sedikit, tapi nggak apa-apa.” Jawaban itu terlalu datar. Dan aku merasa mendengar suara asing, yang bukan dari sahabatku selama ini.
“Yu. Kamu yakin nggak apa-apa? Aku merasa agak … agak aneh denganmu. Kamu marah sama aku? Aku ada salah?” tanyaku, lalu memiringkan tubuhku menghadapnya.
Ia tidak menoleh, hanya melirikku dari rear mirror, lalu tangan kirinya mengacak rambutku, seperti biasanya.
“Nggak apa. Aku nggak apa-apa.”
“Kalau bahasa perempuan, ‘nggak apa-apa’, artinya ‘ada apa-apa’. Bilang, gih, kenapa?”
“Perempuan selalu begitu. Bertanya terus. Biarlah lelaki mengatasi masalahnya, tanpa perlu ditanya.”
Aku mengalah. Itu adalah bahasa tegas Bayu jika tak ingin diganggu.
Empat puluh lima menit kemudian, kendaraan kami menepi di sebuah ruko dengan fasad melengkung dan jajaran maneken berbaju pengantin di etalase. Aku segera melepas sabuk pengaman dan meraih tas, tetapi Bayu tiba-tiba memegang jemariku. Aku menoleh ke arahnya, dan kudapati sorot matanya tajam menatapku. “May, kamu ….” Bayu menghela napas. “Kamu udah yakin dengan Yoga?”
Sontak aku mengernyit. Pertanyaan itu benar-benar di luar perkiraanku. Yoga? Ada apa dengan Yoga? Apakah Bayu mengetahui sesuatu? Apakah ini yang membuatnya terdiam sepanjang jalan?
“Kenapa tiba-tiba kamu tanya kayak gitu? Ada apa, Yu? Ada apa dengan Yoga? Kamu menyimpan sesuatu yang kamu tahu?” Aku mencecarnya.
“Eng-enggak …. Bukan Yoga,” katanya dengan suara sumbang. “Bukan Yoga, tapi—“ Iaberkilah.
“Lalu?” Aku menatapnya, meminta penjelasan. “Kalau kamu tahu tentang Yoga, kamu bilang. Nggak perlu takut aku marah. Aku tahu, kamu pasti pingin yang terbaik buatku.”
“Iya, aku ingin yang terbaik buat kamu. Yoga, insyaallah baik, May. Ia setia dan sangat mencintaimu.” Ia tersenyum tipis, lalu menghela napas yang terasa berat.
“Terus, kenapa kamu tanya kayak gitu?”
“Nggak apa-apa. Anggap saja aku nggak pernah tanya.”
“Nggak bisa gitu, dong!”
“Enggak, Maya. Serius! Aku hanya pingin tahu, seberapa yakin kamu untuk menikah. Karena ini langkah penting dalam hidupmu.”
Aku menautkan alis, tidak memahami sikap juga maksudnya, tetapi ia malah tertawa sambil mengacak rambutku. Aku meliriknya sambil mengerucutkan bibir.
“Mumpung masih bisa memegang kepalamu, sebelum jadi milik Yoga sepenuhnya,” katanya sebelum turun dari mobil. Tapi, kurasakan tawa itu bukan tawa yang wajar.
Di lantai dua, di ruangan yang dikelilingi kaca, gaun pengantinku sudah menunggu dengan anggun pada maneken tanpa kepala. Gaun brokat putih dengan payet-payet terpatri meliuk-liuk di bagian lengan, punggung, dan dada. Gaun itu benar-benar indah. Lalu, Mbak Anne—perancang gaun itu—mengajakku masuk ke ruang fitting di sebelah ruang tunggu.
Lima belas menit kemudian, aku keluar dari ruang fitting dan memamerkan penampilanku pada Bayu.
Lelaki yang tengah menekuri ponsel itu mendongak dan menatapku dengan sorot yang … asing. Yang mendadak membuat jantungku berdegup kencang, lalu kurasakan udara di sekitarku mulai menipis, tetapi tatapanku malah terkunci padanya.
Ia berdiri, melangkah pelan dengan tak sedikit pun mengalihkan pandangannya ke mataku. Lalu, tiba-tiba ia memelukku, mendekapku erat, berusaha menenggelamkanku di dadanya yang bidang.
Namun, rasa dingin mendadak menyergapku. Tubuhku terasa ringan, seperti tengah diangkat oleh angin yang akan membawaku terbang.
Bayu mengecup kepalaku dan berbisik tepat di telingaku, “Maya, aku mencintaimu.”
Detik itu, waktu terasa berhenti dan aku hampir tidak mempercayai pendengaranku. Aku mendorong tubuhnya perlahan, mendongak, dan menatapnya. Kata-kata itu menjadi gema di kepalaku, membangunkan kesadaranku tentang sikapnya hari ini, dan sebenarnya beberapa minggu terakhir ketika ia sulit sekali kutemui. Kutatap lekat kedua matanya, kudapati mata itu menyiratkan kejujuran, kegelisahan, tetapi juga ketakutan, dan tak sedikit pun aku merasakan kebohongan.
“Yu … Aku ….”
Hening meraja. Hanya terdengar detik-detik jam dinding dan mungkin detak jantung kami yang tak tentu iramanya. “Sejak … sejak kapan?” bisikku sambil berusaha mencari sesuatu di matanya.
“Aku tidak tahu pasti, May. Mungkin sejak Ine pergi, atau sejak kamu putus dengan kekasihmu dulu. Yang aku tahu, aku takut jauh dari kamu. Aku takut kehilanganmu, terlebih jika aku menyatakannya.” Suaranya lirih, namun itu adalah suara paling jujur yang pernah kudengar darinya.
“Aku … Yoga ….” Entah apa kalimat yang harus kurangkai untuk menanggapi kata-katanya. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Bayu dan perasaannya … sementara pernikahanku sudah di depan mata.
Bayu melepaskan pelukannya, meremas jemariku, lalu mundur selangkah. “Yoga sudah tahu. Aku bicara dengannya sepulang tenis kemarin malam. Dan dia yang mempunyai ide agar aku yang mengantarmu ke sini.” Ia bicara lirih, tetapi dengan artikulasi yang sangat jelas.
Mendadak, aku seperti berada dalam pusaran angin, yang membuat dunia di depanku berputar hebat. Wajah Yoga dan Bayu silih berganti menyapaku, tersenyum dengan pesonanya masing-masing, mengucapkan kalimat cinta yang sama dengan nada yang berbeda. Lalu aku tersadar, keputusan itu … ada padaku.
***
Angin kemarau masih sibuk mempermainkan dedaunan. Mengajak mereka menikmati rintangan sebelum menyerahkan diri pada alam. Dan aku mendengarkan suara tegas yang mengalun dengan sebaris janji yang menggetarkan langit. Lalu, senyum-senyum terkembang diiringi ucapan syukur mendoakan kami.
Aku menuju pelaminan, berdiri di samping suamiku menikmati riuhnya pesta. Menunggu keluarga, kolega, dan teman-teman yang datang silih berganti. Hingga kutemukan lelaki dengan kemeja biru itu menapaki rampa, mendatangi kami. Ia memeluk suamiku dan menjabat tangannya dengan erat. Lalu mendatangiku dengan senyum yang sangat berwibawa. Ia memberi ucapan selamat dan sebaris doa dengan kalimat yang tulus. Kemudian ia berlalu, bergabung dengan teman-teman Mapala kami.
Yoga meremas jemariku, lalu berbisik, “Bayu sudah bilang sama kamu?”
Aku menghela napas. “Sudah,” sahutku sambil mengangguk. Kurasakan genggaman tangan suamiku semakin erat. “Kamu nggak ingin tahu apa jawabanku?” tanyaku seraya menatap Yoga.
Lelaki di sampingku mengerling dan balas menatapku penuh arti. “Tidak perlu. Kamu di sini. Itu sudah lebih dari sekadar jawaban.”
Aku menyambutnya dengan senyum simpul, lalu menyisir pandangan ke kerumunan teman Mapala. Bayu di sana bercanda dengan mereka. Sejenak tatapan kami bertemu, ia berusaha tersenyum. “Berjanjilah untuk bahagia.” Kalimat itulah yang terakhir ia katakan saat mengantarku tempo hari.
Ketika aku sedang disibukkan dengan tamu-tamu yang berdatangan, kudapati Bayu mulai memisahkan diri. Melangkah dengan perlahan menuju pintu keluar. Seperti angin seusai mendaratkan daun kering di pelataran, kemudian bersiap memulai perjalanan.(*)
Salatiga, Agustus 2021
Tentang penulis:
Leeyaa, pembelajar literasi, penikmat diksi, dan penyuka aksara.
Editor: Inu Yana